Kira mematut-matut diri di depan cermin. Sesekali dia melirik gambar singa di ponselnya.
"Ujung hidung, udah. Pipi, udah." Perempuan itu mengerucutkan bibir, berpikir lagi apa yang kurang. Merasa puas, ia memandangi ujung hidungnya yang menghitam setelah diwarnai spidol. Selain di hidung, ada garis-garis putih sebagai kumis singa di pipinya.
Sebuah notifikasi pesan muncul di ponsel. [Aku sudah di depan.]
Kira membalasnya secepat kilat. [Wait. Aku keluar.]
Kira menyambar topeng singa yang susah payah dibuatnya sejak beberapa hari lalu. Rumbai-rumbai cokelat yang terbuat dari tali rafia, ia bentuk sedemikian rupa hingga pas di kepala. Tangan mungil Kira merangsek sepatu dari rak lalu mengunci pintu kamar kos secepat kilat. Ia tidak ingin pacarnya menunggu terlalu lama.
Ponsel dalam genggaman bergetar. Panggilan masuk dari Dani. Kira mendengkus berat sembari berlari kecil menuruni tangga. Segera ia mengangkat telepon itu. "Iya, iya, sabar dikit kenapa, sih. Belum juga ada semenit."
"Enggak, cuma mau bilang, aku lagi lihat bintang jatuh dari lantai dua."
Ekor mata Kira melirik laki-laki itu dari tangga. Sudut bibirnya terangkat senang meski ia tahu tidak akan terlihat oleh Dani yang berada jauh di luar gerbang. Untuk membalasnya, ia melepaskan genggaman pada gagang tangga dan melambaikan tangan bersemangat.
Sedetik kemudian, suara benda jatuh memenuhi langit-langit. Perempuan itu mengelu kala sudut-sudut tangga menghantam tulangnya.
Detik berikutnya, hanya ada keheningan panjang. Sial sekali tadi, kakinya tidak menapak anak tangga dengan benar.
"Kira?" Suara di seberang telepon. Pacarnya jelas sedang tidak baik-baik saja.
Kira yang tergeletak, meraih ponsel yang terpelanting di dekatnya. "Yes, bintang jatuh dari lantai dua. Pujian sekaligus doa yang bagus," nyinyirnya sembari berdiri dengan susah payah, lalu mengambil topeng singa yang juga terlempar jatuh. Ia pun berjalan menyusuri halaman kos menuju gerbang dengan tertatih-tatih.
Begitu gerbang sedikit bergeser, kepala Kira menyeruak terlebih dahulu. Dia mendapati pacarnya yang masih bertengger tepat di depan gerbang.
Dani menyengir, menyisakan kerutan di ujung mata. "Topeng singamu masih oke, kan?"
"Heh, tanyain dulu kek, kondisiku gimana," omel Kira seraya keluar gerbang lalu mengunci kembali. "Ini yang ditanyain malah topeng. Jadi, pacar Anda ini saya atau topeng singa?" Bahasa marahnya berubah menjadi formal agar tetap terkontrol.
"Anda, kan, sudah kelihatan jelas, tuh. Bisa berdiri, bisa jalan, bisa ngomong. Berarti Anda sedang baik-baik saja. Nah, sementara itu, saya nggak bisa berbicara sama topeng singa. Nanti yang ada saya dibilang gila," balasnya menyamakan cara berbicara lawan bicara.
"Hash, terserah Anda saja." Kira memasukkan ponselnya ke saku celana. Setelah Kira naik ke motor, Dani segera menjalankan motornya.
Malam baru saja menyelimuti sudut kota. Pemuda-pemudi, baik yang berjalan kaki maupun berkendara, semuanya memadati gang perkampungan. Ada yang keluar mencari alat dan bahan untuk mengerjakan tugas, mencari makan, ataupun kegiatan lain. Rata-rata dari mereka adalah mahasiswa di kampus yang sama dengan Kira dan Dani. Sebab kesumpekan itulah, Kira dan Dani enggan mengenakan helm.
"Dani, kamu ngapain bawa tas punggung? Nggak pakai kostum pula. Kamu nggak ikut malam keakraban?" Suara Kira menyeruak di antara hiruk pikuk gang perkampungan.
Acara malam keakraban diadakan oleh mahasiswa baru setiap tahun. Tahun ini temanya tentang siluman. Kira dan Dani sebagai kakak tingkat yang diundang adik-adiknya tentu saja harus menggunakan kostum bertema sama. Dalam acara tersebut, akan ada hadiah bagi pengguna kostum terbaik.
