Kursi tunggu di luar IGD menjadi sandaran Mina yang kini meneteskan air mata. Mengingat bercak darah yang tersebar di lantai dan pakaian Lica, membuatnya tak kuasa menahan air mata. Tiada disangka, Lica yang ia ketahui hanya bersantai di kamar, ternyata mendapatkan insiden yang belum diketahuinya.
Mina bangkit dari duduk kala dokter pria keluar dari IGD. "Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Mina membiarkan sisa air mata di pipi. Jantungnya telah berdetak sangat cepat sedari tadi lantaran cemas dengan kondisi sang putri.
"Pendarahan pasien telah berhasil kami hentikan. Karena anda terlambat membawa pasien ke sini sehingga darahnya telah banyak yang keluar. Hal itu membuat pasien kekurangan banyak darah sehingga mengalami koma dan membutuhkan donor darah secepatnya!" jelas pria dengan jas putih itu.
Mina mengusap sisa air mata. "Biar saya yang menjadi pendonornya!"
"Baiklah. Mari ikut saya untuk melakukan pemeriksaan golongan darah.
*****
3 kantong darah dari tubuh Mina telah berada di ruang IGD yang masih ditempati Lica. Dokter pria yang bertubuh tinggi tengah sibuk menyiapkan peralatan transfusi darah untuk pasien tersebut.
Tak berselang lama jarum kecil telah terpasang di pembuluh darah Lica melalui lengan kanan. Darah yang telah disiapkan, dialirkan ke tubuh Lica melalui selang infus yang terpasang di sana. Dokter dan beberapa perawat di ruang itu tampak serius memantau kondisinya dengan memeriksa tekanan darah, denyut nadi dan beberapa tanda vital lain untuk memastikan bahwa transfusi darah berjalan dengan baik tanpa ada reaksi yang tidak diinginkan.
Seusainya, jarum kecil yang sedari tadi terpasang di pembuluh darah Lica telah tercabut beserta selang infusnya. Para perawat pun mulai membereskan peralatan-peralatan yang telah mereka gunakan. Selanjutnya, Lica dipindahkan ke ruang rawat inap nomor 12E.
Mina yang mengetahui hal itu sontak melihatnya. Dibukanya pintu kamar 12E yang menampilkan dinding putih, nakas dan brankar yang ditempat Lica. Gadis tu terbaring lemah lantaran belum sadar dari koma. Nasal cannula yang terpasang di hidung semakin menyesakkan hati Mina kala menatapnya. Tiada menyangka, putri semata wayangnya dapat mengalami kondisi terparah di sepanjang usianya sekarang. Tatapan yang tak kunjung beralih membuat mata Mina berkaca-kaca. Air mata yang semula tersimpan di kantung lakrimal pun keluar. "Lica... Kenapa kamu bisa begini, Nak?" Mina memeluk erat Lica, meluapkan kesedihannya akan kondisi sang putri. Hanya Lica insan penguat yang Mina miliki. Jika dia sakit, Mina pun rapuh. Kekuatan yang selalu berdiri kokoh seolah tumbang begitu saja. Mengingat kondisi lemah Lica, Mina hanya bisa menangis tanpa bersemangat menjalani hari.
"Lica... Ayo bangun nak.. Mama kesepian tanpa kamu, Lica. Ayolah! Hiks.. Hiks.. Hiks.. Hiks!" Air mata yang tumpah di brankar tak mampu merangsang Lica untuk bangun dari alam bawah sadarnya. Meski Mina telah menangis, namun, tak ada tanda yang menunjukkan kesadaran Lica.
๐น๐น๐น
Di siang harinya, Gio merasa tenang dan aman lantaran mengetahui Lica tak masuk sekolah hari ini. Cowok itu tampak santai berjalan melalui koridor. Perpustakaan menjadi tempat tujuannya. Mengingat Mita yang kini senang pergi tempat itu tak ayal membuatnya ingin ke sana. Terselip harapan di benaknya untuk dapat bertemu gadis itu.
Pintu perpustakaan yang terbuka lebar menampilkan buku-buku yang tertata rapi di rak. Beberapa siswa-siswi pun sibuk membaca. Gio mengedarkan pandangan pada deretan siswa-siswi itu. Dua remaja lawan jenis yang duduk bersama di bangku paling ujung menjadi pusat atensinya. Gio memicingkan mata tanpa lanjut berjalan. Mereka bukanlah orang asing di matanya.
Tampak seorang cowok yang sangat sabar menemani cewek yang asik membaca di sampingnya. Tangan Gio mengepal dengan tatapan tajam pada mereka. Mengingat harapannya untuk dapat mengobrol dengan Mita telah pupus lantaran keberadaan Kenzie di samping gadis itu.
