Cukup satu hari, keadaan bisa berubah dengan mudah. Irish tersenyum dengan lebar sampai-sampai kejadian satu hari ini tidak bisa terlepas dari pikirannya. Semuanya terlalu khayal untuk menjadi kenyataan. Irish bahkan bisa bilang bahwa dia sedang bermimpi. Mimpi yang sejak lama dia kubur dalam-dalam. Tapi ternyata mimpi itu kini menjadi kenyataan. Senyumnya tidak luntur dari depan pagar sampai ke depan pintu kosnya.
“Eitss … lo habis dari mana?” Tangan Jeremy berada di sisi Irish.
“Pergilah. Ini hari libur yah.” Irish memutar bola matanya. Kehadiran Jeremy seketika membuatnya kesal. Pria itu menghalangi dirinya untuk segera tidur.
“Seharian? Ini jam dua belas malam, Rish. Anak gadis mana yang baru sampe rumah jam segini?”
Irish membalik tubuhnya dan besedekap dada. Wajahnya benar-benar kesal. “Lo bukan bapak emak gue. Kenapa jadi kayak orang rumah aja lo.”
“Gue peduli sama lo, Rish. Jangan pulang malem-malem.” Jeremy terlihat frustasi ketika menjelaskan kepada Irish.
“Bahkan gue pernah pulang dini hari jam dua, jam tiga, dan bahkan gue nginep di rumah temen gue atau di kosan temen gue. Lo nggak ada hak ya buat ngelarang gue.”
“Gimana caranya gue punya hak buat ngelarang lo? Nikah sama lo? Ayok, besok kita ke KUA juga bisa.” Irish memukul kepala Jeremy dengan keras. Dia heran kenapa pria itu terlihat sangat kahwatir. Irish pikir dia sedang mabuk tapi tidak tercium bau alkohol di bibirnya.
“Lo habis makan kecubung? Atau lo lagi ga sadarkan diri jalan sambil tidur?”
“Rish, gue masih sadar. Seratus persen sadar. Emang lo nggak bisa bedain gue yang bangun dan tidur?”
“Gini yaa, Jeremy. Gue nggak tahu motif lo apa buat pindah ke kosan gue yang bisa gue cocokologi lo, sengaja pindah ke sini. Gue—“
“Gue mau jagain lo,” jawab Jeremy dengan cepat. Dia mengusap wajahnya dengan pias. Rambutnya dia sisir ke belakang. Matanya kembali menatap mata Irish dengan dalam. Ada keseriusan di dalam matanya. Bersamaan dengan itu, kalimat yang dia lontarkan lebih dari serius. “Gue nggak mau ninggalin lo lagi kayak dulu. Cukup semuanya berakhir berantakan. Sekarang kita mulai dari awal.”
“Dan lo akan ninggalin gue lagi?” Irish menoleh ke samping. Dia sudah muak sebenarnya membahas masa lalu yang tiba-tiba harus kembali dia hadapi. Rasanya takdir memang kembali terulang. Takdir yang belum selesai, kembali datang untuk minta diselesaikan. Semua kehidupan yang berlanjut harus selesai sebelumnya. Salah Irish yang tidak bisa menyelesaikan itu semua.
Dia telah lama memikirkan bahwa semuanya memang telah berakhir dengan baik. Tapi di balik itu ternyata tidak semua orang menganggap semuanya adalah akhir yang baik. Irish, Aksara, dan Jeremy. Semuanya masih sama. Mereka tetap tinggal di tempat yang sama. Mereka tinggal di tahun yang sama. Mereka tinggal di umur yang sama. Waktu seolah berhenti tepat ketika mereka masih berumur tujuh belas tahun. Tahun ketika semuanya harus berakhir dengan terpaksa.
“Gue nggak akan pernah ninggalin lo, Rish. Gue butuh kesempatan.” Jeremy memegang bahu Irish. Wajahnya penuh dengan keyakinan.
Satu hari Irish sudah mendengarkan kata “kesempatan” muncul sebanyak dua kali. Setiap orang memang seharusnya mendapatkan kesempatan. Tapi tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Ada yang hanya terwujud setengahnya, ada juga yang terwujud sepenuhnya. Irish telah mewujudkan sepenuhnya, sekarang dia hanya bisa memberikan setengahnya lagi.
“Kesempatan untuk menjadi teman lagi kan, Jer?” Irish menekankan kata teman. Dia ingin memberikan batas kepada Jeremy.
“Oke. Nggak masalah. Lo boleh nganggep gue temen lagi. Gue nggak bisa berharap banyak sama lo ketika lo masih ada bersama dia. Hati lo emang nggak pernah bisa buat gue.” Jeremy menunduk. Wajahnya berubah sendu.
“Maafin gue, Jer. Lo udah tahu jawabannya dari lama.” Irish membalik tubuhnya. Dia memasukkan kunci dan membuka pintu kamarnya.
Irish tidak mengatakan apa-apa. Dia menutup pintu kamarnya dengan cepat tanpa menatap Jeremy kembali. Dia paling sebenarnya benci bertemu dengan orang-orang yang ada di masa lalu. Mereka hanya berusaha untuk menyakitinya untuk kedua kalinya. Tapi sayangnya memang dia harus bertahan untuk tetap mengikuti takdir Tuhan yang tidak pernah dia sangka-sangka itu. Irish memegang pintu kamarnya. Dia menunduk dan berpikir dengan dalam.
