Kalau saja ada kamera tersembunyi di halaman rumah Serana pagi itu, pasti penontonnya bingung: kenapa tujuh cowok tampan bergaya idol K-Pop ngumpet di semak-semak, dan kenapa gadis desa biasa bisa ngomong kayak pahlawan film Marvel?
“Aku tahu kalian datang ..., tapi mic ini takdirku.”
Kalimat Serana melayang di udara seperti sinyal Wi-Fi di tempat umum, terkadang kuat, tak jarang juga melemah, tapi bikin deg-degan. Ketujuh pangeran Ethereal langsung membeku, kecuali perut mereka yang tetap mengeluh minta makan.
"Bro... dia ngomong ke kita?" bisik MarJayHop, menyikut MarChimmy yang sedang sibuk menggaruk lengan.
"Aku nggak tahu. Tapi semak ini gatal banget. Ini semak atau jebakan semut?" MarChimmy meringis.
MarViTae tak berkata apa-apa. Ia menatap Serana dengan serius. Mic ungu itu milik Marjuki. Namun, anehnya kini benda itu menyatu dengan Serana, dan energi yang terpancar bukanlah milik manusia biasa. Dan mengapa gadis itu tak pingsan, tidak seperti saat Serana memakainya pada perlombaan menyanyi di desa pada waktu itu? Sebaliknya, dia malah terlihat semakin kuat.
“Aku akan ke sana duluan.”
Suara MarJuki memecah keheningan. Semua serempak menoleh. mata keenam pangeran lainnya mengikuti ke mana arah MarJuki pergi. Pangeran termuda itu berdiri dengan gaya dramatis ala drama Korea. Angin bertiup pelan, hingga menjatuhkan sehelai daun tepat di rambutnya, dan soundtrack sedih seakan-akan mulai terdengar dari semesta. Ia mulai melangkah keluar dari semak-semak.
“Siapa kamu?” tanya Serana masih menunjukkan ekspresi yang tenang.
“Aku MarJuki. Dari Ethereal. Dan mic itu ..., milikku.”
Serana menggenggam mic ungu lebih erat. “Kalau begitu, mengapa selama ini rasanya seperti aku yang kehilangan benda ini?”
MarJuki terdiam. Untuk pertama kalinya, dia tak punya jawaban.
Mic itu memang miliknya. Namun, kini mengapa dia merasa mic ungu kesayangannya, sangat cocok di tangan gadis ini?
“Mic itu bukan untuk manusia. Ia menjaga keseimbangan suara dunia.”
“Pantas saja.” Serana tersenyum tipis. “Sejak aku memegang mic ini, hidupku terasa seimbang.”
"Dih, kayak slogan iklan aja," gerutu MarYoonGa kesal.
Satu per satu pangeran Ethereal keluar dari semak, dengan langkah seperti boyband yang telah selesai melakukan konser.
“Skip perkenalan panjang ya,” kata MarJayHop santai. “Kami pangeran langit, mic penjaga dunia, blablabla. Kamu ....?”
“Serana.”
“Nice! Kamu suka banget bernyanyi, ya?”
Serana mengangguk. “Dulu aku cuma anak desa biasa. Tapi sejak bertemu mic ini, hidupku berubah drastis.”
“Aku juga,” gumam MarJuki.
Sebelum suasana semakin mellow seperti drama yang tayang setiap akhir pekan, MarChimmy pun mengambil inisiatif unutk maju. “Ngomong-ngomong, di rumahmu ada makanan? Laper, nih.”
Beberapa menit kemudian, mereka berdelapan duduk melingkar di bale-bale bambu depan rumah Serana. Di meja terhidang teh manis, pisang goreng, aneka camilan, serta suara jangkrik yang turut mengiringi obrolan mereka.
“Kenapa kalian begitu panik soal mic ini?” tanya Serana sambil menyeruput teh.
MarJooni menjelaskan, “Karena mic ungu itu sumber kekuatan. Dia mewakili suara kedamaian. Kalau jatuh ke tangan yang salah, dunia bisa menjadi kacau.”
“Bisa juga bikin manusia nyanyi sampai gosong dan berakhir menjadi abu,” tambah MarYoonGa, dengan nada savage-nya seperti biasa.
Serana tertawa kecil. “Kalau bikin orang senang disebut ‘kacau’, mungkin dunia memang perlu dikacaukan.”
