“Jangan lupa untuk meneleponku nanti malam. Aku sudah menuliskan nomor ponselku di balik kertas sketsa tadi,” ujar Davin.
Aina sudah bersiap meninggalkan perpustakaan saat Davin berkata seperti itu. Aina hanya diam dan melihat ke arah Davin dengan tatapan bertanya.
“Memangnya kenapa aku harus meneleponmu nanti malam? Kalau kamu ada yang ingin dibicarakan, bicarakan saja sekarang!!” Aina malah berkata ketus kali ini.
Davin tersenyum dan mendekatkan langkahnya menjejeri Aina. Aina merasa risih apalagi saat sikut Davin sudah bersinggungan dengan sikutnya.
“Aku pingin tidur nyenyak saja, Aina.”
Aina makin bingung dengan jawaban Davin dan mengernyitkan alis sambil melihatnya penuh tanya.
“Memangnya kamu punya insomnia sehingga tidak bisa tidur nyenyak?”
Davin tersenyum lagi dan menggeleng dengan cepat. Tiba-tiba ia meraih tangan Aina dan membuat Aina menghentikan langkahnya. Selalu saja ulah pria blasteran ini membuat dadanya deg degan setengah mati.
“Itu semua gara-gara kamu. Aku gak bisa tidur gara-gara kamu. Makanya aku minta kamu meneleponku nanti malam.”
Aina hanya diam, tidak menanggapi ucapan Davin. Sekarang Aina baru tahu, mengapa Davin suka gonta ganti pacar saat itu. Dia paling pintar gombali cewek dan merayu seorang gadis hingga bertekuk lutut padanya. Namun, sepertinya Davin lupa berhadapan dengan siapa.
Aina sudah dua kali menjalani kehidupan ini. Dia sudah merasakan sakitnya diselingkuhi dan dikhianati. Rasanya di kehidupan ke dua ini, dia tidak mau jatuh ke pelukan pria lagi. Dia ingin sendiri, sukses di karir, itu saja. Tanpa seorang pria rasanya tidak masalah.
Aina buru-buru menarik tangan dan tersenyum meringis tanpa sebab ke arah Davin.
“Ya ... lihat saja nanti. Maaf, aku harus masuk kelas.”
Tanpa menunggu jawaban Davin, Aina sudah berlari pergi meninggalkannya. Davin berdecak sambil menghela napas panjang melihat punggung gadis itu yang menjauh. Padahal semua yang dikatakan Davin padanya bukan gombalan dan berasal dari lubuk hatinya yang terdalam. Andai saja Aina tahu, kalau Davin sudah menyukainya sejak kelas 10 dulu.
“Jadi kamu ditolak?” Sebuah pertanyaan mengejutkan lamunan Davin.
Davin menoleh dan melihat seorang pria memakai kacamata hitam berdiri di sebelahnya. Davin tahu siapa dia. Bukankah dia murid baru yang belakangan ini dibicarakan seantero siswi di sekolah ini. Murid baru ini juga yang membuat pamor Davin sedikit meredup apalagi saat Davin tahu dia punya hubungan kekerabatan dengan gadis incarannya.
“Apa kelihatannya seperti itu?” Davin malah balik bertanya.
Rayyan yang tak lain pria yang mengajukan pertanyaan itu hanya tersenyum sambil mengendikkan bahu. Davin langsung tersenyum melihat reaksi Rayyan.
“Apa kamu juga menyukai sepupumu?” Kembali Davin mengajukan pertanyaan.
Rayyan terlihat terkejut dan tersenyum masam sambil menggelengkan kepala.
“Dia bukan tipeku. Kamu ambil saja!!”
Davin tertawa penuh kemenangan sambil menepuk bahu Rayyan. Meski Rayyan satu tingkat di atasnya, tapi umur mereka sama. Davin pernah tidak naik kelas saat di kelas 10 karena sering tawuran. Untung saja, dia putra pemilik yayasan sekolah ini. Kalau tidak, dia pasti sudah dikeluarkan.
“Apa kamu mau membantuku untuk mendapatkannya?”
Rayyan menoleh dan menatap Davin dengan tatapan mengejek. Untung saja Rayyan mengenakan kacamata hitam sehingga Davin tidak melihat dengan jelas reaksinya. Namun, Rayyan segera bersuara.
“Memang apa keuntungan yang aku dapat jika aku membantumu?”
Davin terkekeh mendengar ucapan Rayyan. Suaranya sangat aneh dan mengandung rahasia, tapi Rayyan dengan baik mendengarkan.
“Katakan saja apa maumu!! Aku pasti akan mewujudkannya.”
Seketika sebuah senyuman manis terbersit di paras tampan Rayyan. Dia terus menganggukkan kepala sambil menatap Davin dari balik kacamatanya. Rayyan tahu apa yang dia inginkan dan dia berharap Davin mau membantunya kali ini.
**
Pukul empat sore, saat Pak Sukri menjemput Aina. Sopir pribadi Aina itu sudah menunggu hampir sepuluh menit, tapi Aina tidak kunjung keluar. Padahal hari ini Aina harus mengikuti les tambahan seperti biasanya.
Pak Sukri bahkan sudah mencoba menghubungi ponsel Aina, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Pak Sukri mencoba menghubungi Rayyan. Ia berharap Rayyan belum pulang.
[“Ada apa, Pak?”] jawab Rayyan begitu panggilan tersambung.
“Tuan Rayyan, apa Tuan melihat Non Aina? Dari tadi saya menunggu Non Aina di depan sekolah, tapi belum keluar juga.”
Rayyan terdiam beberapa saat. Kebetulan Rayyan memang belum pulang. Dia ikut ekstrakulikuler basket dan masih berada di sekolah.
