Sepuluh tahun dibayar dengan satu hari. Cerita yang tidak pernah Irish sangka-sangka. Perasaannya benar-benar disambut baik oleh Aksara. Rasa sakit, ketidakpastian, dan sendiri itu ternyata telah berakhir saat ini. Irish telah menemukan jawaban terbaik yang bisa dia berikan kepada perasaannya. Ketika tiba-tiba ada tiga orang yang datang kepadanya, perasaannya kembali membuncah. Perasaan yang mati itu tumbuh kembali.
Aksara datang sebagai pemberi warna hidupnya. Sebesar apapun dia mengubur perasaan itu, nyatanya pemiliknya tetap sama. Perasaannya bukannya hilang, perasaan itu hanya tersimpan rapi sampai pemiliknya benar-benar datang. Irish merasa hidupnya kembali.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” Aksara mengganti piring miliknya yang telah dipotong-potong. Daging setengah matang yang dia pilih. Daging kualitas terbaik untuk orang yang terbaik dalam hidupnya. Selama sepuluh tahun akhirnya Aksara mendapatkan senyuman itu kembali.
“Aku … hanya tidak menyangka kita berakhir seperti ini.”
“Aku nih udah?” goda Aksara dengan senyum jailnya.
“Iya dong. Nggak mau nih? Gue lo aja kalik ya?”
Aksara menurunkan bibirnya. Pria itu menjadi lebih ekspresif daripada sebelumnya. “Jangan dong. Bagus yang tadi loh ya.”
“Oke.” Irish mengedipkan satu matanya. Aksara memegang dadanya dan berakting seolah terkena serangan jantung. “Lebay banget.”
“Ini bentuk perasaanku yang sebenarnya.”
“Oh ya?” Irish menaikkan satu alisnya dengan bibir meremehkan.
“Iyaa. Mana bisa aku membayangkan kita bisa makan kayak gini. Bagaimana bisa aku membayangkan kita tadi di tem—“
“Shuuuttt. Nggak perlu dijelasin. Nggak penting banget.” Membayangkan kejadian tadi saya pipi Irish langsung bersemu merah. Dia dengan cepat memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.
“Penting bangettt, Rish. Aku nggak pernah ngira kamu bisa baik sama aku.” Irish menaikkan alisnya kembali. Dia tidak berniat menjawab. Hanya ingin mendengarkan sampai Aksara menyelesaikan penjelasannya. “Akuuu nggak pernah ngira kita bisa bersama. Rasanya susah banget buat dapetin kamu. Kayaknya kamu punya beban tersendiri.”
Irish meletakkan garpu dan pisaunya. Dia meminum jus cranberry yang berada di samping piringnya. Setelahnya dia menghela napas untuk mulai mengatakan sejujurnya. “Tapi aku nggak pernah bilang kita udah bersama. Kayak … ini terlalu cepat buat aku putuskan Aksara. Aku tahu kita udah kenal lamaaaa bangett. Tapi satu hal yang pasti. Kita nggak pernah kenal sedalam itu. Aku bahkan nggak tahu kamu orangnya kayak gimana selain yang dulu. Aku nggak tahu kamu sebaik dan seburuk apa. Aku nggak pernah berharap kamu sebaik itu. Aku tidak sepercaya itu dengan hubungan percintaan.”
“Rish, beri aku kesempatan. Aku akan berusaha dengan sangat baik. Aku nggak akan melepaskan kamu apapun itu. Aku sudah menemukan tambatan hati aku. Kamu … dan memang hanya kamu.”
“Sepuluh tahun itu waktu yang lama untuk memutuskan itu hanya dengan pertemuan singkat ini. Hati manusia itu mudah terbolak-balik, Aksara. Aku hanya tinggal menunggu kesempatan itu datang dan membuktikan semua ucapan kamu.”
“Aku bukan orang yang seperti itu, Rish.”
Irish menarik napasnya lebih dalam lagi. Rasanya semakin berat menjelaskan segala ketakutannya tentang laki-laki. Kebencian itu telah terlalu lama dia simpan. “Laki-laki terkadang lebih banyak berbicara tanpa adanya bukti, Aksara.”
“Aku tidak akan menyerah, Rish. Aku akan buktiin itu,” ucap Aksara dengan yakin.
Irish menelan ludahnya dengan kasar. Dia sangat-sangat takut untuk kecewa. Tapi sampai berapa lama dia harus berada dalam kebencian yang dalam itu? Laki-laki yang dulu pernah menyakitinya juga telah meminta maaf dengan baik. Kisah itu telah selesai. Pria itu telah menemukan kebahagiaannya. Sekarang, tinggal dirinya. Ya hanya tinggal dirinya yang masih berada di tempat yang sama.
