"Mas Arga. Aku pamit berangkat sekolah dulu ya!" Gio menjabat tangan Arga yang kini tengah bersantai di sofa.
"Ayo, aku antar!" Arga beranjak dari duduk.
"Eitss.. Nggak usah Mas. Biar aku sendiri aja," cegah Gio tak ingin merepotkan lelaki itu. Mengingat Arga bekerja semalaman membuat Gio kasihan.
"Kenapa?" tanya Arga masih menggenggam benda pipihnya.
"Mas Arga kan udah kerja semalaman, aku tahu Mas capek. Jadi silakan istirahat saja!" jelas Gio.
"Aku nggak capek kok. Mau sekalian cari udara segar ini! Ayolah, berangkat sama aku, nggak usah sungkan!" rengek Arga. Gio tak dapat menolak.
"Kalau itu keinginan Mas Arga. Okelah, nggak papa!" jawab Gio.
Arga berjalan ke garasi sedangkan Gio keluar melalui pintu depan. Dikendarai Arga, motor matic hitam telah keluar dari tempatnya. Tanpa lama, Gio pun memakai helm lalu naik ke jok belakang.
Keramaian jalan raya merubah suasana hati Arga. Yang awalnya sunyi, kini telah ramai. Netranya menangkap banyak transportasi yang berlalu lalang. Saling mendahului pun banyak dilakukan oleh para pengendara. Seperti Arga yang baru saja mendahului truk kontainer. Dengan kecepatan sedang, mereka dapat tiba di SMP 02 Pancasila.
"Terima kasih Mas!" ucap Gio memberikan helmnya pada Arga.
"Sama-sama! Belajarlah dengan sungguh-sungguh, ya!"
"Siap Mas!" jawab Gio lantas berbik badan.
"Pak," sapa Gio pada satpam sekolah. Cowok itu lantas berjalan ke kelasnya. Objek yang pertama memasuki netranya ialah bangku Mita yang diduduki oleh pemiliknya. Tas ransel besar Gio pun ia letakkan di bangku. Mengingat tak ada Kenzie di rungan itu Gio menuruti pikirannya untuk mendekati Mita. "Hai Mit," sapa Gio.
Mita pun menoleh. Bungkamlah balasannya untuk Gio. "Aku mau ngomong sama kamu!" ucap Gio mengambil duduk di dekatnya.
"Hei.. Jangan mendekat!" Mita menjauhkan kursinya dari Gio.
"Kamu jangan takut, aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok! Aku hanya ingin berbicara denganmu!" tutur Gio.
"Ngapain sih?" tanya Mita telah menaikkan emosi. Ekspresi yang semula santai, kini tampak cemberut. Kehadiran Gio sangat mengganggunya.
"Ayo sahabatan lagi!" ajak Gio berbisik.
"Hisshh... Enggak!" tegas Mita.
"Aku udah nggak sama Lica lagi kok! Aku udah putus! Jadi, ayo kita kembali seperti dulu lagi."
"Cukup! Tidak usah menggangguku lagi!" pinta Mita tanpa menatap Gio.
"Mita.. Apa kamu nggak rindu kebersamaan kita?" tanya Gio. Cowok itu tak lepas pandang dari Mita.
"Nggak!" jawab Mita kian berpaling.
"Mit.. Aku rindu kebersamaan kita Mit. Aku ingin kita seperti dulu lagi. Aku hanya ingin kamu, Mita, bukan yang lain. Aku hanya ingin--" ungkap Gio terpotong oleh suara Mita.
"Aaassshhh... Sudah cukup Gio!" Mita sontak berdiri. "Aku sudah tidak butuh apapun lagi dari kamu. Jadi sekarang, pergilah dari sini!" usir Mita.
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu kembali padaku!" ungkap Gio. Tak peduli meski Mita telah memiliki teman sebangkunya. Gio hanya rindu dan ingin kembali seperti dulu. Hanya kenangan masa lalu yang mengusiknya hingga menuai keinginan untuk dapat mengulangnya. Hal itu tak pelak membuat Gio melakukan beragan cara untuk dapat kembali dengan Mita.
"Aku nggak bisa!" jawab Mita lantas keluar. Gio tak tinggal diam, ia mengikuti gadis itu.
"Mita.. Mit.. Ayolah Mit!" bujuk Gio. Tanpa menoleh sedikitpun, Mita mempercepat langkah agar kian menjauh dari Gio. "Mita.. Tunggu Mit!" ucap Gio turut mempercepat langkah. Tangan kanannya merah tangan Mita yang spontan menatapnya tajam.
