PERASAANNYA sudah tidak karuan ketika setelah selesai menjemput Emily dan Ikal, Emil memutar mobilnya berlawanan arah dengan jalan pulang ke rumah mereka. Dan ternyata, rumah sakit adalah tujuan Emil. Tika tertipu.
What the....
"Aku bilang juga apa, lututku baik-baik aja. Kata dokter cuma memar. Tinggal dikasih salep. Abang kenapa, sih? Kok jadi berlebihan gini?" geram Tika setengah berbisik. Ia terpaksa memelankan suaranya karena Emily sedang tidur di pangkuannya. Jangan lupakan Ikal yang juga tidur di kursi belakang, soalnya Ikal habis latihan basket dan dia sangat kecapekan.
"Abang nggak tenang. Kamu begitu karena berusaha menyelamatkan Galih. Bagaimana mungkin Abang bisa santai?"
"Aku tahu, tapi aku nggak anak kecil lagi, Bang. Aku bukan anak SD yang mesti dikawal ke mana aku pergi. Aku bisa memutuskan apa yang terbaik untuk aku," jawab Tika memelas.
"Tapi di mata Abang, kamu masih terlihat seperti anak SD dengan kuncir dua dan makan es lilin pas pulang sekolah." Emil melirik jahil ke kirinya.
Tika tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Dan apa balasan Emil? Sebuah senyum legendaris: senyum Pepsodent.
"Abang!"
"Iya, iya, maaf."
"Bang, aku tuh udah 28, ya!"
Kekehan Emil membahana di tengah kemacetan aspal ibukota. "Abang paham, Dek. Baiklah, Abang minta maaf kalau Abang berlebihan. Okay?"
"Emang iya," celetuk Tika tak sabaran. Emil memutar bola matanya.
"Kartika Larasati Akmal, maafin Abang."
Ada sesuatu yang muncul di dadanya saat Emil mengucapkan namanya dengan lengkap dan ... lembut.
Uugh, maafnya langsung sampai ke hati. Heh otak, kamu nggak bisa filter apa? Gimana gue bisa marah kalau begini ceritanya?
Sebelum menjawab, Tika menggeretakkan gigi geliginya. "Iya dimaafin."
"Makasih, Tante Tika." Emil menyapu sekilas puncak kepala Tika.
"Hm," gumam Tika menunduk. Oh Tuhan, untuk apa dia menunduk?
"Abang tahu kok, kamu sudah dewasa. Abang hanya minta pengertian kamu atas kekhawatiran Abang," ucapnya tulus, tanpa nada bercanda kali ini.
Yang bisa dilakukan Tika ikut-ikutan memutar matanya samar dan membelai rambut Emily. Ia menghirup bau shampo khas bayi itu dalam-dalam demi mengendorkan syarafnya yang tegang. Berdebat dengan Emil kemungkinannya hanya satu. Siap kalah. Karena apapun argumen yang dilemparkan Tika, Emil akan membalasnya tanpa ampun dengan jawaban super masuk akal dan senyum Pepsodent.
Tapi Tika tidak mau kalah.
"Abang impulsif, tahu gak."
"Impulsif? Dari mananya, Dek?"
"Untuk semua tindakan Abang hari ini."
"Abang nggak impulsif, tuh. Semua tindakan Abang terencana dengan baik, asal kamu tahu," jawab Emil ringan sambil mengangkat bahu.
Idih, pede tingkat tinggi nih, bapak-bapak.
"Kalau nggak impulsif, kenapa maksa aku untuk ikut jemput Ikal? Padahal yang butuh cepat untuk dijemput itu Emily. Lalu tiba-tiba putar haluan ke rumah sakit dan maksa aku untuk diperiksa. Itu ulah siapa? Apa Abang nggak merasa impulsif?"
"Tidak," ujar Emil sabar, tapi ia malah mengklakson mobil di depannya berkali-kali karena melaju terlalu lambat.
"Kalau bukan impulsif, lalu apa?"
Emil menoleh ke Emily yang tidur pulas dan berkata, "Emily yang minta." Lalu pandangannya beranjak ke Tika.
"Maksudnya?" Tika tidak mengerti. Apa hubungan sifat Emil yang impulsif dengan boneka oriental ini?
"Emily yang minta Abang untuk bawa kamu ke rumah sakit. Dia cemas Tante Ika-nya kesakitan tadi pagi."
"A-apa?"
