Read More >>"> Viva La Diva
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Viva La Diva
MENU
About Us  

Dapatkah kau melihatnya?

Hentakan sepatu dalam alunan yang syahdu.

           

            “Dari hasil diagnosa, putri bapak dan ibu tak dapat mendengar.”

            Seorang wanita yang tengah duduk menggendong balita tiba-tiba menangis tersedu-sedu, air mata yang tak dapat dibendungnya perlahan membasahi pipi. Pria berkemeja coklat tua yang tengah duduk disampingnya dengan raut wajah yang pilu, merangkul pundaknya lalu mengusapnya.

            Di depan mereka seorang pria berkacamata dengan jas putihnya tengah duduk menatap penuh simpatik ke arah mereka, kedua tangannya memegangi secarik kertas putih yang kemudian dia berikan kepada mereka.

            Pria berkemeja coklat menerima kertas tersebut dan dengan lekat kedua matanya melihat dan membaca tulisan-tulisan yang ada pada kertas tersebut.

            “Dok, apa tidak ada yang bisa dilakukan agar putri kami dapat mendengar?” Tanya pria berkemeja coklat penuh harap.

            “Saat ini belum ada alat yang bisa memulihkan pendengaran putri anda.” Jawab sang dokter dengan nada kecewa.

            “Lalu apa yang dapat dokter lakukan untuk putri kami? Kami tidak ingin putri kami tumbuh dengan kondisi seperti ini.” Pinta pria berkemeja coklat dengan cemas.

            Namun jawaban yang diberikan sang dokter tak dapat memuaskan mereka berdua, mereka harus pulang dan menerima putri kecil mereka yang cacat; menunggu dengan harapan suatu saat nanti kondisi putri kecilnya dapat disembuhkan.

            Tahun demi tahun mereka lewati dengan penuh sabar membesarkan putri kecil mereka, dari mengajarkan caranya makan hingga menuntunnya sampai bisa berjalan. Hanya satu hal yang membuat mereka kepayahan yaitu mengajarkan pada putri kecilnya bagaimana berbicara.

            Dengan kondisi putri mereka yang tak mampu mendengar dari lahir membuat putri mereka tak mampu berbicara bahkan melafalkan kata dengan benar, dan pada akhirnya lewat tulisan dan bahasa isyarat lah mereka harus berbicara pada putrinya.

            Mengajarkannya menulis tak membutuhkan waktu lama, beda halnya dengan bahasa isyarat, mereka berdua juga harus belajar bersama putrinya gerakan demi gerakan untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan.

            Dalam kehidupan yang sederhana mereka jalani semua itu demi putri kecilnya, hingga satu demi satu dari mereka meninggalkannya. Sang ibu yang sakit parah harus meninggalkannya saat ia masih remaja, sedangkan sang ayah harus meninggalkannya karena kecelakaan yang di alaminya sehari sebelum perayaan ulang tahun putrinya yang ke-24.

            Kepergian sang ayah menorehkan luka yang dalam, kehidupan terasa pincang baginya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihannya, bahkan kerabat dan teman dekatnyasekalipun. Karirnya sebagai seorang guru sekolah hancur, rindu tak terbendung akan kedua orang tuanya membuatnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

            Berdiri beralaskan kursi kayu dia memegangi seutas tali yang melingkar; menggantung didepannya, tangis sedu membuat nafasnya kian tak beraturan. Ingatan tentang kedua orang tuanya terus muncul dalam pikirannya, ingatan tentang betapa senyum hangat keduanya menemani tiap langkahnya hingga kini.

            Jika kau sedih, menangislah.

            Biarkan air matamu jatuh.

            Biarkan ia membasuh hatimu yang tengah pilu.

            Tegarlah putriku.

            Tegarlah.

            Karena begitulah ayah dan ibu membesarkanmu.

            Apa yang pernah disampaikan ayahnya dikala ibunya meninggalkannya membuat niatnya sirna, dia turun dari kursi dan roboh menangis sejadi-jadinya. Dia harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah pergi dan dia tak mungkin bisa menemui mereka dengan cara seperti itu, dan akhirnya dia putuskan untuk melanjutkan hidupnya, membangun cita-cita baru dalam dirinya.