Teringin Gio meinju cowok itu, namun larangan bising di perpustakaan membuatnya memilih pergi.
Tanpa disadari, punggung Gio yang menjauh dari tempat itu, ditatap jelas oleh Kenzie. Namun, ia tidaklah percaya bahwa itu Gio.
Sementara Mita masih sibuk mengamati deretan huruf yang memasuki otaknya. Kenzie beralih menatapnya. "Nggak capek?" tanya Kenzie yang sesungguhnya jenuh berada di sana. Namun, tiada berani untuk mengungkapkan.
Mita menggeleng sebagai jawaban. "Cewek ini menjadi sangat dingin ketika membaca, tapi dia tetap cantik!" batin Kenzie.
"Aku pergi dulu, oke!" Kenzie beranjak dari duduk. Mita spontan menatapnya tajam dengan buku yang masih terbuka tangannya.
"Nggak!" cegahnya. Kenzie menampakkan gigi ratanya.
"Ixixixixixixi... Kenapa? Kamu nggak berani di sini tanpa aku?" Kenzie bertanya penuh percaya diri.
"Nggak... Pokoknya nggak mau!" Mita mengerucutkan bibir. "Cepetan duduk!" pinta Mita menarik tangan Kenzie.
"Em... Iya cantik!" jawab Kenzie kembali duduk. Jujur, ia bosan di perpustakaan. Namun, karena permintaan Mita, ia pun menurutinya.
Sepasang mata Mita berbinar seketika. "Waaahhh... Aku cantik, ya? Euumm.. Terima kasih!" ucap Mita.
"Ekhem... Mas.. Mbak, jangan berisik!" Kini penjaga perpustakaan yang bersuara.
"Eh... Iya maaf Pak!" jawab Mita sontak melempar tatapan sinis pada Kenzie. "Ish.. Gara-gara kamu sih!" ucap Mita pelan.
"Aku pula yang disalahkan!" Kenzie mengusap wajahnya gusar. Beruntung, ia paham dengan sikap cewek yang maha benar. Sehingga dapatlah Kenzie memaklumi agar turun emosi.
"Emang kamu yang salah!" jawab Mita kembali fokus pada benda di tangannya itu.
"Cie... Marah nih?" sindir Kenzie bersuara pelan.
"Bodoh amat!" jawab Mita memutar bola mata. Dua remaja itu menjaga ketenangan perpustakaan dengan tetap bersuara pelan.
"Ya sudah. Kalau marah aku tinggal dulu!" Kenzie berdiri seketika. Ucapan yang keluar itu hanyalah untuk meledek Mita.
Mita sontak melotot padanya. "Huusssttt.. Jangan! Aku nggak marah. Duduklah kembali!" jawab Mita. Puaslah Kenzie dapat mengganggu gadis cantik itu.
"Aku udah jenuh di sini!" ungkap Kenzie menuai helaan napas dari Mita.
"Ya sudah, ayo pergi!" Meski Mita tak ingin pergi dari perpustakaan. Namun mendengar ungkapan jenuh Kenzie tadi membuatnya pergi dari sana. Tentu, bersama cowok itu.
Sepasang mata sangat jeli menatap kebersamaan mereka yang menjauh dari perpustakaan. Kedua tangannya mengepal dengan emosi yang memuncak. Dinding hijau muda menjadi tempat mendarat untuk kepalan tangannya. "Aaarrrgghhhhh... Hancur!"
Beruntung, teriakan dan keberadaannya tidak diketahui oleh Mita ataupun Kenzie. Dua remaja itu masih asik bersenda gurau sembari jalan berdampingan. "Aku lapar, kita ke kantin yok!" ajak Kenzie mengusap perut datarnya yang tertutup seragam.
"Ayo. Aku juga lapar ini!" jawab Mita.
Tak butuh waktu lama, Kenzie dan Mita telah duduk berhadapan di kursi kantin. Kursi di tengahnya menjadi tempat sandaran tangan yang bersatu dengan Kenzie. Ya, mereka tengah berpegangan tangan sembari menunggu makanan yang telah dipesannya.
"Permisi, dek, ini pesanan kalian!"
"Oh iya, Terima kasih Bu!" ucap Mita sembari menerima semangkok seblak diikuti Kenzie yang melakukan hal sama. Awalnya, Kenzie tidak ingin memesan seblak. Seiring dengan Mita yang merayunya untuk memesan makanan yang sama membuat Kenzie luluh dan menuruti keinginan cewek itu.
