Kontrakan Juntar menjadi tujuan Gio untuk bersinggah. Tepat pukul 18.00, Gio tiba di sana.
Thok...
Thok...
Thok...
"Bapak."
Thok...
Thok...
Thok...
"Bapak," teriak Gio menatap pintu datar di hadapannya. "Pak... Bapak!"
Telah beberapa kali ia mengetuk pintu, namun tak kunjung terbuka. Mungkinkah Juntar tak ada di rumah? Lalu, kemanakah dia?
Gio menempelkan lengan kanan di dahi yang lantas ia sandarkan pada benda penutup rumah itu. "Bapak ke mana ya?" tanya Gio dalam hati. Cowok itu beralih menempati kursi kosong di sampingnya.
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
Gio tetap berada di tempat dan posisi yang sama. Lelah sudah ia menunggu Juntar yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Gio memejamkan mata lantara sedikit mengantuk.
Suara derap langkah kaki memasuki gendang telinganya yang merangsang dirinya untuk membuka mata. Netranya menangkap pria yang mengenakan celana jeans, kaos hitam dengan kalung silver dan bertopi. "Itu Bapak," batin Gio menatap Juntar berjalan menunduk ke depan pintu. "Bapak!" panggil Gio.
Yang dipanggil pun menoleh. Menatap datar putra semata wayangnya. "Mau apa kamu?" tanya Juntar.
"Malam ini aku mau nginep di sini dulu, boleh kan Pak?" Gio beranjak dari kursi.
"Aaaaaaiiiiihhhh... Punya anak satu nyusahin mulu'. Ya udah deh... Nggak papa!" jawab Juntar sembari mengeluh. Tangannya sibuk memutar kunci pintu. Gio hanya bungkam mendengarnya.
Dua insan itu masuk usai benda persegi panjang itu terbuka. "Malam ini aku tidur di ruangan mana Pak?" tanya Gio.
"Terserah kamu, mau di dapur, di kamar mandi, di belakang rumah atau dimanapun itu tidak masalah asalkan jangan tidur denganku!" jawab Juntar dengan tegas. Teringin Gio bertanya alasan Juntar menjawab itu. Namun, ia takut jika Juntar membangkitkan emosinya.
"Hem... Iya Pak!" Gio meletakkan tas di salah satu kursi tamu. Rasa penasaran tentang isi kontrakan ini menuai keinginan Gio untuk berkeliling. Dapur menjadi tempat tujuan pertamanya sebab netranya sempat menangkap Juntar ke ruangan itu.
Gio mendapati Juntar tengah makan sembari duduk di kursi dengan kaki kanan yang terangkat ke meja makan. Tidak pantas ditiru!!!!! Gio menggeleng-geleng.
"Makan apa Pak?" tanya Gio mendekati Bapak kandungnya itu.
"Lihat sendiri nih, aku lagi makan apa! Banyak tanya pula!" jawab Juntar menusuk hati Gio. Segitu tingginya nada bicara Juntar terhadap anak kandungnya sendiri.
"Heeemmmm..." jawab Gio menatap piring berisi nasi, ayam bakar dengan sambal tomat dan potongan kubis mentah. "Enak banget Pak!"
"Kalau mau beli sendiri di luar gang sini! Aku kasih uang sekarang!" Juntar mengunyah makanannya itu.
"Wah... Boleh deh Pak!" jawab Gio spontan tersenyum lebar.
"Uangnya ambil sendiri di kamarku! Di sana ada banyak, terserah kamu mau ambil berapapun yang penting jangan dihabiskan!" jelas Juntar.
"Waahh.. Beneran nih, Pak? Tumben baik banget!" tanya Gio meyakinkan.
"Beneran lah. Aku lagi dapat rezeki nomplok dari hasil judi tadi!" jawab Juntar merobek daging ayam yang lantas ia masukkan ke mulut. Gio sontak terkejut dengan jawaban pria itu.
"Owh ya sudah, tidak jadi deh, Pak!" Lebih baik Gio kelaparan daripada makan dengan uang haram. Gio melanjutkan perjalanannya melalui toilet dan kembali ke depan kamar Juntar. Barulah ia membaringkan tubuhnya di sofa dekatnya. Perlahan namun pasti, Gio memejamkan matanya.