            Aku ingin bisa mendengar suara ayah dan ibu.

            Keinginannya itu yang terus membawanya tetap hidup, agar suatu saat dia bisa mendengar suara kedua orang tuanya dari setiap kaset rekaman dan video tape yang pernah mereka rekam.

            Tibalah suatu hari dia bertemu dengan seorang teman dekatnya di sebuah kedai kopi, bahasan acak dari gosip hingga tambatan hati menemani hangatnya kopi yang mereka nikmati.

            “Ngomong-ngomong apa kau tahu lagu ini?” Tanya teman dekatnya dengan bahasa isyarat, dia lalu menunjukkan layar ponselnya padanya.

            Tidak, aku baru pertama kali melihatnya.

            “Kau harus tahu karena lagu ini, nada dan temponya membuatmu ingin menari!”

            Ya, biar nanti kulihat sendiri.

            “Oh ya aku punya kabar gembira untukmu.”

            Apa itu?

            “Dokter muda kenalanku yang tadi kuceritakan itu, aku pernah bercerita tentangmu padanya.”

            Lalu?

            “Dia bilang sekarang penyakitmu bisa disembuhkan.”

            Penyakit? Ini bukanlah penyakit.

            “Maksudku kondisimu, pendengaranmu bisa dipulihkan.”

            Benarkah? Bagaimana caranya?

            “Katanya sih lewat operasi, dia sendiri menceritakan beberapa pasien dengan kondisi sama sepertimu, dan kini mereka bisa mendengar layaknya orang normal.”

            Operasinya ini, apa tidak ada efek samping?

            “Dia bilang selama operasinya berhasil tidak akan ada efek samping satu pun.”

            Jadi ada kemungkinan operasi ini gagal?

            “Ada, tapi resiko gagal kecil, karena tingkat keberhasilannya 90%.”

            Entahlah, aku tak yakin.

            “Ayolah Elen, apa kau tidak lelah harus berbicara lewat tulisan dan bahasa isyarat terus menerus? Karena jujur saja aku sendiri lelah.”

            Bukan itu, maksudku.

            “Apa kau tak penasaran dengan semua nada yang kau baca? Apa kau tak ingin mendengar suara kedua orang tuamu?”

            Apa yang di ungkapkan temannya membuat Elen kesal.

            Kau tak harus bahas sampai kesana.

            “Maaf...aku  hanya ingin menolongmu.”

            Sudahlah, lupakan.

            Dengan kesal Elen memalingkan wajahnya, melihat hal itu temannya perlahan beranjak dari kursi; merogoh saku baju lalu menaruh secarik kertas di atas meja.

            “Itu kartu namanya, tak apa jika kau tak mau, maaf sudah kelewatan.”

            Temannya pun berlalu pergi meninggalkannya, Elen yang masih kesal menundukkan kepalanya dan menarik nafas panjang mencoba untuk tenang. Dilihatnya kartu nama yang ada dimeja lalu diraihnya, kedua matanya menatap lekat pada kartu nama tersebut, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kebimbangan.

            Elen pun menyimpan kartu nama tersebut disakunya lalu beranjak pulang, di kediamannya dia membuka sebuah kotak penuh dengan kaset rekaman dan video tape yang kedua orang tuanya tinggalkan. Keinginan kuat untuk mendengar suara kedua orang tuanya membuat Elen bergegas pergi ke rumah sakit tempat dimana dokter yang ada pada kartu nama itu bekerja.

            Setibanya disana, Elen mendaftarkan diri untuk berkonsultasi dengan sang dokter. Dia menunggu dengan sabar antrean demi antrean hingga akhirnya tiba gilirannya masuk ke ruangan sang dokter.

            Diruangan, sang dokter bertanya tentang apa yang ingin Elen konsultasikan. Elen mengambil ponsel yang ada pada tasnya; mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan jemarinya lalu menunjukannya pada sang dokter.

            Maaf, tapi pendengaranku tak berfungsi.