"Selain itu Abang juga ingin memastikan kamu baik-baik saja " jawab Emil tenang sambil menyunggingkan seulas senyum tulus.
"Oh Tuhan...." Spontan Tika mengeratkan pelukannya pada si gadis oriental. Ia mengusap lembut rambut dan pipi Emily.
"Itu sebabnya Abang bolos kerja siang ini?" Tika menoleh menuntut jawaban Emil.
Emil meringis malu, dan akhirnya menggangguk dua kali.
Pada akhirnya Tika memang tidak bisa marah pada lelaki ini.
"Makasih ya, Bang."
"Anytime, Tante Ika."
"Dan Em," bisiknya lembut. "Makasih udah khawatirin Tante Ika." Tika mendaratkan kecupan lembut di dahi Emily yang masih tidur pulas.
"Tante Ika, Tante Ika." Emil menutupnya dengan mengucek gemas ubun-ubun sahabat adiknya selama dua detik.
***
"Kakak masak sup? Sejak kapan Kakak belajar masak? Enak lho, Kak," puji Buk Nur setelah mencicipi sup yang terhidang di meja makan. Pak Fauzan dan Ikal sudah berada di kursi masing-masing menghadapi piring yang sudah penuh dengan nasi dan lauk.
"Eh, enggak Bu. Itu sup dikasih Tante Helen."
Buk Nur membulatkan matanya. "Oh, ya? Pantesan Ibu ngerasa supnya memang mirip buatan Mbak Helen." Tika memutar matanya dramatis.
"Kenapa Mbak Helen kasih sup? Ada acara di rumahnya?"
"Nggak ada acara apa-apa kok, Bu. Tadi Tante Helen masak buat Emily dan Galih untuk mereka bawa pulang."
Gue nggak mungkin cerita alasan sebenarnya kenapa Tante Helen kasih sup sepanci, kan?
"Tapi Kakak juga harus belajar masak, lho. Biar nanti bisa masakin suami."
"Emang kakak mau nikah, Bu?" sambung Ikal serius.
"Belum, Haikal," timpal Tika gemas.
"Suatu saat kamu akan menikah, Kak. Mau jadi single fighter terus? Nggak rugi lho, belajar masak dari sekarang."
Mau tidak mau, Tika terkekeh dengan statement ibunya yang out of the box. Ayahnya ikutan terkekeh pelan.
"Kakak juga pengen nikah, Bu. Tapi kalau sekarang ya, belum ada calonnya. Ibu harus sabar. Nanti Kakak cari suami yang pinter masak aja. Biar dimasakin tiap hari. Jadi Kakak nggak perlu belajar masak." Tika menatap jahil Ibu dan Ayahnya.
Buk Nur mendengkus kesal. "Tapi Kakak masih ingat kan perjanjian kita? Ibu punya kenalan--"
"BU!" protes Tika menghentikan Ibunya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dirinya sedang tidak ingin membahas topik itu sekarang.
"Kalau Kakak mau nikah, Kakak harus kenalin ke Ikal siapa orangnya." Semua pasang mata tertuju pada si bungsu dengan tatapan bertanya-tanya. "Soalnya calonnya Kakak harus lolos seleksi dari Ikal."
***
"Ikal, Ikal." Sempat-sempatnya Tika terkekeh saat mengerjakan proyek terjemahan di depan laptop. Ia makin sayang sama si bungsu.
Gadis itu menjauhkan diri dari laptop untuk bersandar. Pikirannya kembali melayang pada pelukan hangat Tante Helen dan betapa bersyukurnya beliau akan Tika karena telah menjaga cucunya bagaikan Tika menjaga anggota keluarganya sendiri. Tika sempat risih dengan perlakuan Tante Helen yang ia nilai berlebihan. Tapi ia diam saja.
Tante Helen memperlakukan gue bagai pahlawan yang menyelamatkan satu negara. Rasanya ada yang salah.
Sebelum pulang, ia dipaksa membawa satu kotak besar Tupperware berisi sup buntut buatan Tante Helen sebagai ucapan terima kasih. Tika tidak bisa menolak karena ia tahu, sup buatan Tante Helen memang tiada duanya.
Oh, Tika juga tidak akan melupakan drama mengantar kepergiannya dari rumah Tante Helen yang diiringi tangis tidak rela dari Emily, terutama Galih. Tika ingin saja berlama-lama dengan mereka, tapi Emil juga harus pulang. Atas bujuk rayu boneka-boneka oriental serta bujukan persuasif dari bapaknya anak-anak, Tika berjanji akan menemui mereka lagi besok pagi dan menemani Galih di rumah Tante Helen seharian.
