Di kediaman Akira.
"Akira sayang, tolong panggil Adik kamu di kamar ya, makan malam sama-sama!" teriak Mama Akira dari arah dapur, kepada putrinya yang kebetulan sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Iya Ma!" balas Akira menyahuti perkataan wanita tersebut, dan segera beranjak pergi menaiki tangga menuju kamar sang adik.
*******
Di dalam kamar Rosalina, terlihat seorang gadis bersurai coklat tengah sibuk memotong sesuatu. Sesekali sudut bibirnya menyungging, ketika melihat hasil potongan kertas yang begitu rapi.
"Yess, sekarang baru bener," ucap Rosalina melihat foto keluarga mereka di bingkai kayu.
"Adik, dipanggil Mama turun ke bawah buat makan malam," terdengar susulan suara Akira dari arah belakang, berdiri di ambang pintu kamar Rosalina.
"Iya-iya!" belungsang Rosalina kepada Akira, suasana hati yang semula senang seketika runtuh menjadi amarah.
"Ya udah sana! Ngapain masih berdiri di situ!" sambungnya kesal, sebab Akira masih saja berdiri di depan pintu kamarnya.
"Iya, Kakak minta maaf ya sudah bikin kamu marah," balas Akira tersenyum kecut, hatinya terdayuh. Kedatangan perempuan itu, selalu saja dianggap seperti benalu oleh si Adik.
Akira juga masih belum paham, kenapa Adik perempuannya itu bisa begitu benci kepada dirinya.
"Kamu habis gunting apa?" tanya Akira, melihat banyak sekali sisa potongan kertas berserakan di sekitar kasur Rosalina.
"Gak ada," balas Rosalina menyembunyikan bingkai foto tersebut di belakang punggungnya.
Semua hal mencurigakan itu membuat Akira penasaran, dia mulai mengambil langkah menghampiri Rosalina. Manik mata Akira dikejutkan, ketika mendapati foto dirinya berada di dalam tong sampah.
"Dek, ngapain foto Kakak dibuang?" tanya Akira bingung, sepotong kertas bergambar seorang remaja mengenakan dress hijau, berada di antara tumpukan sampah. Dengan perasaan sedih, Akira mengambilnya.
"Dek?" panggil Akira sekali lagi, namun masih tidak mendapatkan respon apapun dari Rosalina. Hingga, anak itu dibuat geram, tangan Akira langsung merenggut paksa pigura foto tersebut dari genggaman Adiknya.
"Kamu potong gambar Kakak dari foto keluarga, maksud kamu apa Rosa!" tanya Akira tersulut amarah.
"Karena Kakak sama sekali nggak pantas, berada di foto keluarga itu," balas Rosalina tak kalah tajamnya.
"Rosa benci sama Kakak! Gue malu harus punya saudara cewek macam lo!" ucapnya, lalu membanting benda persegi itu ke lantai, kepingan kaca berceceran kemana-mana, semuanya hancur tak tersisa.
"Gue berharap lo cepat mati, bersama penyakit ginjal lo itu!" pungkasnya, lalu berlari keluar kamar meninggalkan Akira seorang diri di dalam sana.
Tubuh Akira mematung, kata-kata kasar yang begitu menyakitkan dari mulut Rosalina terus saja berulang-ulang dalam pikirannya. Jujur, kalau boleh dikatakan, hati Akira sangat hancur sama seperti kepingan kaca tersebut.
Kedua kakinya tertekuk, ia berjongkok seraya memunguti serpihan kaca yang berasal dari bingkai foto itu, Akira mengambilnya dengan sangat hati-hati. Jangan sampai ada yang tertinggal walau sebutir pun, "gue harus bersihin ini semua, jangan sampai kaki Rosa luka gara-gara kena kaca," ujar Akira masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan Rosalina.
Di lantai bawah, lebih tepatnya di ruang makan. Seluruh anggota keluarga tengah berkumpul di sana untuk melaksanakan makan malam. Wewangian harum dari aroma makanan lezat tercium, sungguh menggugah selera.