            Tulisan itu terpampang pada layar ponsel Elen, sang dokter yang melihat hal itu menarik secarik kertas dan sebuah pena untuk menulis lalu menunjukkannya pada Elen.

            “Ada yang mau dikonsultasikan?”

            Aku ingin melakukan operasi agar pendengaran saya bisa berfungsi.

            “Apa kau yakin? Operasi ini masih memiliki tingkat kegagalan 10%.”

            Aku yakin dok, tapi jika operasi ini gagal apa yang akan terjadi dok?

            “Jika gagal bukan saja kau tetap tuli, saraf di otakmu dapat mengalami gangguan dan bisa saja berujung pada kematian.”

            Elen terdiam melihat apa yang disampaikan sang dokter, dia menundukkan kepala lalu mengetuk layar ponselnya kembali.

            Baiklah dok, aku mau menjalani operasi.

            “Tak perlu terburu-buru, kau bisa mempertimbangkannya dahulu.”

            Tidak dok, tekadku sudah bulat.

            Sang dokter yang melihat kesungguhan Elen akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi padanya, cukup lama waktu berlalu hingga operasi Elen pun selesai.

            Tak! Tak!

            Sang dokter menjentikan jari di depan wajah Elen yang baru saja siuman.

            “Apa kau bisa mendengarku?” tanya sang dokter sembari melambaikan tangan di depannya, namun kedua mata Elen nampak melihat kesana kemari.

            Tak! Tak! Tak!

            Sang dokter menjentikan jarinya kembali.

            “Apa kau bisa mendengarku?” tanyanya lagi, dan akhirnya kedua mata Elen tertuju pada jemari sang dokter. “Bagus, sekarang kau hanya harus melewati masa pemulihan untuk beberapa bulan.”

            Masa pemulihan yang cukup lama dilewati Elen, kini dia bukan saja bisa mendengar tapi sudah bisa berbicara bahkan bersenandung. Sang dokter akhirnya mengizinkannya pulang ke kediamannya, namun Elen tetap harus cek-up seminggu sekali selama sebulan     untuk memastikan kondisinya sepenuhnya.

            Elen pulang dengan perasaan bahagia, tiap orang yang ditemuinya dia sapa, itu merupakan hari baru bagi Elen. Tiba di kediamannya dia bergegas menuju sebuah kotak berisi kaset rekaman dan video tape orang tuanya, satu demi satu dia putar dan betapa bahagianya Elen akhirnya bisa mendengar suara kedua orang tuanya.

            Sebuah video yang diputar membuatnya menangis, dalam tangis ia turut bersenandung dengan lagu yang kedua orang tuanya nyanyikan semasa ia kecil. Kerinduannya akan mereka sedikit terobati, namun Elen masih bersedih karena tidak bisa mengucapkan kata terima kasih kepada mereka.

            Beberapa hari Elen hanya diam di rumah; memutar video yang sama, bersenandung lagu yang sama. Hingga terbesit dibenaknya sebuah lagu yang teman dekatnya pernah tunjukkan, dia raih ponsel lalu memutar lagu tersebut. Elen takjub dengan suara penyanyi dan alunan musiknya, kedua kakinya perlahan mengetuk-ngetuk lantai hingga tanpa sadar dia ikut bernyanyi dalam lagunya.

            Dalam benaknya dia ingin bisa bernyanyi seperti penyanyi dalam lagu tersebut, dia ingin bisa membuat sebuah lagu yang bisa menghapus kesedihan seperti yang di alaminya. Keinginan itu menggugah Elen untuk mengikuti latihan vokal, semangat dalam dirinya kini membawanya dari seorang penyanyi panggung ke panggung menjadi seorang diva terkenal dengan puluhan lagu.

            Tiba suatu malam Elen sedang duduk bersantai di kediamannya, mulutnya bersenandung mengikuti alunan musik yang terdengar dari speaker dirumahnya. Dia perlahan beranjak dari tempatnya lalu berjalan menuju rak buku, diraihnya sebuah buku peninggalan kedua orang tuanya dulu, buku bahasa isyarat yang pernah mereka ajarkan padanya.