"Lepaskan!"
Gio terkejut mendapati matanya yang melotot.
"Nggak akan!" jawab Gio. Mita kian merasa terusik. Ia tak dspat cara untuk membebaskan diri. Sementara hatinya kian memanas. Air mata pun telah menumpuk di kantungnya. Namun, Mita tetap menahannya. Kebingungan tengah melanda. Mengingat Gio menggenggam kuat tangan kanannya dan ia tak punya banyak energi untuk memberontak.
"GIo lepaskan!" Mita menghentakkan kaki.
"Asalkan kamu mau kembali padaku!" syarat Gio. Tak peduli dengan banyak siswa-siswi yang memperhatikannya. Gio tetap pada keputusannya.
"Enggak Yo. Aku nggak mau!" tolak Mita menggeleng keras.
"Maka, jangan harap aku bisa melepaskanmu, cantik!" jawab Gio menyentuh dagu Mita. Senyum smirk yang terukir di bibirnya sontak membuat Mita ketakutan. Gadis itu kian kebingungan dan hanya berteriak yang dapat dilakukannya.
"Ada apa ini?" tanya Kenzie menerobos kerumunan siswa-siswi yang memperhatikan mereka. Kenzie terbelalak mendapati sang kekasih yang berada di tangan Gio. "Woiii... Lepaskan!" teriak Kenzie berlari ke arahnya. Gio yang melihatnya pun sontak membeku. Mentalnya yang lebih kecil daripada Kenzie membuatnya tak berani bertindak lagi. Dengan berat hati, Gio melepas tangan Mita. Ia tertunduk malu di hadapan Kenzie. "Ngapain lo ganggu pacar gue?" tanya Kenzie menekan dada Gio.
"Ngapain diem aja? Jawab!" bentak Kenzie. Mita yang mendengar suara tingginya pun tak tinggal diam. Tangannya bergerak untuk memeluk dari samping. "Hussstt.. Sudah Sayang. Tidak usah kamu perpanjang masalah ini. Aku ada di sini, aku baik-baik saja!" bisik Mita mengusap lembut bahu Kenzie.
"Dasar cowok nggak jelas! Awas aja lo sampai macem-macem sama pacar gue!" gerutu Kenzie berbalik badan. Cowok itu berjalan ke kelas dengan Mita.
Gio mengusap wajah gusar. "Gagal lagi.. Gagal lagi! Kapan aku bisa bersama Mita kembali?" batin Lio memilih menenangkan diri.
๐น๐น๐น
"Apa yang dilakukan Gio padamu?" tanya Kenzie menduduki bangku Fisa.
"Sayang aku takut!" jawab Mita meneteskan air mata. Hatinya merasa kacau usai tangannya kembali digenggam Gio.
"Usssttt... Jangan takut! Ceritalah!" Kenzie mengusap lembut kepala Mita.
"Aku takut kalau dia bakal gangguin aku terus! Hiks.. Hiks.. Hiks.. Hiks!" isak Mita drngan buliran air mata.
"Tidak usah takut, ada aku di sini!"
"Aku takut kalau dia menghancurkan hubungan kita!" ungkap Mita menyandarkan kepala di bahu Kenzie.
"Enggak.. Enggak, itu nggak akan terjadi kok! Kamu nggak usah takut!" Kenzie berusaha menenangkan kekasihnya.
Mita menyeka air mata lantas bercerita pada Kenzie. Cowok itu merespon dengan tatapan emosi. "Tunggulah di sini!" Kenzie keluar kelas guna mencari Gio. Emosi yang telah memuncak telah siap untuk dikeluarkan.
Cowok itu berjumpa Gio di toilet pria. Tanpa pikir panjang, Kenzie meluangkan bogeman di pipi Gio yang sontak terkejut. Sepasang matanya terbelalak menatap Kenzie. "Berani kamu godain pacar gue. Apa maksud lo?"
"Nggak bermaksud apapun!" jawab Gio berbohong. Jantungnya berdegup semakin kencang mendapati kerah seragamnya yang berada di genggaman Kenzie.
"Lo kan tahu, kalau dia udah jadi milik gue. Ngapain lo masih ganggu dia?"
"Gue masih ingin memilikinya!" jawab Gio dengan polosnya.
Bug....
"Hssshhh!" ringis Gio dengan pipi memerah.
"Gue udah kasih kesempatan buat lo milikin dia. Tapi lo malah sakitin dia! Terus sekarang, ngapain lo ganggu dia saat udah jadi milik gue?"