Beberapa hari lalu saat perkuliahan sedang berlangsung, Kira sempat mencuri dengar kalau teman-temannya akan mengenakan kostum siluman ular, buaya, kerbau, dan lain sebagainya. Namun, tidak ada yang mengatakan siluman singa. Dia pikir, ini akan menjadi ajang unjuk yang berbeda. Oleh karena itu, Kira mempersiapkan diri beberapa hari ini untuk membuat topeng singa.
"Enggak, aku mau ngelanjutin skripsi. Pengin cepet-cepet lulus, nih. Udah cukup nambah empat semesternya," jawab Dani sedikit berteriak.
Kira hanya ber-oh ria untuk menanggapi itu. Ya, kalau dipikir-pikir Dani memang harus cepat-cepat angkat kaki dari dunia perkuliahan. Kira sebagai adik tingkat dua tahun di bawah Dani juga sudah mulai menggarap skripsi. Dia berharap skripsi mereka berdua lancar dan bisa wisuda bersama.
"Gimana menurutmu kalau aku pakai topeng ini sekarang?" Topik berganti dengan cepat. Tanpa persetujuan Dani, dia segera memasangnya di kepala seraya terkikih-kikih.
"Hah? Hah?" Dani menoleh sempurna ke belakang. Tersungging senyum lebar tanpa dosa di wajah orang yang diboncengnya. "Lepas, woi! Malu, Kir, malu," protes Dani sambil memfokuskan lagi pandangan ke jalan.
"Bejo, hai!" Kira berteriak menyapa teman satu angkatan yang berada di jalan itu juga. Bejo yang merasa namanya dipanggil, jelas mencari sumber suara. Tidak hanya Bejo, orang-orang di sekitar juga ikutan menoleh, apalagi yang memanggil bermuka singa. Kira tahu kalau wajahnya tidak akan dikenali karena mengenakan topeng. Jadi, yang malu jelas bukan Kira, tetapi Dani. Apalagi, Dani tidak mengenakan helm. Mampuslah itu.
"Wah, parah Kira. Resek banget." Terlintas niat menurunkan Kira di jalan. Sedetik kemudian, berkelibat peluang bahwa orang tidak tahu malu ini akan mengejar sambil berteriak memanggil namanya berulang kali. Laki-laki itu refleks menggeleng cepat. Duh, jangan sampai hal itu terjadi. Dia pun urung melakukan hal itu. Untuk menjaga kewarasannya, Dani mengambil keputusan yang lebih baik: mempercepat laju motor.
Kira tersentak kaget ketika laju kendaraan naik drastis. "Kamu lupa, ya. Aku ini siluman singa yang bisa saja menerkammu sewaktu-waktu." Kira menepuk tas punggung Dani tidak terima. Rumbai-rumbai di topeng singanya berkibar hebat.
Dani tidak mendengar jelas celotehan pacarnya karena beradu dengan deru angin. Motor itu dengan gesit berkelit-kelit menyalip kendaraan di depan.
Dani menurunkan kecepatan ketika menyeberangi jembatan di atas sungai. Itu jembatan penghubung jalanan gang perkampungan dan kampus. Konon, di sini ada penunggunya. Siapa pun yang lewat harus menjaga kesopanan. Percaya tidak percaya, Dani hanya ingin lewat dengan tenang.
"Kenapa melambat? Kamu percaya sama mitos sungai ini?" serbu Kira setengah mengejek. Jari-jari perempuan itu menyisir rumbai di topeng singanya yang berantakan.
"Cuma nggak pengin cari masalah."
"Selama eksistensiku empat tahun kuliah di sini, nggak pernah ada ceritanya tuh, mitos itu terjadi."
"Bisakah kamu diam sekali ini saja?" Dani yang tidak ingin ribut menegurnya.
"Huaaah, cemen. Nih, ya, yang ada para penunggu itu takut sama siluman singa kayak aku." Kira mencebikkan bibir.
"Kata-katanya tolong dijaga, ya. Pamali!" Selesai melewati jembatan, Dani mempercepat laju untuk sampai di jurusan mereka, Geofisika. Begitu diparkir, mereka berpisah. Dani menuju laboratorium Geolistrik untuk mengolah data skripsi, sementara Kira disambut teman-temannya di aula untuk mengikuti acara.
Tepat pukul delapan malam hari itu, acara malam keakraban dimulai.