Syuting untuk web series yang berjudul "Tips Jadi Fucek Boy Ala Mbak Google" sudah selesai. Reza dan Amel yang berperan sebagai editor untuk mengedit film pendek itu. Trailernya sendiri sudah meluncur lebih dulu di YouTube. Raya yang membuatnya, iseng saat menemukan ide. Lagi pula trailernya sendiri bisa mereka gunakan sebagai iklan, untuk menarik minat penonton.
Satu minggu sudah berlalu sejak hari bersejarah datangnya Rama ke rumah Raya, tiap hari gadis itu selalu menanti kabar darinya yang akan mengajaknya pergi ke pernikahan Alma bersama-sama. Dengan napas lelah gadis itu menidurkan kepala di atas meja cafe.
"Ada Renjun!"
"Ck, apaan sih lo? nggak mempan, bego!"
Selanjutnya Raya mendengar kekehan, tapi karena masih tidak mood, jadi ia masih di posisi yang sama. Lalu tiba-tiba foto Renjun terpampang di depan wajahnya begitu saja. Refleks Raya menarik photo card itu sambil menegakkan tubuh. "Ih Renjun, si gantengnya aku."
"Buat lo."
"Alan?" Raya mengerjap karena baru sadar bahwa yang sejak tadi di depannya ternyata laki-laki itu. "Lo kok di sini?"
"Kata Siska lo suka sama Renjun, jadi gue kasih photo card itu buat lo."
"Tapi pertanyaan gue bukan itu, lo ngapain ada di sini?"
Laki-laki itu hanya mengedikkan bahunya sambil memainkan sedotan di dalam gelas jusnya. "Cafenya bagus, jadi gue mampir."
***
Kejadian kemarin bukan satu-satunya hal yang aneh dari laki-laki bernama lengkap Alan Febrio itu. Beberapa hari kemudian pun laki-laki itu aneh, lagi. Dia tiba-tiba mengantarkan minuman boba untuk Raya. Katanya dia memberikan itu karena sedang ada diskon buy 1 get 1. "Daripada mubazir, jadi gue kasih lo," itu jawaban dia saat Raya bertanya alasannya apa.
Anehnya lagi, dia sering menanyakan hal-hal yang sering ditanyakan bapak-bapak. Padahal dia usianya masih enam belas tahun.
Alaaan
Lo kuliah di mana?
20.56
Raya
Bandung
20.56
Alaaan
Oh... jurusan apa?
20.57
Raya
Pendidikan.
20.57
Alaaan
Jadi guru dong ya…
20.58
Raya
Ya.
20.58
Alaaan
Ngekost apa gimana?
20.59
Raya
Ya, ngekost.
20.59
Alaaan
Oh... oke.
21.00
Read
Malam itu Raya tidak membalas apapun lagi, jujur karena memang tidak tahu juga harus jawab apa. Dia lebih mirip ayah Raya, yang bertanya seperti itu. Namun, agaknya isi chat dia malam itu lebih baik daripada esok harinya. Tiba-tiba dia mengirim sesuatu yang sangat cringe.
Alaaan
Kapan-kapan foto bareng ya.
12.03
Raya
Ngapain?
Ramean lebih asik
12.03
Alaaan
Kan maunya sama lo.
12.04
Raya
Dih.
12.05
Alaaan
Ray.
12.05
Raya
Kenapa?
12.05
Alaaan
Galak banget sih lo?
12.06
Raya
Gak tuh, biasa aja.
12.06
Alaaan
Coba ketik 224 di google.
12.07
Raya
Apaan sih?
12.07
Alaaan
Ketik aja.
12.07
Karena memang penasaran, jadi Raya keluar dari aplikasi WhatsApp dan membuka pencarian untuk mengetik angka 224 itu. 224 berarti untuk today, tomorrow, forever. Spontan gadis itu bergidig setelah membacanya. Lalu kembali ke aplikasi WhatsApp untuk mengomelinya.
Raya
Jijik dih.
12.10
Alaaan
Sekarang coba 831.
12.10
Raya
Jijik banget sumpah.
12.11
Alaaan
Cuma bercanda kok.
12.11
Raya
Ya biasa aja bercandanya.
Jijik gue.
12.12
Alaaan
Sorry.
12.13
Setelah dia membalas pesan Raya dengan maaf, Raya tidak lagi membalasnya. Tetapi kemudian gadis itu kembali penasaran perihal angka 831 itu. Jadi dia mencari tahu, namun setelahnya perut Raya kembali merasa mual. 831 meaning for 'I love you'. Terasa ada sesuatu di dalam perutnya yang memaksa akan keluar. "Anjir, jijik banget."
"Apaan sih, Kak?"
Raya mengulurkan ponselnya pada Amel yang memang sejak tadi sedang rebahan di atas tempat tidur Raya. Mereka berdua sedang memakai sheetmask di siang hari yang panas itu. Tadinya sudah mengajak Siska juga, tapi dia sudah lebih dulu pergi dengan Reza.
"Wih gombalannya, mantap banget nih cowok."
"Jijik banget nggak sih, Mel?"
"Nggak, lo aja yang nggak bisa digombalin."
Sudah lima belas menit berlalu sejak keduanya memasang sheetmask ke wajah, jadi mereka bersamaan melepaskannya dan duduk berhadapan.
"Kak, emang lo nggak pengin buka hati buat yang lain, tetep sama Rama aja?"
"Maksud lo?"
"Ya ini... Alan? dia kayaknya suka sama lo."
Raya menggeleng. "Bukannya gue masih nutup diri, Mel. Cuma gue nggak mau aja dia suka sama orang kayak gue."
"Emang lo kenapa?"
"Umur gue sama umur dia beda jauh, bege."