"Gue sakitin dia karena terpaksa!" ungkap Gio.
"Gue nggak peduli apapun itu!" timpal Kenzie menyimpan rasa cemburu. Mengingat tangan Mita yang sempat ada di genggaman Gio tadi.
"Harusnya lo nggak ada di dunia ini!" Rasa sakit yang mencuat di wajahnya, membuat emosi Gio memuncak dan siap keluar.
"Apa maksud lo?" Kenzie spontan bertanya.
"Kehadiran lo di sini sangat menghalangi harapan gue untuk memiliki Mita sekarang!"
Bug...
"Lo aja yang mati!" Kenzie berhasil menjatuhkan tubuh Gio.
"Asal lo tahu. Mita lebih bahagia sama gue, daripada sama lo! Kehadiran lo di sini juga mengusik hubungan gue. Mendhing mati aja lo!"
Dep...
Dep...
Dep...
Kaki kiri Kenzie telah mendarat di tubuh Gio. Cowok yang tumbang di lantai itu sontak tak terima dengan perlakuan kasar Kenzie. Ia bangkit dan melayangkan pukulan di kepala Kenzie. Tanpa bicara lagi, Kenzie menendang keras perut Gio.
"Aww," ringisnya kesakitan.
"Masih berani lo?" tanya Kenzie. Gio menjawab dengan tinjuan.
Kini Kenzie yang merasa kesakitan. Lengan kanannya mengunci tengkuk Gio yang lantas ia beri tinjuan tanpa henti. Rasa sakit tak tertahan yang menumpuk di tengkuk Gio membuatnya memberontak untuk dapat lepas dari Kenzie. Kaki kirinya terangkat mendorong perut Kenzie lalu pergi. Tak peduli dengan rasa sakitnya, Kenzie berlari guna mengejar cowok itu. Beruntung, dia belum jauh darinya. Dengan mudah, Kenzie dapat menangkapnya kembali. "Enak banget lo main lari!" ucap Kenzie menghalangi langkah Gio.
"Lo yang enak, udah bisa dapetin Mita!" jawab Gio.
"Apa hubungannya?" tanya Kenzie.
"Pikir saja sendiri!" Gio berlalu di samping Kenzie. Telah malas ia berurusan dengannya.
"Bodoh kau ini!" bisik Kenzie tepat di telinga Gio.
"Sama saja kayak kau!" balas Gio tak didengat Kenzie. Sebab dia telah berjalan jauh darinya.
Di kelas 9D, Mita berusaha menghentikan air matanya. Namun, tak bisa. Rasa takut yang bertengger di benaknya membuat ia terus menangis. Mita masih merasa takut karena hal tadi. Mengingat Kenzie telah berhasil mengambil hati orang tunya, sangat disayangkan jika hubungannya harus kandas hanya karena Gio. Itulah yang Mita takutkan.
"Sudahlah Sayang, jangan menangis lagi!" ucap Kenzie baru saja kembali. Mita mendongak. Ditatapnya wajah tampan Kenzie yang membalas tatapan hangat. Cowok itu mengusap pipi Mita yang terbasahi oleh air mata. "Nggak usah takut. Semuanya baik-baik saja kok! Tenang aja ya!" Kenzie beralih menggerakkan telapak tangan di kepala Mita.
******
"Saatnya istirahat pertama."
Siswa-siswi SMP 02 Pancasila telah usai mengikuti beberapa pembelajaran. Kini, saatnya mereka keluar guna sekedar melepas penat. Namun, tidak dengan Kenzie dan Mita yang masih di kelas. "Sayang. Temani aku ya!"
"Ke mana Say?" tanya Kenzie mendekati sang kekasih.
"Ke taman sekolah!" jawab Mita dituruti Kenzie.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu!" ucap Mita telah duduk dengan Kenzie.
"Mau ngomong apa Say?" Mita menggenggam tangan Kenzie guna memberi kenyamanan.
"Tapi kamu jangan kecewa ya!" Mita mengusap lembut punggung tangan cowok itu.
"Iya Sayang."
"Sebentar lagi, kita kan ujian..."
"Iya, terus?"
"Aku mau fokus belajar dulu selama itu, jadi kita harus berhenti chattingan di rumah dulu ya Sayang. Tapi tenang, kita masih bisa bersama di sekolahan. Kamu setuju kan?"
"Iya Sayang nggak papa kok. Kayaknya, aku juga akan fokus belajar dulu! Jadi kita berhenti chattingan untuk sama-sama saling belajar!" jawab Kenzie mengangkat sudut bibir Mita.