“Jer, kalau pertama kali yang gue temui itu lo, mungkin perasaan ini nggak pernah jatuh ke Aksara. Mungkin kisah gue nggak akan serumit ini. Tapi maaf, Jer. Gue emang bukan orang yang baik yang bisa membalas perasaan lo. Tapi terima kasih karena sudah selalu ada.”
Irish meninggalkan pintu itu. Dia kembali ke kehidupan pribadinya. Hidup sendiri dengan kamar berukuran tiga kali tiga meter. Penuh barang dan sesak. Tapi Irish menyukai kamarnya. Dia telah nyaman tinggal di tempat itu. Meskipun banyak suara-suara yang menganggu seperti saat ini.
Irish membuka balkonnya. Dia menghirup udara malam sepuasnya. Dia tidak takut jika besok dia tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Malam ini dia hanya ingin menikmati langit malam. Langit yang hanya dihiasin oleh bulan. Polusi udara sudah berhasil membuat kota ini sama seperti kota-kota metropolitan lainnya.
Kegalauan Irish harus tertunda ketika ada panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Siapa lagi kalau bukan Zoey. Perempuan itu memang selalu menelepon sesukanya. Tidak peduli pagi buta, siang ketika dia tidur, bahkan malam hari pun Zoey akan melakukannya. Irish heran kenapa perempuan itu selalu memiliki banyak waktu untuk meneleponnya meskipun untuk mengabari sesuatu yang tidak penting. Lebih herannya lagi kepada dirinya sendiri ketika mau-mau saja mengangkatnya dalam keadaan apapun.
“Heem,” gumam Irish ketika sambungan telepon itu dimulai.
“Gilak, lo beneran dateng ke gedung pernikahan gue? Lo juga nggak minta gaun yang aneh-aneh. Padahal gue bisa aja ganti kok. Tante gue udah sangat welcome.” Zoey langsung menyerocos begitu saja. Perempuan itu memang memiliki tenaga yang lebih-lebih dari dirinya.
“Gue menerima apapun yang lo bikin deh. Pokoknya yaudah itu juga bagus.”
“Eh tadi katanya tante gue, temen cowok lo itu beli gaun dan satu set jas buat pernikahan. Si Aksara bukan yang dimaksud? Kan gue nyuruh lo dateng sama Aksara tadi. Bener nggak? Rish, ayoo cerita ke gue.”
“Seriusan dia beli gaun pernikahan sama satu set jas? Prepare banget. Gue aja belum setuju.”
“Tapi lo udah mulai terbuka kan sama dia? Lo beri dia kesempatan kan?”
“Bentar-bentar kenapa lo nanyain ini tiba-tiba?”
“Hihi. Gue habis dapet rekaman cctv dari tante gue. Lo berdua ciuman di ruang ganti. Busett dah lancar bener itu mulut.”
“AAARGGGHHH. BERHENTI ZOEY. GILA APA BAHAS ITU TENGAH MALEM GINI!” Irish histeris dibuatnya. Mereka berdua juga terlalu bodoh untuk melakukannya di tempat umum. Beruntungnya tidak ada yang mengehentikan mereka. Kalau ada bagaimana? Sudah lain cerita.
“Tante gue syoklah lihat lo berdua. Tapi seru juga kisah kalian.”
“Tapi lo harus tahu Zoey, Jeremy tinggal di sebelah kamar gue.”
“SEBELAH KAMAR LO? SEBELAH LO? ANJIR! SERIUSAN INI? OMAIGATTT. MIMPI APA GUE.” Irish menjauhkan telepon genggamnya. Suara Zoey terlalu nyaring di telinganya. “Terus-terus. Lo gimana?”
“Gimana apanya?” tanya Irish seolah tidak paham dengan apa yang dimaksud.
“Ishh. Masa harus gue perjelas juga sih, Rish.” Zoey terlihat menggebu-gebu.
“Dia minta kesempatan yang sama seperti yang gue kasih ke Aksara. Dia ternyata masih memiliki perasaan yang sama. Gue harus gimana ya, Zoey.”
“Pantes lo kelihatan lesu waktu jawab telepon gue. Ternyata emang ada masalah. Tapi untungnya gue telepon kan, jadi lo bisa cerita sama gue.”
“Iyaa. Makasih yaa. Tapi kayaknya gue lagi butuh waktu sendiri. Gue mau off sementara waktu. Ini lebih baik daripada gue harus banyak mikirin sesuatu yang serumit ini.”
“Yaudah kalau gitu. Take your time. Gue akan balik seminggu lagi. Ntar kita bisa jalan-jalan ya. Good night sweety. Muach.”
Kecupan dari sebrang sana itu mengakhiri percakapan keduanya. Irish berterima kasih kepada Tuhan. Setidaknya setiap dia tidak baik-baik saja, masih ada teman seperti Zoey yang siap ada di sampingnya. Zoey sangat berharga untuknya.