MarLala Eka Ananda dan MarLila Dwi Ananda, saudara kembar yang tak ada kemiripan sedikit pun. Lala yang usianya selisih lebih tua lima menit dari Lila, mewarisi kulit kuning langsat dari almarhumah Ibu, berwajah bulat, bertubuh tinggi berisi, serta memiliki rambut panjang lurus bak perempuan di iklan shampoo.
Kalau Lala adalah tipe yang girly banget, Lila adalah versi kebalikannya. Dia mewarisi kulit kecokelatan dari almarhum ayah, bertubuh kurus, berwajah oval. Dengan alasan ingin dan simple, Lila yang agak tomboy selalu memotong pendek rambut lurusnya.
Lala dan Lila dibesarkan oleh nenek mereka, Oma MarHwa. Kedua orang tua mereka meninggal dunia dalam kecelakaan mobil, tepat di malam ulang tahun kelima si kembar. Lala dan Lila kini berusia hampir tujuh belas tahun dan keduanya duduk di kelas sebelas SMA. Mereka bersekolah di SMA yang sama dan kelas yang sama pula, hanya berbeda tempat duduk saja. Lala memilih duduk di baris paling depan, deretan paling kanan dekat pintu masuk. Sedangkan Lila yang berbadan lebih tinggi dari pada kembarannya, duduk di barisan keempat, deretan ketiga dari kanan.
Selain perbedaan ciri fisik yang mencolok, paras wajah kedua saudara kembar ini pun membuat Lila menjadi sering merasa insecure. Lala menjadi idola di sekolah karena parsnya yang cantik dan tubuhnya yang ideal. Lala juga tak kesulitan mencari teman. Dia menjadi salah satu anggota genk gaul dan popular di sekolah. Sementara Lila yang lebih suka menghabiskan waku membaca di perpustakaan, tak punya banyak teman. Hanya segelintir teman sekelasnya yang mau berteman atau sekadar menyapa. Itu pun bila mereka membutuhkan penjelasan tentang materi yang belum dipahami. Inilah yang menjadi satu-satunya kelebihan yang patut Lila syukuri dan bisa ia banggakan. Lila memiliki otak yang lebih cemerlang dari pada kembarannya. Lila selalu masuk ranking tiga besar. Sayangnya, Lala yang nilai-nilainya selalu kurang, harus merasa puas berada di posisi tiga terbawah dari 32 siswa. Lila juga sangat menyayangkan tentang hal ini. Walau berparas cantik, tetapi Lala tak begitu pandai. Genk Gaul-lah yang telah membentuk Lala seperti ini, malas belajar, senangnya main-main, dan hanya mengandalkan paras cantik saja.
Lila tak bisa berbuat banyak untuk membawa saudaranya kembali ke jalan yang benar sebelum naik ke kelas dua belas dan mengahdapi berbagai ujian untuk mencapai kelulusan. Bukannya Lila tak peduli, tapi Oma MarHwa sendiri tak merasa keberatan dan lebih sering mendukung serta lebih mendengarkan Lala dibandingkan dirinya. Prestasi-prestasi Lila tak berarti bagi Oma dan hanya dipandang sebelah mata saja. Kepandaian yang dimiliki Lila kalah dibandingkan dengan pesona Lala di mata Oma, yang menurut Lila, Oma selalu memandang Lala lebih berarti dari dirinya.
Lila sering menyaksikan adegan Oma MarHwa yang lebih terlihat bahagia dan lebih senang menghabiskan wkatu dengan Lala. Oma MarHwa bisa mengobrol dan berceloteh panjang lebar sembari mengelus-elus lembut rambut panjang cucu kesayangannya itu. Matanya menatap lembut penuh kasih sambil sesekali mereka tampak tertawa-tawa. Sementara dengan Lila, Oma hanya berkata seperlunya, itu pun dengan kalimat yang pendek-pendek dan kadang terkesan ketus. Ekspresi Oma dingin dan datar tanpa senyuman bila berbicara dengan Lila. Sementara dengan Lala, Oma selalu tersenyum hangat. Sejak kedua orang tua mereka meninggal, sikap Lala dan Oma MarHwa terhadap Lila pun berubah. Mereka memperlakukan Lila dengan sikap yang dingin, seolah-olah tak peduli akan keberadaan dia di rumah ini.
Seperti pagi ini, ketika mereka tengah menyantap sarapan bersama di meja makan, adegan yang sering Lila saksikan, kembali ia lihat. Selera makan Lila seketika saja lenyap. Padahal nasi goreng lezat buatan Oma MarHwa adalah menu sarapan favoritnya. Satu hal inilah yang Lila syukuri, meskipun Oma terkesan galak padanya, beliau masih mau membuatkan makanan untuk kedua cucunya tanpa dibeda-bedakan.
"Oma, Lala boleh, kan, ikutan ekskul paduan suara?"
"Memangnya di sekolahmu ada?"