"Ah alesan. Nabi Muhammad sama Siti Khadijah juga selisih umurnya jauh kok."
"Bodo! gue laper mau makan, ngomong aja sama bantal oppa gue kalau masih ngomongin si Alan itu."
***
Langit hari itu terasa akan menggelap dalam hitungan menit. Terlihat dari bagaimana awan mulai menghitam, padahal masih pagi. Raya membawa kakinya melangkah memasuki kedai ice cream sesuai tempat perjanjian laki-laki itu.
Iya, Raya tidak bisa menolak ajakan orang sebaik Alan. Meskipun dia menyebalkan untuk ukuran teman chat, tapi tidak ada salahnya menyenangkannya dengan menerima ajakannya itu.
Laki-laki enam belas tahun itu melambaikan tangan saat Raya sedang kesulitan mencari dirinya. Ternyata dia sudah duduk di meja paling pojok kiri. Raya pun langsung berjalan cepat menghampirinya.
"Sorry sorry, lama ya gue."
"Telat lima menit sih."
"Macet tadi dikit, ada yang keserempet motor."
"It's okay."
"Jadi, lo mau ngomongin apa, Alan?"
"Pesen dulu gih, biar ngomongnya enak sambil makan ice cream. Kata Siska soalnya lo suka ice cream."
Karena dia yang mengajak bertemu, jadi Raya hanya menurut saja apa katanya. "Oke."
Raya memesan satu ice cream yang katanya sudah menjadi menu andalan di sana. Selang beberapa menit keduanya hanya membicarakan soal YouTube sebelum pesanan akhirnya datang.
"Wah, enak banget ice cream-nya. Lo tahu dari mana tempat sekeren ini, Lan?" tanya si gadis sambil mengecap rasa manis dari sendok kecil di tangannya.
"Ini viral banget di Facebook, jadi gue nyobain deh, sekalian ngajakin lo."
"Oh... hehe."
"Gue... suka sama lo, boleh?"
"Uhuk—" lancar banget sumpah dia ngomongnya, kenapa sih?
"Ray, keselek?"
"Bukan keselek, keguguran!" Gadis itu memekik setelah berhasil menetralkan batuk. "Sorry, nanya doang kok."
"Maksud lo ngomong kayak tadi apaan sih? Candaan lo jelek, nggak jelas lo."
"Serius, Ray. Gue suka sama lo, bahkan sejak kita bertemu pertama kali." Raya terdiam beberapa detik. Tidak tahu harus merespons apa saat itu. Hingga suara laki-laki itu kembali menyambangi pendengarannya.
“Ray?”
"Ih kenapa suka gue? Lo, kan, tahu kita ini beda jauh umurnya."
Laki-laki itu menggeleng, tatapannya penuh harap bahwa pemikiran Raya tentang perbedaan usia itu salah. "Cuma beda empat tahun, salah ya?"
"Salah, bagi gue itu salah, Lan."
"Tapi Nabi Muhammad sama—"
"Stop, tolong contohnya jangan ke arah sana," potong Raya cepat. Cukup dari Amel saja kemarin dia mendengar pembelaan seperti itu. "Lan, kenapa lo nggak suka Amel aja, atau Nita? kenapa musti gue—" Raya menunjuk dirinya sendiri sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana seperti ice cream pesanannya yang sudah meleleh. "—Gue terlalu tua buat lo hehe."
"Masalah banget ya perbedaan umur kita?"
"Sorry banget, gue emang permasalahin itu. Gue bukan orang baik, jangan suka gue."
"Tapi, Ray—Lo nggak bisa ya, coba buka hati? coba dulu jalanin sama gue. Gue mau berusaha buat lo nyaman, nanti kalau lo tetep nggak bisa, gue ikhlas lepasin lo."
"Dari awal emang udah nggak bisa. Bukan hanya masalah perbedaan umur kita, sorry ini emang cuma alasan kesekian. Padahal gue nggak bisa, please... semuanya nggak bisa kalau harus dipaksain, Alan."
Jujur, Raya sungguh merasa ingin menangis saat ini. Dia tidak pernah membayangkan akan melukai hati orang seperti ini. Tetapi Raya sendiri tidak bisa memaksakan hatinya, dia sedang dan masih menjaga hati untuk orang lain.
"Apa karena lo suka sama cowok lain? Ram—"
"Alan!" Nada suara Raya naik satu oktaf, dia berdiri mendorong kursi ke belakang.
"Jangan bawa-bawa nama lain. Gue nggak bisa ya berarti nggak bisa, jadi mending lo buang aja perasaan lo. Gue yakin kok itu cuma perasaan kagum sesaat doang, ntar juga hilang."
"Tahu dari mana? emang lo tahu isi hati gue?" tanyanya sarkas.
"Kalau lo masih mau bahas ini mending gue pergi, permisi ya."
Raya masih sempat mendengar Alan memanggil namanya saat ia sudah melangkah menjauhi mejanya. Setelah itu Raya berhenti sejenak di meja kasir untuk membayar pesanan mereka, Raya masih cukup tahu diri untuk tidak membuatnya berakhir jadi berhutang pada Alan.
Kakinya yang sudah menapaki area luar cafe mendadak berhenti berjalan saat tetesan air hujan mengenai kepala. Raya mendongak, membiarkan tetesan air hujan membasahi kulit wajahnya. Saat ini dia merasa butuh untuk menatap langit, meskipun sedang mendung seperti perasaan gadis itu.
Bukan karena perbedaan umur di antara ia dan laki-laki itu, tetapi karena Raya tidak bisa melupakan perasaannya yang masih menetap untuk Rama. Memang Alan adalah laki-laki yang baik, tapi dia tidak bisa jadi hujan untuk Raya. Hujan yang sanggup menyejukkan perasaan Raya, seperti Rama.