Tidak pernah sekalipun Irish mengetahui kebiasaan Franda. Perempuan itu mengira sahabatnya sama seperti dirinya yang selalu nolep. Malam ini Irish dikejutkan dengan telepon Franda yang berada di bar. Perempuan itu ternyata sedang mabuk berat sampai menelepon dirinya. Mereka sedang perang dingin. Tidak mungkin Franda akan meneleponnya jika masih dalam keadaan sadar.
Untuk pertama kalinya Irish menginjakkan kakinya ke dalam bar. Dia langsung merasa pusing dia bau alkohol di mana-mana. Suara musik terlalu kencang juga membuat kepalanya pening. Bau parfum orang-orang yang bercampur dengan alkohol sanggup membuat kepalanya nyeri. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat.
“Kalau bukan karena Franda, gue nggak mau dateng ke tempat ini lagi.”
Irish berjalan ke tempat bartender menyajikan minuman keras. Perempuan berpakaian minim itu ternyata ada di sana. Sedang tertidur sambil berbicara tidak jelas. Beberapa kali Irish bisa melihat bahwa ada pria yang datang dan mencari-cari kesempatan kepada Franda. Irish harus segera menyelinap ke tempat itu. Sayangnya dia harus melewati banyak orang yang sedang menari di lantai dansa. Tempat ini terlalu banyak mengambil energinya.
“Dia sama gue.” Irish memegang tangan seorang pria yang berniat memegang bahu Franda yang terekspos.
“Ahhh oke.” Pria itu berlalu dengan cuek. Irish lalu melepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Franda.
“Eungg sahabat gue tersayang. Apa kabar? Heung heung. Ngapain lo ke sini. Lo seharusnya nggak ke sini.”
“Kita pulang, Franda.” Irish menarik lengan Franda dan berusaha membuat perempuan itu berdiri dari duduknya. Franda untungnya menurut saja.
Selama perjalanan pulang, Franda banyak mengigau dalam tidurnya. Irish yang sedang menyetir mobil Jeremy hanya bisa mendengarkan Franda. Sudah lama dia tidak mengemudi, jadi dia harus fokus ke depan. Lagipula tiidak ada yang bisa dia katakan.
“Rish, lo jahat banget sama Pak Raditt. Heengg. Padahal gue udah ngerelain dia buat lo.”
Irish hampir saja menginjak remnya jika dia tidak ingat kalau ini mobil milik orang lain, bukan miliknya. Dada Irish tiba-tiba berubah sesak. Selama ini dia terlalu bodoh untuk tidak memahami bagaimana perasaan Franda. Dia baru mengingatnya. Franda memang menjodoh-jodohkannya dengan Radit cukup lama. Seharusnya Irish sadar jika keduanya lebih banyak bertemu, berbicara, dan pasti membagi waktu. Karena tidak mungkin Franda akan melakukan itu jika keduanya tidak saling mengenal.
“Lo bodoh banget kalau gitu, Fran. Kenapa ga deketin dia aja daripada ngelempar dia buat gue.” Irish memegang kemudi dengan erat. Dia ingin mengutuk Franda saat ini.
“Eeenggg. Dia sukanya sama lo. Dia nggak suka sama gue. Hiks hiks.”
“Lo nangis?” Irish melirik sekilas kea rah Franda. Irish tidak habis pikir.
“HUWAAA. KENAPA GUE NGGAK SEPINTAR LO, RISH. KENAPA GUE NGGAK SECANTIK LO. KENAPA??” Tangan Irish dipegang erat oleh Franda. Perempuan itu menatapnya dengan mata melotot. Irish langsung mengerem secara mendadak. Tangannya dengan reflek menghempaskan Franda ke tempatnya. Sayangnya justru kepala perempuan itu terhantam pintu mobil. “Aaakkhh sakit.” Setelah mengatakan itu, Franda kembali tertidur.
Tok tok tok …
“AAAA. Hah!” Irish kembali terkejut dengan seorang pria yang mengetok pintu mobilnya.
“Kenapa berhenti tiba-tiba, Mba? Ada masalah dengan mobilnya?” tanya pria setengah baya yang terlihat khawatir. Bapak itu sepertinya dari warung bakmi yang masih buka.
“Enggak, Pak. Saya cuma sedikit terkejut aja tadi.”
“Ya sudah, Mba. Saya kita ada masalah dengan mobilnya. Ini sudah hampir fajar. Tidak baik jika ada masalah di tengah jalan. Susah mencari bantuan.”
“Iya, Pak. Terima kasih ya, Pak. Saya mau melanjutkan perjalanan.”
“Iya, Mba. Silakan.”