Detik waktu terus berjalan. Juntar yang sedari tadi asik menikmati makanan, kini telah usai. Ia pun kembali ke ruang depan. Netranya menangkap keberadaan Gio yang tertidur di sofa. "Iishhh... Ishhh... Ishhh... Jam segini udah tidur!" cibir Juntar kemudian mengguncang tubuh Gio. "Bangun... Bangun... Mau jadi laki macan apa kau? Jam segini udah tidur?" Dengan mata sayu, Gio mengubah posisi duduk.
"Kenapa Pak?" tanya Gio datar.
"Lihat jam itu!" pinta Juntar dituruti Gio. Diliriknya jam dinding yang menunjuk pukul 23.40.
"Udah hampir jam dua belas Pak. Aku ngantuk!" ungkap Gio kembali berbaring. Cowok itu tak terbiasa tidur jam segini. Ia terbiasa tidur pukul 21.30. Dan ini telah pukul 23.40, Gio tak kuat jika harus tidur lebih lama lagi. Mengingat anak sekolah dilarang begadang.
"Hey.. Bangun.. Bangun." Gio menuruti perintah Juntar tersebut. "Anak cowok tidak pantas tidur jam segini! Mendhing ikut aku aja!" ajak Juntar.
"Ke mana?"
"Ke dugem sekarang, ayo! Kita bersenang-senang dengan cewek-cewek cantik!" ajak Juntar menuai beberapa gelengan keras dari Gio. Pria itu ingin sesekali menghabiskan waktu dengan putra kandungnya sambil berpesta.
"Aku mau tidur aja Pak!" tolak Gio.
"Aaiihh.. Dasar anak lemah!" cibir Juntar lantas keluar rumah.
Cklek...
Pintu rumah kembali tertutup. Hati Gio merasa tenang seketika. Ia dapat tidur dengan tenang tanpa ada Juntar. Bapak kandung yang mengajarinya sesat. Beruntung, iman Gio kuat. Mengingat Rati tak pernah mengenalkan ataupun mengajarinya hal-hal seperti itu dan ia tahu bahwa itu dosa besar. Sehingga tak ayal bila Gio menolak mentah-mentah.
*****
Gio bangun tidur pukul 05.05. Cowok itu segera membersihkan diri. Jatuhnya air usai ia guyurkan ke badan menuai suara keras khas orang mandi yang memasuki gendang telinga Juntar berkali-kali. Pria yang semula tidur pulas itu, harus terbangun lantaran terusik dengan kerasnya suara percikan air yang jatuh berkali-kali. "Ini apa sih? Berisik banget.... Hraaaahhh!" teriaknya lalu kembali tidur. Juntar tak kuasa menahan rasa kantuknya. Gio yang mendengar teriakan itu pun sontak meghentikan kegiatannya meski tubuhnya belum puas menerima segarnya air. Galak sekali Bapaknya. Meski begitu, Gio tetap memakluminya lantaran telah terbiasa. Sejak pria itu masih hidup bersamanya dan Rati, dia sangat mudah terpancing emosi dengan ucapan-ucapan Rati yang kurang mengenakkan hati. Hal itu tak ayal membuatnya marah-marah setiap hari. Tak peduli dengan Gio yang masih kecil, Juntar tetap mementingkan luapan emosi. Ia kerap membanting barang-barang di rumah Rati kala kemarahan memuncak. Gio pun kerap melihatnya. Sehingga kini, ia tak heran lagi dengan sikap Juntar.
Gio keluar dari kamar mandi dengan seragam yang rapi. Cowok itu lekas menyisir rambutnya lalu berjalan ke kamar Juntar. "Pak aku pamit berangkat sekolah dulu!" pamit Gio menatap Juntar yang matanya terpejam rapat. Pria itu tetap setia di alam mimpinya sehingga tiadalah berniat untuk menjawab. Gio pun segera keluar. Hari ini, ia berangkat satu jam lebih awal dari biasanya lantaran mengingat jarak sekolahan dengan rumah Juntar yang sangat jauh dan harus berjalan. Gio tidak menaiki kendaraan umum lantaran menghemat uangnya.
Biarlah Gio nekat berjalan satu jam untuk dapat tiba di SMP 02 Pancasila.