            Lembar demi lembar dia buka, dengan pelan dia gerakan salah satu tangannya meniru gerakan yang ada dibuku tersebut. Perasaan nostalgia menghampirinya, dia ingat betul bagaimana orang tuanya mengajarkannya kata demi kata, huruf demi huruf.

            Namun sebuah ingatan membuat tangannya terhenti, ingatannya pasca operasi. Ada hal ganjil saat sang dokter menjentikkan jari, dia baru sadar kenapa kedua matanya pada waktu itu tidak langsung tertuju pada jari sang dokter.

            Dia mendengar suara lain.

            Suara riuh bisikan yang memenuhi ruangan dimana saat itu hanya ada dia dan sang dokter saja diruang operasi. Ingat akan hal itu membuat Elen takut, dia mengambil ponsel di atas meja lalu menelpon sang dokter.

            Dengan panik Elen menceritakan kepada sang dokter tentang apa yang di alaminya pasca operasi, namun sang dokter merasa kebingungan dengan apa yang diceritakan Elen.

            “Maksudnya bagaimana?”

            “Diruangan operasi tidak ada orang lain kan?”

            “Tidak ada, hanya kita berdua.”

            “Lalu darimana semua suara bisikan itu dok? Apa operasiku gagal??”

            “Tidak, operasimu berhasil.”

            “Lalu yang kudengar itu apa?”

            “Mungkin itu efek obat bius yang belum habis sepenuhnya, memangnya kau mendengar suara bisikan lagi sekarang?”

            “Tidak dok, hanya saja bisikannya terdengar nyata, bahkan ada bisikan yang terdengar cukup jelas. ”

            “Maksudmu?”

            “Seperti seorang pria berbisik memberitahuku kalau dia—”

            Glutuk!

            Belum selesai Elen memberitahu sang dokter ponselnya terjatuh dari genggamannya, tangannya gemetar saat mendengar suara lain dibelakangnya, suara bisikan yang sama persis dengan apa yang dia dengar pasca operasi.

            —selalu bersamamu, Tyara.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Panggung Terakhir
313      200     0     
Short Story
Apa yang terlintas dipikiran kalian saat melihat pertunjukan opera? Penuh dengan drama? Bernilai seni yang tinggi? Memiliki ciri khas yang sangat unik? Dimana para pemain sangat berkarakter dan berkharisma? Sang Ratu Opera, Helena Windsor Saner, merupakan seorang gadis cantik dan berbakat. Jenius dalam musik, namun lebih memilih untuk menjadi pemain opera. Hidup dengan kepribadian ceria...
Rumah Laut Chronicles
2408      1000     7     
Horror
Sebuah rumah bisa menyimpan misteri. Dan kematian. Banyak kematian. Sebuah penjara bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah, juga gudang cerita yang memberi mimpi buruk.
Kreole
101      91     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas
Batagor (Menu tawa hari ini)
340      209     4     
Short Story
Dodong mengajarkan pada kita semua untuk berterus terang dengan cara yang lucu.
Katamu
2701      990     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Revenge
1411      740     1     
Inspirational
Di pagi yang indah di Tokyo, Azurinee Forcas dan kakaknya, Kak Aira, mengalami petualangan tak terduga ketika hasrat Rinee untuk menikmati es krim bertabrakan dengan seorang pria misterius. Meskipun pertemuan itu berakhir tanpa tanggung jawab dari pria itu, kekecewaan Rinee membuka pintu bagi peluang baru. Saat melihat brosur pertukaran pelajar gratis di tepi jalan, Rinee merasa tertarik untuk me...
Do You Believe?
376      261     1     
Short Story
Beredar sebuah rumor tentang serial killer yang akan membunuh siapapun yang percaya dengan keberadaannya untuk balas dendam. Sekelompok remaja memutuskan untuk liburan bersama merayakan kelulusan mereka. Liburan menyenangkan dambaan mereka mulai terusik dengan adanya rumor itu. Satu persatu dari mereka mulai mempercayai rumor itu. Apakah yang akan terjadi pada mereka? Apakah ada yang selamat? B...
My World
502      337     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
After School
1435      854     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
A & O
1435      666     2     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...