"Benar itu Say! Terima kasih sudah selalu mengerti!" Mita mengukir senyum tipis.
"Terima kasih juga sudah selalu ada di sampingku!" balas Kenzie.
๐น๐น๐น
"Bagaimana bisa Gio dan Lica putus?" tanya Rati yang kini berada di rumah Mina. Wanita itu sangat penasaran dengan cerita sahabatnya kemarin. Teringin ia bertanya selengkapnya, namun Mina dan Lica lebih dulu pulang. Sehingga Rati memutuskan berkunjung ke rumahnya untuk sekedar meminta penjelasan. Mina yang mengerti hal itu pun menceritakan kronologi putusya hubungan asmara Lica dan Giio.
"Astaga... Bagaimana anak itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" Rati memasang ekspresi terkejutnya. Hutangnya terbayar lunas karena anak yang telah ia usir dari rumah. Suasana hati yang semula santai, kini tidak. Rasa bersalah yang menyelimutinya kian mengingatkan Rati pada sosok Gio, putra semata wayang yang kerap ia salahkan. Kerap ia paksa untuk melakukan sesuatu, seperti mencintai Lica dulu. Rati sungguh menyiksa hati. Sehingga Gio pun tak salah jika ia mau keluar dari rumah. Lagipula, telah lama ia berada di kehidupan yang banyak keterpaksaan dari Rati. Sejak berumur 5 tahun, cowok itu tak jarang mendapatkan paksaan. Namun, paksaan yang paling menyakitkan Gio terima di tahun ini yakni paksaan untuk mencintai orang yang tak ia cintai.
"Aku pun tidak tahu.
Dia sudah kutanya tapi jawabannya privasi."
"Sekarang, dia tinggal di mana ya?" tanya Rati.
"Mana aku tahu?" respon Mina juga tak tahu tempat tinggal Gio. Rasa penasaran yang menyelimuti dua wanita itu menjadikan tempat tinggal Gio sebagai misteri yang belum terjawab. Lantas, akankah mereka mencari jawabannya? Realitanya, Gio berusaha menyembunyikan tempat tinggalnnya sekarang dari siapapun.
"Duh... Aku jadi penasaran!" ungkap Rati.
"Aku juga!" jawab Mina.
"Bagaimana caranya agar kita bisa tahu tempat tinggalnya?" Sedikit terselip penyesalan Rati telah mengusir Gio. Kini, hatinya terasa sunyi tanpa anak itu. Terselip pula harapannya untuk Gio kembali. Namun, bisakah? Rati pun tak dapat menerka. Hanya waktu yang dapat menjawabnya.
"Kita cari tahu!" saran Mina.
"Aku malas!" Mina menggeleng santai. Rati memasang ekspresi malasnya.
"Hemm.. Sudahlah, aku mau pulang dulu!" pamit Rati beranjak dari sofa.
"Hem.. Iya hati-hati!" jawab Mina membiarkan Rati keluar. Tidaklah ia mengantar Rati keluar sebab baginya kunjungan itu telah biasa. Seperti ia yang biasa mendatangi rumah Rati pun tak ada istimewanya. Datang tak diundang, pulang tak diantar.
Di perjalanan pulang. Rati sedikit merasa lega lantaran dapat mendengar cerita Mina tentang Gio. Meski rasa bersalah dan penyesalan masih bertengger di benaknya. Namun, setidaknya Rati telah mengetahui kondisi Gio yang kemarin mendatangi rumah Mina. Cowok itu baik-baik saja.
*****
Rati menatap figura kaca yang menampilkan wajahnya dengan masa kecil Gio. Kepala botak yang lucu nan menggemaskan itu berhasil membuatnya tersenyum. "Dulu, anak Ibu lucu banget ya. Ibu kangen kamu, nak!" ungkap Rati mengusap lembut benda itu sebelum ia kembalikan pada tempatnya.
"Aiihhh... Menyesal aku sudah mengusirnya! Sekarang, aku jadi kesepian!" keluh Rati. Wanita itu sengaja tak berdagang hari ini lantaran menyempatkan waktu untuk merenungi segalanya.
Rati memasuki singgasananya. Di situlah ia membiarkan pikirannya melayang-layang pada masa lalu. Ia rindu dengan keluarga kecilnya, termasuk Gio. Teringin ia berjumpa anak itu. Namun tak tahu harus bagaimana. Sudahlah, biar waktu yang menjawab semua.