Setiba di sana, Gio bergegas sarapan di kantin. Sebuah pemandangan menyakitkan memasuki netranya. Ia mendapati teman sebangkunya tengah menyuapi sang kekasih. Ya, Kenzie dan Mita. Sepasang kekasih itu tengah sarapan bersama dengan seporsi nasi mawut. Awalnya, Mita menolak untuk sarapan. Namun, Kenzie terus merengek hingga gadis itu terpaksa menurutinya. Beruntung, Kenzie pun mau menyuapinya.
Gio dengki mendapati keromantisan mereka. Teringin ia menarik Mita dari sana agar dapat kembali berdua. Namun, tidak bisa. Sebut saja masa kebersamaannya dengan Mita telah habis sehingga tidak dapat terulang kembali.
*****
Beberapa jam kemudian, bel istirahat berbunyi nyaring. Gio yang tak ingin lama duduk di samping Kenzie pun keluar lebih dulu daripada cowok itu. Koridor sekolah Gio lalui guna menuju tempat sepi. Sebab ia ingin menyendiri.
"Ekhem..." Belum sampai di tempat tujuan, Gio telah menghentikan langkah lantaran deheman dari seorang gadis yang tak lain ialah kekasihnya.
Gio menoleh dan mendapati Lica dengan kedua sahabatnya. "Sayang... Kamu mau ke mana?" tanya Lica mengalungkan lengan di bahu Gio sembari menatap cowok itu. Yang ditatap pun hanya diam lantaran sangat malas berkomunikasi dengan Lica yang telah membuatnya terusir dari rumah. Gio tak mengingat yang dulu. Yang ia ingat hanyalah saat Lica dan Mina mendatangi rumahnya untuk mengadu pada Rati hingga membuatnya terusir dari rumah. "Sayang. Kamu marah sama aku? Aku minta maat ya, gara-gara aku pasti kamu dimarahin sama Ibu kamu. Aku minta maaf, ya sayang!" Lica mengerucutkan bibir guna berpura-pura merasa bersalah. Padahal, tidak. Justru ia lega dapat mengadukan sikap buruk Gio pada Rati. Hal itu ia lakukan hanya demi satu tujuan. Yakni, kebaikan hubungannya dengan Gio.
Gio tetap bungkam. Sikap dinginnya pada cewek kembali hadir. Tidaklah ia peduli dengan Lica yang telah mengeluarkan banyak kata untuk bisa berbicara dengannya. Gio tetap pada pendiriannya. Ia tetap diam lalu menjauhkan tubuh dari gadis yang tak dicintainya itu. Setelahnya, Gio pergi tanpa kata. Lica memasang ekspresi kecewanya. Ya, ia kecewa dengan Gio yang tak merespon ucapannya sedikitpun. Pacar macam apa dia? Sampai sini, Lica mengetahui bahwa berpacaran dengan cowok dingin tidaklah mudah. Harus memiliki hati yang lapang untuk menghadapi sikapnya. "Kamu lagi ada masalah sama pacar kamu?" tanya Sanci yang kembali didekati Lica.
"Iya."
"Masalah apa tuh?" tanya Kesya berdiri di sampingnya.
"Nggak papa... Cuma masalah kecil aja! Nanti juga baikan lagi!" alibi Lica lantas mengajak kedua sahabatnya pergi.
Taman sekolah menjadi tujuan Gio untuk menenangkan diri. Rerumputan hijau menjadi tempatnya bersandar. Tubuh Gio berbaring di atasnya dengan pandangan lurus pada indahnya langit biru. Tiada peduli dengan seragamnya yang tertempel banyak debu. Yang terpenting pikirannya dapat tenang. "Kenapa semuanya jadi begini ya? Aku udah berjauhan sama sahabat sejatiku, Ibu sudah mengusir aku, walaupun aku bisa tinggal di rumah Bapak. Tapi kan... Bapak mudah emosi, aku takut!" batin Lio beberapa kali mengerjapkan matanya. Lantas, siapa dalang dari semua itu? Lica dan Mina? Apakah mereka membantu keluarga Gio hanya untuk mewujudkan keinginannya? Ya, awalnya Lica memang jatuh cinta dengan Gio. Gadis itu sangat ingin memiliki hatinya. Berbagai cara dilakukannya untuk dapat meraih hati cowok itu. Termasuk dengan membantu keluarganya. Gio sempat luluh dengan sikap Lica dan Mina. Meski tak jatuh cinta, setidaknya Gio telah menjalin hubungan baik dengan Lica. Seiring berjalannya waktu, dua wanita yang dekat dengan Rati itu kerap membicarakan keburukan Gio pada Lica hingga membuat Rati kecewa. Dengan sampai hati, ia mengusir anak kandungnya sendiri. Dari situ, terselip juga kekecewaan di hati Gio. Ia kecewa dengan Lica dan Mina yang menjadi faktor kekecewaan Rati hingga tak peduli lagi dengan Gio. Cowok itu tidak merasa benar. Melainkan juga merasa bersalah.