“Tapi kamu pernah mengecewakan aku, Aksara. Kamu pernah membentakku. Di depan umum.” Irish menekankan kalimat terakhirnya.
“Aku terlalu cemburu saat itu, Rish. Aku bahkan terkejut dengan apa yang terjadi saat itu. Itu benar-benar bukan kebiasaanku. Semuanya terasa mendadak. Aku janji aku nggak akan melakukan itu. Aku bisa menjadi apa yang kamu mau.”
Irish menyisir rambutnya ke belakang. “Aku nggak butuh kamu berubah buat aku. Aku hanya ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Kamu nggak perlu jadi pria yang diidamkan semua wanita dengan perbuatannya, dengan perkataan manisnya, dengan apa pun yang selalu ideal. Aku hanya ingin kamu menjadi dirimu sendiri tanpa menjadi toksik. Kita sudah sama-sama dewasa. Pertengkaran yang nggak penting itu terlalu melelahkan buatku.” Irish tersenyum tipis. Ada banyak harapan yang bisa dia sampaikan kepada Aksara jika pria itu memang ingin. Tapi saat ini Irish hanya butuh itu.
“Aku akan menjadi terbaik versiku. Untuk menemuimu pun aku sudah berusaha menjadi yang terbaik versi aku.” Aksara menarik tangan Irish. Dia mengusapnya dengan lembut. Pilihannya kepada Irish memang tidak salah. Irish memang sangat dewasa.
Satu hal yang membuat Aksara tidak berani menemui Irish saat itu karena dia takut tidak bisa mengimbangi kedewasaan Irish. Irish terlalu sempurna untuk dirinya. Dia tidak pernah menyangka bisa menghadapi Irish saat ini. Dia sudah bukan Aksara berumur dua puluh tiga tahun lagi. Dia tidak lagi mengutamakan ketakutannya. Dia selangkah lebih maju. Dia lebih berani daripada yang dulu. Sekarang di depannya ada perempuan yang memang sangat dia dambakan.
“Rish, kamu tinggal diam dan lihat aku berjuang buat kamu. Akan aku kalahkan Jeremy dan Radit-radit itu. Aku pasti bisa.” Aksara menguatkan pegangan tangannya. Jantungnya menggebu-gebu. Dia sudah lama tidak merasa hormon adrenalinnya terpacu. Sekarang, di depan perempuan itu, Aksara akan mewujudkan mimpinya. Perasaannya itu nyata. Bukan lagi ilusi.
“Hemmm, oke. Tapi jika kamu mengecewakan aku lagi … kayaknya aku akan langsung nikah sama mereka. Toh umur kita ini emang sudah saatnya menikah.”
“Memang kamu ingin menikah dengan orang yang tidak kamu sayangi?” Aksara bertanya dengan serius. Pria itu sepertinya merasa cemburu.
“Siapa bilang aku nggak sayang? Emang siapa yang aku sayang?” tanya Irish dengan pura-pura.
“Aku dong. Aku loh yang paling kamu sayang. Aku aja kan?” Aksara menjawab dengan menggebu-gebu.
Irish tertawa dengan lembut. Matanya yang sipit itu menghilang sepenuhnya. Aksara sangat-sangat menggemaskan di matanya saat ini. Pria dengan kemeja lengan pendek berwarna putih itu terlihat lebih tampan dariapda sebelumnya.
“Kayaknya bisa aja masih berubah sih.”
“Enggak. Aku tahu cuma aku. Nggak mungkin kamu bales DM aku.”
“Gimana kalau itu terpaksa?”
“Aku nggak akan terpaksa melamarmu dengan dua set novel impian kamu.”
“Haha. Aku nggak nyangka kamu melakukan itu.”
Aksara memukul meja dengan pelan. “Itu aku belajar dari novel-novel kamu loh. Ternyata kamu memang punya sisi romantis. Meskipun tampilan luarnya sangat keras.”
“Ahhhh, cukupppp Aksara. Cukuppp, kita makan lagi yah.” Irish menusuk daging dan langsung memasukkannya ke dalam mulut Aksara. Irish tidak akan membiarkan Aksara berbicara kali ini. Tidak ada lagi pembahasan mengenai novel-novel halunya itu. Irish terlalu malu untuk dibahas sana-sini. Apalagi pembahasan itu dari Aksara. Tidak terbayangkan sampai kapan pun.