Asap dari es kering memenuhi kaki panggung. Semua orang bertepuk tangan usai mengikuti hiburan yang ada. Mulai dari bernyanyi, hingga bermain bersama. Langit malam yang menjadi atap mereka saat ini, turut menjadi saksi sekumpulan mahasiswa Geofisika yang melupakan diri dari tumpukan tugas.
"Acaranya cuma sampai pukul sepuluh, kok." Begitu kata adik tingkat yang dulu merayu mereka agar ikutan acara hari ini. "Masih ada tengah malam buat ngerjain tugas."
Ya, tidak salah, sih. Tugas memang bisa kelar. Hanya saja, urusan konsentrasi di kelas, sebagian besar dari mereka akan angkat tangan. Tapi toh, siapa peduli. Nyatanya mereka tetap hadir malam ini. Tentu saja untuk mengusir suntuk. Dan, yang tidak kalah menarik, ada makan gratis!
Kira melirik isi piring temannya yang sudah selesai mengantre. Ada nasi dengan lauk ayam. Sebagai vegetarian, perempuan itu harusnya mengisi saja daftar pantangan makanan yang di formulir undangan. Panitia pasti akan menyiapkan menu khusus untuknya. Namun, sebagai orang yang lebih suka merepotkan diri, dengan alasan supaya adik tingkatnya tidak kerepotan, dia mengosongi formulir itu. Hadir sebagai kakak tingkat yang bersedia makan menu apa saja.
"Kira, awakmu nggak gelem ayam, kan? Gawe aku ae, yo." Jojo, teman satu angkatannya yang baris tepat di depan Kira, menawarkan diri untuk mendapat dua ayam malam itu.
"Jangan, Kir. Buat aku aja!" serbu seseorang di belakang Kira. "Kita kan, bestie," rayunya seraya mengerling.
Teman lain yang mendengar kesempatan emas itu tentu tidak mau ketinggalan. "Kir, Kir. Sebagai sobat satu laboratorium, seperjuangan, sepenanggungan, lo pasti bagi ayam itu buat gue, kan?"
"Eh, nggak iso, nggak iso. Wong aku dhisikan sing njaluk, kok." Jojo tentu tidak terima jika jatahnya diambil begitu saja.
Cekcok dan baku hantam pun terjadi. Sebagai penggemar pertengakaran, Kira hanya diam dan tidak mengambil keputusan apa pun. Cekcok ini terlalu seru untuk segera dihentikan.
Tiba saat Kira di urutan paling depan untuk menerima piring, si adik tingkat memberinya penampakan yang berbeda. "Kak Kira, ini ada lauk spesial buat Kakak. Tadi dikirim sama Kak Dani. Katanya, Kakak nggak suka ayam."
"Wooo, Dani iki, njaluk di-pites ancen. Nggak seneng ndelok wong seneng," protes teman-temannya. Kebahagiaan luntur lantaran gagal mendapat potongan ayam. Padahal, mereka sudah sepakat berbagi sesuai jumlah orang yang memperebutkan surga dunia itu.
Kira tertawa lebar seraya melepas topeng singanya. Kelompok itu duduk membentuk lingkaran kecil dan menghabiskan makanan bersama.
Kira tersenyum dalam ketika menatap jamur itu lekat-lekat. Dani, katanya mau mengolah data skripsi, eh, masih saja sempat mengecek menu makanan acara ini. Entah dari mana laki-laki itu tahu kalau pacarnya tidak mengisi formulir pantangan makanan. Yang pasti, ketika memastikan bahwa lauk itu tidak disukai Kira, dia langsung sat-set-sat-set membelikan jamur ini. Uuuh, manis sekali. Sebelum akhirnya Kira tersadar dari lamunan dan mulai menyantap habis makanan di piring.
Jadwal penutupan masih setengah jam lagi. Kakak tingkat yang sudah selesai makan, mengisi kekosongan acara dengan bermain musik di panggung. Mereka menanti akhir acara yang akan ditutup dengan pengumuman pemenang beberapa kategori, salah satunya pengguna kostum terbaik.
Kira menyibak kerumunan, menuju bilik foto. Dia memilih menghabiskan waktu kosong itu dengan mengabadikan momen bersama teman-temannya. Ada banyak properti pendukung yang bisa menghidupkan tema siluman kali itu. Jemari Kira mencoba memegang properti itu satu per satu. Ada tongkat ular, tongkat sihir, keris, boneka jelangkung, kain putih yang mirip kafan, sesajen, selendang, dan kendi-kendi. Pilihan Kira jatuh pada keris panjang, sementara teman-teman lainnya mengambil properti yang paling sesuai dengan kostum siluman masing-masing.
Baiklah, ini saatnya mereka berpose.
Satu gaya.
Dua gaya.
Tiga gaya.
"Kira!" Suara Dani menggelegar bagai petir yang menghentikan saluran teve komedi yang tengah menghibur mereka.
Sang pemilik nama menoleh cepat.
"Ayo, ikut aku ke lab sebentar." Tangan Dani meraih pergelangan Kira tanpa meminta persetujuannya.
