Rutinitas Ola dan mama ketika bertemu adalah sesi curhat di ruang tamu. Semua hal yang Ola alami dari awal ia seleksi sampai saat ini mengalir begitu saja. Seperti biasanya, mama akan menjadi pendengar yang baik. Kadang mama juga akan ikut curhat tentang Iver, tentang tante Kiara atau tentang pekerjaan kantornya
“Mama tahu enggak, waktu di sekolah Arkan sama Ola engga ada ketemuan sama sekali!” ujarnya sambil membuka bungkusan makanan yang ia ambil dari kamar Iver. “Padahal Ola udah diam di kelas waktu istirahat biar Arkan datang kaya biasa!”
Saat ini mereka sedang duduk di sofa ungu ruang tamu. Ola menyandarkan kepala di pundak mama dan kakinya dilipat di atas sofa.
“Oh, ya? Kalian ada masalah?” tanya mama sembari mengelus kepala Viola.
Ola menggeleng. “Dua minggu sebelum Ola ke Jakarta kami engga ada komunikasi sama sekali. Ola sadar sih, di situ Ola sibuk banget. Tapi, ponsel Ola enggak pernah mati, kok!”
Mama mencoba untuk berpikir sejenak, “hm, ... mungkin Arkan ga mau kamu terganggu?”
Sebetulnya Ola juga berpikir serupa. Tapi, ... “waktu Ola olimpiade tahun lalu Arkan selalu kasih kabar kok, Ma! Bahkan tiap hari Arkan kasih susu coklat buat Ola!” ia menghela napas.
Sebelum mama menjawab Ola kembali menyahut, “tapi ya udah deh, Ma! Liat nanti aja. Mungkin Ola aja yang terlalu baper.”
Sebetulnya, Viola ingin sekali bercerita tentang kejadian yang ia dengar saat di toilet kemarin. Pun dengan kakak kelasnya yang terang-terangan mendekati Arkan.
“Ma, minggu depan nanti Ola diundang makan sama kepala sekolah. Katanya perayaan kecil gitu, tapi Ola yakin sih, enggak bakal sesederhana itu,” ujar Ola membuka dialog baru. Sebenarnya ia ingin sekali mama hadir di acara itu, tapi papa pasti tidak akan pernah mau berdampingan dengan mama lagi.
“Memangnya yang diundang siapa aja? Kok yakin banget bakal jauh dari kata sederhana. Siapa tau hanya makan malam biasa aja!”
Ola menggeleng cepat. “Yang diundang itu guru pembimbing, teman-teman yang lolos tingkat provinsi, donatur sekolah sama ...” ia menatap mama tidak yakin, “orang tua siswa. Tapi kayanya yang ke sana itu Papa deh Ma. Soalnya undangannya udah dikasih ke Papa.”
Viola jadi tidak enak hati sekarang. Takut saja mama tersinggung karena ia tidak mengajak mama ikut ke sana. Tapi Ola juga tidak bisa menyalahkan papa. Ini semua karena mereka bercerai.
Berbeda dengan apa yang ia pikirkan, mama justru merespons dengan santai, “oh, berarti makan malamnya udah pasti ramai, sih! Kamu udah punya baju belum?”
Gadis yang sudah tidak enak hati itu menggeleng. Ia bahkan tidak kepikiran dengan apa yang akan ia kenakan nanti. Pikirannya sudah duluan terisi karena Arkan dan papa yang sudah pasti tidak datang dengan mama.
“Hm ... kalau gitu besok kita belanja baju, yuk! Mama udah lama banget enggak pergi ke mall. Mau gak?” tawar mama dengan semangat.
Viola ikut mengangguk antusias. Menghabiskan waktu dengan mama adalah list terbaik yang Ola punya setelah semua yang ia alami beberapa waktu terakhir.
Suara Klakson di luar membuat keduanya terdiam. Ola melirik ke arah jam dinding. Waktunya sudah habis.
“Ma, Papa udah datang. Kayanya Ola harus balik dulu deh!” ujarnya. Ola menghela napas kasar. Papanya terlalu on time untuk hal-hal seperti ini.
“Loh, cepat banget, sih! Mama belum puas lo. Dasar laki-laki!” sahut mama.
“Mama udah makan?” tanya Ola. Entah datang dari mana ide lucu ini.
Mama hanya menggeleng. Sedari tadi mereka terlalu sibuk untuk bercerita sampai lupa untuk makan. Iver juga pasti sudah lapar. Mama menepuk jidatnya.
“Mama lupa banget buat masak. Pasti Iver udah lapar deh!”
Viola tersenyum senang lalu lekas berdiri. “Mama tenang aja. Kali ini kita bakal makan bareng!”
Tanpa menunggu sahutan dari mama, Ola segera berlari menuju pintu depan. Senyum di bibirnya tidak bisa di tahan begitu saja.
Benar saja, papa sudah menunggu di depan. Dia tidak keluar sama sekali dari dalam mobil. Saat sudah sampai di depan mobil, Viola mengetuk kaca dan segera di buka.
“Papa belum makan, kan?” jawabannya sudah pasti tidak. Dari pakaiannya, papa pasti baru saja pulang dari kantor dan segera kemari dan papa bukan tipe orang yang mau makan di luar seorang diri.
Papa hanya menggeleng membuat Ola kembali tersenyum. “Mama sama Iver juga belum makan, Pa! Terus karena keasyikan cerita, tadi Mama juga enggak sempat masak. Tadi waktu Ola ke dapur lihat isi kulkas di dalam ...”
Papa menghela napas lalu memijat keningnya, ia tahu betul ke mana arah percakapan ini. “Ya sudah, ayo!”
Demi dewa Neptunus. Senyumnya semakin melebar mendengar itu. Makan malam keluarga Agatha pertama di bulan ini.
“Tapi tanya Mamamu dulu siapa tahu dia ....”
Belum sempat papa menyelesaikan kalimatnya, Ola segera berlari ke rumah. Papa bisa saja berubah pikiran dalam beberapa menit. Jadi, sebelum itu terjadi lebih baik ia memanggil mama dan Iver.