“Pa, nanti siang Viola ke rumah Mama, ya!”
Suara sendok dan garpu tidak lagi terdengar setelah Viola berkata demikian. Piring berisi campuran heterogen di depannya tetap ia aduk berharap menjadi homogen. Viola terlalu takut menatap ayahnya jika sudah seperti ini.
Terakhir Viola meminta izin adalah hari sebelum ia berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Olimpiade. Dan permintaan itu ditolak mentah-mentah. Papanya justru menyuruhnya untuk merapikan pakaiannya.
“Enggak sampai menginap, kan!?”
Viola menegakkan kepala dan menatap papanya. Pandangan mereka bertemu. Refleks Viola menggeleng sambil menunggu respons papa.
“Ya sudah. Tapi nanti jam tujuh Papa yang akan jemput kamu!”
Suara dentingan sendok yang beradu membuat sudut bibir Viola terangkat.
“Terima kasih, Pa!”
Jika mendengar teman-temannya mengatakan ia adalah anak yang beruntung, Viola selalu mengaminkan itu di dalam hati. Gadis yang sedang menaiki bus di kursi paling belakang ini selalu menganggap dirinya adalah anak yang paling tidak beruntung.
Ingin bertemu mama harus izin. Dilarang tidur di rumah mama, dilarang membawa barang pemberian mama. Anak beruntung mana yang ingin bertemu mamanya harus izin terlebih dahulu?
Viola merapatkan jaket biru itu ke tubuhnya. Udara cukup dingin siang ini. Sepertinya nanti malam akan turun hujan. Tas yang berada di sampingnya ia pindahkan ke pangkuannya saat seseorang akan duduk di sebelahnya.
“Lo mau ketemu Mama?”
Viola menatap orang di sebelahnya. Cowok yang mengenakan celana jeans dan jaket hitam itu santai sekali merokok di depannya. Ia sedikit bergeser sebelum menjawab.
“Iya, gue kangen sama Mama!”
Tidak ada balasan setelahnya. Oliver—abang kandungnya—sepertinya tidak ingin bertanya lebih jauh kepadanya.
“Lo dari mana? Kenapa enggak bawa motor? Kok lo merokok? Mama tau gak?”
Pertanyaan beruntun yang ia ucapkan sukses membuat laki-laki di sebelahnya terganggu. Tidak hanya Oliver, Viola juga jadi kikuk setelah melontarkan pertanyaan itu. Namun, yang Viola ketahui, Oliver tidak akan memukulnya. Itulah yang membuat ia berani bertanya seperti itu.
“Lo sama Mama memang susah buat diam, ya! Berisik banget!” ucapnya sambil memakai topi jaketnya, “motor gue kena tilang, Mama ga tau gue merokok. Puas lo!?”
Viola hanya tersenyum simpul lalu menatap ke arah kaca. Saat ia menduduki sekolah desar, papa dan mama bercerai. Ia tidak tahu pasti apa masalah orang tua itu. Saat itu, Oliver dan Viola hanya dapat menangis. Tidak, hanya Viola kecil yang menangis. Oliver kecil hanya memeluknya di pengadilan, di rumah, dan di rumah nenek.
Oliver lebih memilih tinggal dengan mama. Hubungannya dengan papa memang tidak akrab. Sejak masuk sekolah dasar kelas empat, Oliver kecil tidak suka diatur. Sangat tidak sesuai dengan papa yang perfeksionis. Usia Viola dan Iver—panggilan kecil Oliver—hanya selisih tiga tahun. Karenanya Ola tidak terlalu takut pada Iver. Namun, di beberapa situasi, Oliver akan lebih menyeramkan ketimbang mama. Sementara jika dibandingkan dengan papa, amarah Oliver masih tidak seberapa.
“Lo enggak kangen sama Papa?” ujar Viola tanpa memandang Oliver.
Tidak ada sahutan dari Iver. Sudah pasti ia tidak rindu dengan papa. Ola menghela napas kecil.
“Lo belum jawab lo habis dari mana sampai kena tilang,” lanjut Viola seakan memancing Oliver untuk berbicara dengannya.
Lagi-lagi tidak ada sahutan.
“Lo ...”
“Lo cerewet banget. Mending lo turun!” ujar Iver berdiri kemudian berjalan meninggalkan Viola.
Mereka sudah sampai.