"Eh, eh, ada apa, sih? Narik tangan orang seenak jidat." Kira melepaskan diri, meski tetap membuntuti Dani.
Sesampainya di laboratorium Geofisika, Dani langsung menuju ruang peralatan, sementara Kira menunggu di ruang belajar.
Perempuan itu mendapati piring di atas meja belajar Dani. Bentuknya sama persis dengan yang ada di acara malam keakraban tadi. Tidak ada nasi tertinggal di atas piring. Ludes. Hanya menampakkan sisa-sisa tulang ayam sebagai korban keserakahan penyantap. Kira menatap Dani tajam ketika laki-laki itu kembali ke ruang belajar.
Tangan Dani penuh peralatan. Logam elektroda, kabel, meteran, dan peralatan lain memenuhi tangannya, baik di genggaman, siku, bahkan dihimpit di lengan atas. Dia meletakkan alat-alat itu di atas meja, lalu terdiam sejenak ketika menyadari tatapan Kira. "Ada apa?"
"Jadi, kamu menukar lauk ayamku dengan jamur?" Kira melengkingkan suaranya.
"Iya. Kenapa?" Dani memasukkan alat-alat itu ke dalam tas dengan hati-hati.
Ah, seharusnya Kira sudah tahu kelakuan pacarnya itu. Mana mungkin dia melakukan sesuatu kalau tidak menguntungkan untuknya. Dari dulu selalu begitu. Jadi, tidak perlu ada baper-baper ria ketika mendapat keuntungan darinya. Apalagi sampai melayang ke angkasa. Sama sekali tidak perlu. Kira melipat tangan dan mengalihkan pandangan. "Enak aja--"
Sebelum melanjutkan ocehan panjang lebarnya yang tidak bermutu, Dani langsung menyahut, "Kamu merasa dirugikan? Enggak, kan. Mending juga dapet jamur, daripada makan nasi sama daun kemangi aja. Ye, kan? Bilang makasih, kek. Ini malah ngomel-ngomel."
Kira mengerucutkan bibir, sebal. Sanggahan Dani ada benarnya juga, sih. Namun, tetap saja, Kira tidak ingin kalah. "Yang ada, kamu tuh, yang makasih sama aku. Kan, akhirnya kamu bisa makan ayam enak hanya dengan beli separuh harga, alias beliin jamur."
Dani menarik lurus sudut-sudut bibirnya. Tidak habis pikir lagi, mengapa manusia semacam ini masih hidup lestari di bumi. Pusing memikirkannya, laki-laki itu mengalihkan topik. "Kamu udah kemasin baju, kan? Kita balik ke kosmu sekarang, dan berangkat ambil data malam ini juga," tutur Dani sedikit terburu-buru.
"Hah?" Kira melongo tidak percaya. "Sudah kemas baju sih, tapi kenapa harus berangkat sekarang? Aku belum pesan tiket kereta."
"Hah-hoh-hah-hoh." Selesai mengemas peralatan, Dani menuju ruang peralatan sejenak untuk mengambil resistivity meter yang cukup berat. Tangannya cekatan merapikan piring setelah makan. Lalu, memasukkan laptop ke loker miliknya dan mengunci.
Dagu Dani mengendik, mengajak Kira untuk segera bangkit.
Kira hanya bisa beringsut dan membuntuti Dani seraya berinisiatif menggendong tas Dani yang total beratnya tidak sebanding dengan alat yang dibawa laki-laki itu.
"Kita bakal motoran sampai di Desa Kramati. Nggak ada jadwal kereta lagi jam segini. Dan, ya, harus sekarang karena aku cuma longgar hari ini. Sebulan ke depan aku harus ke kota lain. Ada beberapa acara PLH. Aku gantiin panitia yang berhalangan dadakan. Jadi, mau nggak mau, berangkat sekarang, atau kamu sidang skripsi semester depan karena telat ambil data. Tadi sengaja kubelikan jamur biar nggak kelaperan. Cuma nggak mau aja berhenti di tengah jalan."
"Jadi, ini tujuanmu berangkat pakai tas punggung tadi?" Kira penasaran.
"Ya, salah satunya."
Kira mendengkus berat ketika mendengar penjelasan Dani. Selama sisa perjalanan menuju parkiran, di antara keheningan itu, Kira meratapi lampu-lampu kuning tumbler yang dipasang untuk memeriahkan acara. Dia harus berpisah terlebih dahulu sebelum tahu siapa yang memenangkan kostum siluman.
Demi mengambil data geolistrik. Demi skripsi. Demi wisuda semester ini. Kira dengan berat hati meninggalkan acara terlebih dahulu.
Topeng singanya masih terus ditenteng di tangan. Sesampainya di kos, Kira segera meraih tas punggung miliknya sendiri. Pastinya berisi baju ganti dan perlengkapan hidup untuk beberapa hari ke depan.
Mereka pun bersiap sedemikian rupa. Dani menggendong tasnya di depan. Resistivity meter didudukkan di antara mereka. Terakhir, tas punggung Kira yang bergelantungan di paling belakang. Malam itu juga, mereka berangkat ke Desa Kramati.