Tapi MarViTae tak tertawa. “Kamu nggak sadar, ya? Suaramu itu membuka celah dimensi.”
“Dimensi?” Serana mengernyit.
“Setiap kali kamu bernyanyi, dunia kami mengalami distorsi. Ruang jadi tidak stabil. Dan kamu sekarang bukan sepenuhnya manusia lagi," terang MarViTae membuat suasana terasa semakin tegang.
Deg.
Kalimat itu jatuh seperti bom di tengah suasana santai. Serana berdiri perlahan-lahan. Wajahnya berubah pias. Rasa ragu dan takut bercampur menjadi satu, menyelimuti hatinya.
“Tapi aku cuma ingin bernyanyi. Itu satu-satunya hal yang bikin aku merasa hidup.”
“Kalau kamu berhenti nyanyi, memangnya kamu mati?” tanya MarChimmy polos.
Serana tak menjawab. Namun, air mukanya tak dapat menyembunyikan rasa takut yang tengah menguasai pikirannya saat ini.
Clink.
Mic ungu di tangannya berbunyi. Sebuah nada aneh, seperti sinyal. Bukan nada biasa. Semua pangeran langsung sigap.
MarJooni mengeluarkan kristal eteriknya dan menatap menuh kewaspadaan terhadap sinya yang barusan muncul itu.
“Lihat, ada sinyal balik!” Kedua mata MarJooni pun melebar.
MarViTae menyambar kristal itu. “Ini bukan dari mic ungu. Ini berasal dari mic biru.”
"Mic biru? Yang disegel di aula Ethereal?" tanya MarJayHop dengan nada bergetar seraya bergidik ngeri.
“Kalau begitu ....” Suara MarYoonGa mendingin. “Ada yang mencuri mic lain.”
Tiba-tiba saja, dari arah langit terdengar suara bergemuruh. Angin pun tampak berputar-putar. Petir seketika saja menyambar-nyambar, tetapi bukan ke arah tanah, melainkan menuju langit. Delapan sosok itu tampak terkejut, menyaksikan robekan di langit. Mereka serempak melayangkan pandangan ke atas saat celah hitam membelah awan. Dari balik kegelapan, terdengar sebuah suara menggema dengan nada berat.
"Serana ...."
Gadis itu mendongak ke atas. Matanya terlihat membulat.
Itu bukan suara manusia. Tapi entah mengapa terasa familiar di telinganya.
“Aku kenal suara itu,” bisik Serana.
Lalu, petir pun menyambar lagi. Dan dari celah itu, sebuah bayangan turun perlahan. Bukan manusia, bukan pula monster. Sosok berperawakan tinggi, berjubah hitam, serta bermata biru menyala. Di tangannya terdapat mic berwarna biru.
“Kenapa dia punya mic itu?” MarJooni hampir tak percaya.
Sosok itu melayang turun seperti hantu cosplay. Ia membuka mulutnya. Sebuah suara keluar begitu saja. Bukan berupa kata-kata, melainkan sebuah nada. Nada yang langsung membuat bumi bergetar.
Tiba-tiba saja, Serana memekik. Tubuhnya berpendar ungu. Mic di tangannya terasa panas membara. MarJuki mencoba mendekat, tetapi terdorong mundur oleh gelombang energi.
“Dia ..., merespons suara itu!”
Suara dari sosok berjubah kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
“Penerusku ..., kembalilah.”
"Penerus?" Serana memandang ke arah langit, mencoba mengenali sosok di atas sana dengan lebih jelas. “Siapa kamu?”
“Aku ..., penyanyi pertama. Pencipta mic.”
Ketujuh pangeran Etherea pun terdiam. Serana juga demikian. Semuanya, masih belum sanggup mencerna hal yang tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Sementara itu, mic ungu bersinar semakin terang. Suara Serana pun berubah menjadi dua. Suara aslinya, dan suara lain, lebih tua, lebih dalam. Suara yang bergema dari masa lalu. Dan saat itulah, semuanya mulai memahami. Serana bukan hanya pengguna mic. Gadis itu adalah reinkarnasi dari pencipta mic itu sendiri.
Dari celah langit, suara terakhir menggema, kali ini terdengar seperti nada tawa.
"Serana ..., kalau kau tidak kembali, mic biru akan kugunakan untuk konser terakhir dunia."
Ini juga bikin ngakak
Comment on chapter Lost