Di taman yang sunyi itu, Gio mengevaluasi diri selama menjalin hubungan dengan Lica. Ya, ia sadar bahwa dirinya tak pernah memberi perhatian untuk cewek itu. Ia tahu bahwa Lica pun kecewa dengan sikapnya. Namun, sampai segitunya ia membuat Gio kehilangan semuanya. Terselip sedikit kebencian Gio untuk Lica. Namun, ia juga ingat kebaikan cewek itu. Intinya, pandangan Gio pada Lica dan Mina sangatlah beragam. Ada kebencian dan kebaikan. Gio bingung jika harus memandang salah satunya. Sebab tak sepenuhnya ia benci dan dua perempuan itu pun tak sepenuhnya baik.
*****
Jarum jam terus berputar. Tak terasa kini telah menunjuk pukul 15.32 . Gio yang lama melangkahkan kaki, kini telah berhenti di kontrakan Juntar yang tengah tidur pulas di kamarnya. Gio hanya menggeleng menatapnya. Cowok itu segera membersihkan diri mengingat ia harus segera berangkat kerja dengan Arga.
"Pak... Aku pergi dulu ya Pak, terima kasih audah mengizinkanku menginap di sini!" pamit Gio berdiri di hadapan Juntar yang membalas dengan dengkuran.
Gio keluar kamar lalu meraih tas besarnya. Ia keluar dari bangunan itu, tak hanya untuk bekerja. Melainkan juga ingin hidup sendiri. Tak peduli dengan Juntar yang tak menjawab pamitannya tadi. Sebab pria itu pun tak akan mencarinya ke manapun ia pergi.
15 menit kemudian, Gio tiba di tempat tujuan. Ia mendapati Arga yang mulai menyiapkan dagangannya. "Selamat sore Mas Arga. Maaf nih, saya terlambat!" ucap Gio.
"Sore juga. Aku tau kamu jalan kaki, jadi tidak masalah kalau terlambat!" jawab Arga.
"Apa yang harus aku bantu Mas?" tanya Gio telah siap bekerja.
"Kamu pindahkan makanan-makanan yang ada di wadah itu ini ke meja!" jawab Arga menunjuk box di belakangnya. Gio pun segera melaksanakannya.
Di angkringan itu menyajikan beberapa makanan seperti, daging ayam bakar, nasi goreng, tempe dan tahu goreng, bakwan dan lain-lain disertai beberapa minuman seperti kopi, teh, susu, dan es dengan berbagai rasa. Semua itu telah dipindahkan Gio dan Arga ke meja.
Dengan senang hati, dua insan itu melayani setiap pembeli yang datang.
"Mas, kalau boleh tau angkringan itu apa ya?" tanya Gio.
"Angkringan itu semacam warung kecil di malam hari yang menjual makanan dan minuman. Biasanya banyak di tepian jalan raya seperti ini!" jawab Arga diangguki Gio. Dua insan itu menyempatkan diri untuk mengobrol di hadapan beberapa pembeli yang tengah makan di sana.
"Mas, aku mau tanya lagi boleh?"
"Apa?" Arga bertanya balik.
"Mas Arga tau kontrakan atau kos-kosan yang bisa aku tempati?
"Memangnya rumah kamu di mana? Tinggal sama siapa?" Arga terus bertanya guna mengobari rasa penasarannya.
"Rumah aku jauh Mas, awalnya aku tinggal berdua dengan Ibuku. Dan sekarang, aku sudah di usir dari rumah!" jawab Gio menundukkan pandangan.
"Mengapa itu bisa terjadi?"
"Ceritanya panjang Mas!" jawab Gio.
"Ya sudah... Kamu tinggal sama saya aja. Rumah saya tidak jauh dari sini dan kebetulan saya tinggal sendiri!" jawab Arga mengukir senyum di bibir Gio.
"Terima kasih banyak Mas Arga." Gio teesenyum menampakkan gigi bersihnya.
"Sama-sama."