[“Ya udah tunggu sebentar, Pak. Saya lihat di kelasnya.”]
Pak Sukri mengakhiri panggilannya dan berharap ada kabar baik dari Rayyan. Sementara Rayyan menyudahi latihan basketnya dan berjalan menuju kelas Aina. Rayyan melihat kelas Aina kosong, tapi dia melihat tas Aina masih berada di bangkunya.
Rayyan berjalan menghampiri dan mengambil tasnya. Dia melihat ada ponsel Aina dengan beberapa panggilan masuk tergeletak di bagian laci meja.
“Aina ke mana?” gumam Rayyan sambil celinggukan.
Ia memutuskan keluar kelas dan berjalan menuju perpustakaan. Namun, perpustakaan sudah tutup dan tidak ada Aina di sana. Rayyan memutuskan mencari ke kantin, tapi kantin juga sama sepinya dengan perpustakaan hanya beberapa petugas kebersihan yang tinggal.
“Dia ke mana, sih? Kok tasnya ditinggal di kelas.”
Rayyan masih kebingungan mencari kemudian dia berjalan menuju toilet. Siapa tahu Aina berada di sana. Rayyan menghentikan langkahnya di depan toilet putri. Dia ragu untuk masuk ke dalam. Namun, tidak ada orang yang bisa diminta tolong untuk memeriksa ke dalam.
Helaan napas panjang keluar bergantian dari bibir Rayyan. Kemudian dia sudah berjalan masuk ke dalam toilet putri. Rayyan berharap tidak ada penghuni di dalamnya. Dia tidak mau ada yang salah paham dengan ulahnya kali ini.
Namun, Rayyan langsung terperangah kaget. Kakinya membeku saat melihat ada sosok yang duduk jongkok di bawah wastafel. Sosok itu duduk sambil memeluk lutut dan terlihat sedang kesakitan. Rayyan memberanikan diri mendekat dan duduk jongkok di depannya.
“Aina ... .”
Pelan sosok itu mengangkat kepala dan terkejut saat melihat Rayyan di depannya.
“Kamu kenapa? Sakit?” Rayyan bertanya.
Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil terus memeluk lututnya. Rayyan terlihat bingung melihat reaksi Aina. Gadis cantik itu terlihat pucat, rambutnya tampak lepek karena banyaknya keringat yang menempel di kening dan membasahi wajahnya.
Rayyan bingung, dia tidak pernah melihat Aina seperti ini. Refleks tangan Rayyan terulur dan menyentuh dahi Aina. Namun, dahi Aina baik-baik saja dan tidak panas.
“Pak Sukri menunggu di luar. Ayo, pulang!!”
Aina tidak menjawab dan terus menunduk sambil memeluk perutnya. Rayyan terlihat bingung melihat ulah Aina.
“Kamu gak bisa bangun?”
Aina mengangkat kepala dan menatap Rayyan dengan sendu. Kemudian dia melihat Rayyan sedang menggendong tas miliknya bersebelahan dengan tas Rayyan. Sepertinya Rayyan baru saja dari kelasnya.
“Bisa minta tolong ambilkan pembalut di tasku?” Tiba-tiba Aina bersuara.
Rayyan membisu dan dengan canggung membuka tas Aina. Bagi Rayyan ini pertama kalinya diperintah seperti itu. Namun, bagi Aina, Rayyan sebagai suaminya di kehidupan berbeda sudah sering melakukan hal itu.
“Ini, ya!!” Dengan ragu, Rayyan mengulurkan sesuatu yang diminta Aina. Aina mengangguk kemudian perlahan bangkit dan berjalan masuk ke dalam bilik toilet.
Rayyan terdiam saat melihat banyak noda darah di bagian belakang rok Aina. Pantas saja, dia tidak berani keluar tadi. Cukup lama Rayyan menunggu hingga akhirnya Aina keluar dengan jalan tertatih. Rayyan masih melihat noda di rok bagian belakangnya. Lalu tanpa banyak bicara, Rayyan melepas jaketnya dan mengikatkannya ke pinggang Aina menutupi noda darah itu. Aina hanya diam membisu.
Lagi-lagi kejadian seperti ini tidak ada di kehidupan Aina sebelumnya. Memang setiap tamu bulanan Aina datang, ia selalu kesakitan seperti ini. Mungkin itu juga yang menyebabkan Aina mengindap kanker serviks di kemudian hari.
Mereka sudah berjalan beriringan keluar dari toilet putri. Namun, Aina berjalan sangat lambat bahkan terus menunduk sambil memeluk perutnya. Tak jarang juga ia meringis menahan sakit yang tak terkira. Hingga tiba-tiba Aina oleng dan hampir jatuh.
Untung, Rayyan gegas menahan tubuhnya. Tanpa pikir panjang, Rayyan langsung mengangkat tubuh Aina, membopongnya sampai mobil. Aina tidak tahu apa yang terjadi. Dia sibuk menahan sakitnya bahkan tanpa sengaja mencakar lengan Rayyan yang menggendongnya.
“Pak!! Buruan pulang!! Aina sakit!!” seru Rayyan.
Pak Sukri tergopoh membuka pintu mobil, menyilakan Rayyan dan Aina masuk ke kursi belakang. Rayyan belum sempat meletakkan Aina di bangku belakang, Pak Sukri sudah menjalankan mobil. Kali ini terpaksa Rayyan membiarkan Aina duduk di atas pangkuannya.
Dalam keadaan setengah sadar, Aina membuka mata, mendongakkan kepala dan tanpa sengaja matanya beradu dengan mata pekat itu. Entah mengapa Aina melihat tatapan yang beda di mata Rayyan. Mata yang penuh kekhawatiran dan kasih sayang, beda dengan yang ia lihat selama ini.