Irish lalu menarik tuas mobil dan melajukannya kembali. Matanya menoleh sebentar ke arah Franda. Permpuan itu rasanya ingin benar-benar mengutuk sahabatnya. Semua ini gara-gara Franda.
“Awas aja besok lo habis di tangan gue, Franda.”
***
Ini sudah mendekati akhir pekan. Irish menjadi lebih bersemangat. Dia bangun pagi hari. Lebih tepatnya dia tidak bisa tidur karena tempat tidurnya sekarang diisi oleh manusia kebo satu. Manusia itu berhasil mengambil alih seluruh lahannya. Tidak ada waktu untuk tidur hari ini.
“Awas lo, Fran. Beneran habis di tangan gue kalau lo bangun.” Irish memegang gagang penggorengannya dengan kuat. Dia sedang memasak nasi goreng untuk pagi hari.
“AAAAAA. KOK GUE DI SINI. EEMMM. TOILET. MUAL BANGET.” Suara cempreng itu berhasil menandakan kehidupan perempuan yang telah kehilangan akalnya malam tadi.
“SIRAM YANG BERSIH. AWAS KALAU ENGGAK!” Irish berteriak dengan kencang.
Kamar kosan Irish ini seperti apartemen studio. Ada kamar, dapur, dan toilet. Meskipun kecil tapi semuanya lengkap. Alasan yang berhasil membuat Irish bertahan di kamar itu. Biayanya juga cukup murah daripada yang lain.
“Hah. Lega juga.” Franda keluar dari kamar mandi dengan menggaruk rambutnya. “Gak gue berishin, wleeekk. Biar lo ada kerjaan.”
“Terus lo kira ini nggak ada kerjaan?” Irish mengayunkan spatulannya ke arah Franda. Matanya melotot tidak mau kalah.
“Nggak usah melotot kayak gitu. Mata lo nggak bisa soalnya. Haha.” Franda mengejeknya dengan bibir yang benar-benar berhasil membuat Irish jengkel.
“Masih untung lo nggak gue pulangin ke rumah. Bisa dicoret dari KK kalau kelakuan lo kayak begitu.” Franda duduk di busa yang biasa digunakan Irish untuk membaca buku. Tangannya bersedekap dan mengarah ke Irish.
“Ya juga sih ya. Makasih deh kalau gitu.”
Irish mematikan kompornya. Dia kemudian membagi nasi goreng itu menjadi dua piring. Setidaknya sekalipun dia tidak bisa memasak, nasi goreng itu masih ada rasanya. Rasa bumbu micin. Jelas saja.
“Nih, makan. Biar lo ada tenaga. Buat nangisin Radit. HAHA.” Irish tertawa dengan puas di akhir kelimatnya.
“Jangan bilang gue semalem mengatakan sesuatu yang nggak jelas.”
“Emang,” jawab Irish tanpa beban.
“Hah.” Franda menghela napasnya dengan lelah. Dia tidak ingat kebodohan apa yang telah dia lakukan semalam.
“Masih untung kita nggak kecelakaan tengah jalan.”
“Gue hampir jatuh dari motor?” tebak Franda.
“Enggak. Orang gue minjem mobilnya Jeremy. Menurut lo, lo akan sampai di sini kalau gue pake motor indah gue yang ada di depan itu?”
“Bagus deh.”
“Bagusss???” Irish sangat tidak terima dengan apa yang keluar dari mulut Franda. “Bagus pala lo. Asal lo tahu ya, kita hampir kecelakaan gara-gara lo tiba-tiba pegang tangan gue sambil melolot. Gue kita lo kesurupan.”
“HAHAAA.” Franda justru tertawa terpingkal-pingkal. Dia tidak menyangka melakukan itu. Lebih tidak menyangkanya lagi jika Irish mengira dirinya kesurupan. “Lucu juga kayaknya gue yah.”
“Lucu apanya dah. Lo cepet-cepet makan deh. Siap-siap sono pulang.”
“Gue bakalan dimarahin mama gue kalau pulang sekarang. Ada baiknya gue ke kantor bareng lo ya.”
“Terus baju lo?” Irish menatap dengan sinis. Perempuan itu pasti sedang memikirkan rencana busuknya.
“Baju lo kan banyak. Tinggal gue tunjuk aja satu. Haha.”
“Serah lo deh. Tapi kita baikan nih ya.”
“Yoi.” Franda tersenyum dengan tulus. Irish akhirnya bisa bernapas dengan lega. “Tapi lo harus rahasian ini. Gue malu banget, Rish.”
“Iya deh iyaa. Saran gue lo harus deketin si Radit sih.”
“Rish, udah ah. Nggak usah dibahas. Makan nih, makan.” Franda memasukkan nasi goreng ke dalam mulut Irish. “Nggak ada pembahasan itu untuk sekarang.”