"Tumben Mama masak banyak," ucap Tuan Alan, kepada istri cantiknya yakni Nyonya Nala. Wanita berbaju daster batik itu tersenyum, kedua tangannya sedang sibuk untuk menyiapkan piring, dan selang beberapa detik terlihat anak perempuan mereka Rosalina menuruni tangga.
"Rosa sayang, sini nak kita makan sama-sama!" ajak Tuan Alan.
"Iya Yah," balas Rosalina menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju meja makan, mengambil duduk dekat Tuan Alan.
"Kakak kamu mana Rosa?" tanya Nyonya Nala.
"Gak tahu, masih di atas mungkin," balas Rosalina ketus dan langsung mengambil sepiring nasi. Namun, dengan segera Nyonya Nala memberikan pukulan kecil pada punggung tangan Rosalina.
"Jangan dulu! Tunggu Kakak kamu datang," tegur Nyonya Nala membuat Rosalina merenggut kesal.
"Buat apa? Buat apa Rosa harus nungguin Kakak? Dia bukan Kakak Rosa, Rosa benci sama dia!"
"ROSALINA!" bentak Nyonya Nala naik pitam, tatapan yang semula teduh berubah menjadi tajam.
"Mama," panggil Akira yang baru saja tiba, berdiri di belakang Nyonya Nala. "Jangan bentak Adik Ma, kasihan," pinta Akira.
"Huh," dengkus Nyonya Nala, dia tidak tahu lagi apa yang sudah terjadi pada kedua putrinya itu, soal Rosalina yang begitu membenci Akira, namun gadis itu sangat menyayangi Adiknya.
"Duduklah!" suruh Nyonya Nala kepada Akira agar segera duduk di kursi makan.
Makan malam bersama pun dimulai, sebab tak mau lingkup sunyi menyelimuti suasana, Tuan Alan berusaha mencairkan keadaan dengan membicarakan beberapa topik yang mereka suka. Kedua orang tua itu selalu saja mencoba di berbagai kesempatan, untuk dapat menyatukan kembali sepasang Kakak beradik tersebut.
"Ma, boleh minta tolong ambilin gelas susu aku?" pinta Akira kepada Nyonya Nala sebab kesulitan mengambil gelas susu vanilla nya, yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya berada.
"Iya sayang," angguk Nyonya Nala, lalu hendak mengambil segelas susu vanilla tersebut, namun dengan cepat Rosalina langsung merebutnya.
"Kakak mau minum susu?" tanya Rosalina.
PYAR!
Melemparkan segelas susu itu begitu saja ke arah lantai. "Minum tuh di lantai, lo kan he*wan," sarkasnya tersenyum licik.
"Rosa!" bentak Nyonya Nala seraya menggebrak meja, sekarang emosinya benar-benar tak terkontrol, anak itu benar-benar sudah terlewat batas. Kata-kata terakhir yang barusan Rosalina ucap, berhasil menyulut kemarahan Nyonya Nala.
"Itu Kakak kamu Rosa! Dimana sopan santun kamu! Siapa yang mengajari kamu berkata kurang ajar seperti itu!"
"Dia bukan Kakak aku Ma! Aku tidak mau mengakui dia sebagai Kakak!" balas Rosalina.
"Mana ada anak SMA jaman sekarang masih minum susu? Kelakuan jijik macam bayi, benci gue!" pungkas Rosalina menuding penuh kebencian ke arah Akira, lalu berlari ke atas tangga kembali ke kamarnya.
"Rosa!" teriak Nyonya Nala.
Kepala Akira tertunduk, pandangannya menyapu pada pecahan gelas itu, dengan genangan susu vanilla yang baru saja ingin ia minum. "Sorry Rosa, gue masih belum bisa menjadi seorang Kakak yang lo mau," batin Akira sedih.