Bagaimana cara Emil membujuk Tika?
Dengan Galih di tangan kanannnya, Emil menatap penuh harap sambil memohon pada Tika.
"Tika, apa besok kamu bisa meluangkan waktu untuk anak-anak? Please, mau ya?"
Dua pasang mata menatap penuh harap ditambah suara memelas Emil, tidak lupa Emily yang terus menarik-narik baju Tika. Bagaimana bisa Tika mengucapkan kata 'tidak' pada keluarga kecil ini? Sungguh keluarga yang amat sangat pintar dalam membujuk orang lain. Sepertinya kemampuan persuasi ini sudah mendarah daging dari generasi ke generasi.
Lagi, Tika terkekeh mengingat kelakuan bapak-bapak dua anak itu. Walaupun Emil menolak diberi prediket impulsif, tapi bagi Tika, semua yang dilakukannya bertolak belakang dengan pembelaannya. Apa memegang kepalanya juga bukan termasuk tindakan impulsif? Pelan, Tika meletakkan tangannya ke dada. Emil membuat perasaannya seperti roller coaster hari ini.
"Tapi, apa kata Kak Anne? Apa dia nggak marah gue selalu berada di sekitar anak-anak dan suaminya?" Tika merawang sejenak. "Eh, by the way, gue nggak pernah sekalipun ketemu Kak Anne selama mengunjungi rumah Om Tamam," renung Tika.
Monolog Tika diinterupsi oleh getaran ponselnya. "Eh, si Bintang Toedjoe WhatsApp gue." Ia beranjak dari meja belajar dan merebahkan diri sepenuhnya di tempat tidur.
Bintang Toedjoe
Tik.
Gula, gula apa yang bukan gula merah?
"Tumben Bang Bintang kirim dad's jokes."
Setelah berpikir sebentar, cepat-cepat Tika balas.
Anda
Hmm? Gula putih?
Bintang Toedjoe
Salah.
Gula Aren't
“Bhuahahaha.” Tawa Tika otomatis tersembur. Selama satu menit ia berguling di kasurnya hanya untuk tertawa. Tika paling mudah tertawa karena jokes receh Bintang. Dari dulu. Apa hidupnya sereceh itu?
Anda
Sukses lo Kak, bikin gue guling-guling di kasur. Ada lagi?
Bintang Toedjoe
Kalau ada pasien sakit karena gejala rindu, mesti dibawa ke mana?
Anda
Ya ke rumah sakit, lah. Di obatin sama dokter cinta.
Tika geli sendiri dengan jawabannya.
Bintang Toedjoe
Salah.
Dibawa ke : I See You
Lagi-lagi Tika dibuat tergelak dengan jawaban Bintang. Ia sampai menyeka air matanya.
"Gila banget sih Bang Bintang Toedjoeh ini."
Tika mengetik dengan cepat.
Anda
Kenapa lo, Bang? Mumet disertasi lagi? Sini gue bantuin. Tapi nggak ada yang gratis di dunia ini.
Bintang Toedjoe
Enggak mumet. Gue emang lagi keinget lo aja. Sejak kapan lo jadi MADU gini? Apa gara-gara lo resign, ya? Mau cari tambahan?
Anda
Hahaha, paan si lo Bang. You are so absurd. Resign gini masih ada pemasukan gue. Wleee.
Bintang Toedjoe
Mungkin emang bener gue harus ke I See You.
Anda
Come here, if you wanna see me.
Bintang Toedjoe
I Will. Just wait for me, Kartika Larasati!
Anda
OK! You know where to find me.
Kali ini mood Tika langsung melambung lagi. Jokes Bintang dapat mengobati perasaan roller coaster-nya gara-gara Emil.
Satu lagi pesan WhatsApp masuk ke ponselnya.
Tanpa melihat si pengirim, ia langsung membacanya.
+62811240588xx
Hi, Laras. Kamu apa kabar? Aku rindu.
Pesan singkat terakhir berhasil membuat mood Tika yang sudah di titik tertinggi, kini terjun bebas bagai menuruni wahana Hysteria dalam hitungan detik.
Damn!
Bersambung
Hey kamu!
Iya, KAMU.
Makasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca The Spark Between Us 😘