"Ada Oma, baru dibuka. Lala kalau ikut, bakal jadi angkatan pertama."
"Boleh, dong. Oma dukung."
Lila menatap Lala dan Oma bergantian. Tampak Oma MarHwa tersenyum sembari mengelus jemari Lala ketika mengucapkan kalimat dukungan tadi. Terbersit keinginan Lila untuk menyampaikan keinginan, meski pun sesungguhnya meragu. Padahal dia juga suka bernyanyi. Inilah satu-satunya persamaan antara Lila dengan saudara kembarnya. Kecintaan mereka pada musik dan bernyanyi, memang menurun dari almarhumah Ibu.
"O ..., Oma. Lila juga boleh ikut?" Dengan terbata-bata akhirnya Lila memberanikan diri mengutarakan keinginannya. Terdengar jelas keraguan dari volume suaranya yang pelan-pelan. Dia tak berani menatap balik pandangan tajam Oma dan Lala yang kini mengarah padanya. Mata Lila menekuri nasi gorengnya yang baru ia makan beberapa suap saja.
"It's up you," ujar Oma MarHwa, lalu kembali menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Terima kasih, Oma."
"Lala boleh ikut les vocal, kan, Oma? Biar suara Lala makin bagus." Tak mau kalah dengan kembarannya, Lala kemudian kembali buka suara.
"Tentu saja, boleh, Sayang."
Tatapan wanita paruh baya itu lalu berpindah pada Lila. Hatinya mengakui, Lila selalu lebih unggul dalam segala hal dibandingkan dengan Lala. Dia tampak berpikir sejenak. MarHwa harus melakukan sesuatu menyangkut hobi kedua cucunya. Lila unggul di bidang akademik, itu sudah cukup bagi cucunya yang satu ini. Agar ada hal yang bisa dibanggakan dari Lala, MarHwa harus membuat Lala lebih baik dari Lila di bidang musik. Dia bertekad akan melakukan segala cara untuk membuat Lala berhasil di bidang yang sangat disukainya, agar Lala tak harus merasa terpuruk dan supaya mencegah cucunya kalah saing dengan Lila.
"Kalau kamu, Oma rasa nggak perlu ikut les. Pulang sekolah, kan, kamu biasanya bantu-bantu pekerjaan rumah. Kalau ditambah les, kamu bakal kecapekan dan akhirnya pekerjaan kamu akan banyak terbengkalai."
Lala tampak tersenyum puas saat mendengar penuturan sang nenek. Tergambar jelas ekspresi puasnya karena merasa beada di atas angin dan bisa menang satu langkah dari kembarannya. Sementara wajah Lila terlihat makin menunduk. Hatinya merasa sangat sedih. Ingin berontak, tetapi tak berdaya. Lila tak habis pikir, mengapa Oma-nya sendiri berlaku tak adil terhadap kedua cucu kandungnya? Pulang sekolah, Lala sama sekali tak pernah diizinkan untuk menyentuh pekerjaan rumah. Tugas ini dibebankan hanya kepadanya, sama sekali tak ada yang namanya gentian merngerjakan tugas di rumah ini. Tak seperti piket kelas, semua siswa kebagian tugas bersih-bersih kelas secara bergiliran.
Itulah mengapa, Lila tak pernah ada waktu bermain sepulang sekolah atau hanya sekadar menghabiskan waktu nongkrong bersama teman-temannya yang hanya sedikit jumlahnya. Berbeda dengan Lala, pulang sekolah dia bisa bebas nge-mall bersama teman-teman genk-nya dan tiba di rumah pukul berapa saja. Dia tak pernah kena marah Oma, tetapi bila Lila kebetulan ada kerja kelompok mengerjakan tugas bersama, sekalinya pulang ke rumah terlambat, dia akan disambut dengan serentetan omelan Oma MarHwa.
Lila tak mengerti, mengapa Oma MarHwa begitu jelas membeda-bedakan perlakuan dan kasih sayangnya terhadap Lala dan dia? Mengapa kedua anggota keluarga yang hanya ia miliki kini tampak begitu membencinya? Apa Oma dan Lala masih menyalahkan Lila atas peristiwa kecelakaan yang membuat kedua orang tua mereka meninggal?
Bahkan untuk sekadar memiliki mimpi pun, Oma seperti tak pernah mengizinkan Lila untuk mencapainya. Lila menyusuri koridor sekolah dengan langkah gontai dan perasaan sesak, diiringi lagu No More Dream yang mengalun lewat headset bluetooth yang terpasang di kedua telinganya. Apakah dia sanggup menemukan tujuan hidup dan menggapai impian di tengah tekanan hidup yang terasa makin membebaninya? Lila menghela napas berat. Rasanya Lila tak yakin dengan jalan hidupnya sendiri dan masa depan seperti yang akan dia miliki. Ternyata nasibnya hampir mirip dengan yang tergambar dalam lirik lagu ini.