Mita mulai memasukkan mie ke mulut sedangkan Kenzie masih terdiam malas menatap seblaknya. Terasa berat untuknya memakan makanan itu, sebab terlihat jijik di matanya. Mita yang mendapati itu pun tak tinggal diam. "Kenapa diam aja? Makanlah!"
"Em... Malas... Kayaknya nggak enak!" jawab Kenzie mengerucutkan bibir.
Tak terima makanan pilihannya dibilang tidak enak, Mita sontak melotot. "Enak sekali kau bilang makanan pilihanku nggak enak! Sini aku suapin!" gerutu Mita menarik mangkok Kenzie yang lantas ia sendok isinya sebelum dimasukkan ke mulut Kenzie. Cowok itu sempat tersenyum sebelum menerima sesendok mie dari Mita.
Rahang Kenzie bergerak mengikuti gigi yang berperang dengan makanan di dalamnya. "Bagaimana? Enak?" tanya Mita.
"Enak banget kalau kamu suapin!" jawab Kenzie menarik turunkan alisnya.
"Alah... Bilang aja minta disuapin!" Mita memutar bola mata.
"Iya... Hehehehehe!" Kenzie tertawa kecil. Dengan terpksa, Mita makan seblak sembari menyuapi Kenzie. Disela itu, Kenzie tetap tersenyum senang menatap wajah kesal Mita yang tampak sangat cantik di matanya. Hal itu mereka lakukan hingga dua mangkok seblak di hadapannya habis.
"Puas kamu?" tanya Mita masih dengan tatapan marahnya mengingat tingkah laku Kenzie yang seperti anak kecil itu.
"Ehehehehe.. Puas banget, terima kasih!" jawab Kenzie bahagia di atas kekesalan Mita. Cowok itu suka memancing emosi Mita yang menjadi penambah moodboosternya. Sebab wajah Mita tampak sangat menggemaskan kala itu.
"Dahlah... Tidak usah banyak bicara lagi, ayo kita bayar!" Kenzie menuruti ucapan Mita.
Beberapa jam kemudian, SMP 02 Pancasila telah sunyi. Sebab para siswa-siswi dan guru telah pulang ke tempat masing-masing. Seperti Gio yang kini telah memakai pakaian rumahnya. Cowok itu berniat keluar guna melakukan sesuatu. Ditujunya sebuah pasar yang tak jauh dari rumah. Hanya dengan berjalan, Gio dapat tiba di sana. Netranya menangkap beberapa orang tua tengah sibuk membawa barang-barang milik pembeli yang lantas memberi uang setelahnya. "Kalau aku seperti itu, pasti bisa dapat uang!" batin Gio. Ya, cowok itu berniat mencari pekerjaan. Itulah sebabnya ia pergi ke pasar itu. Lantas, apa tujuan bekerja? Biarlah waktu yang menjawab semua.
Pandangan Gio beredar pada deretan para insan yang keluar masuk. Seorang wanita yang berdiri kebingungan dengan banyaknya barang bawaan menuai perhatian Gio. "Permisi Bu, bisakah saya bantu?" tanya Gio.
"Wahh.. Iya Mas, kebetulan ini saya kesusahan membawa barang-barang saya!" jawabnya. Dengan strategi yang benar, Gio dapat membawa banyak barang milik wanita itu hingga ke tempat tujuan. Selembar uang warna ungu menjadi akhir pertemuan Gio dengannya. "Terima kasih Bu!" ucap Gio tersenyum sumringah. "Ternyata benar, kayak gini bisa dapat uang! Apa aku kerja begini aja ya?" batin Lio memasukkan uang itu di saku celana.
Ia kembali pada pintu pasar yang menjadi tempat orang berlalu lalang. Melihat banyaknya kuli panggul yang menjadi saingannya membuat ia tak berguna. Gio masuk ke pasar guna mencari orang yang membutuhkan bantuannya.
****
Cahaya matahari terpancar indah dari barat. Seolah mengisyaratkan para insan untuk mengakhiri pekerjaannya. Sebab senja telah tiba. Gio pun tak mengabaikannya. Ia keluar dari area pasar dan lekas pulang.
Kamar menjadi tempat tujuannya usai membersihkan diri. Dibukanya tas hitam yang berisi uang hasil kerjanya hari ini. Mengingat pintu kamar yang telah dikunci, Gio tampak percaya diri menjumlahkan lembaran-lembaran uang di hadapannya.
"Total semuanya 200 ribu... Kalau aku dapat segini setiap hari sih, lumayan banget ditabung!" ucap Lio dalam hati. Ia memasukkan seluruh lembar uang ke celengan. "Semoga Ibu tidak tau!" batin Gio lantas mengusap wajahnya. Cowok itu keluar kamar. Keberadaan Rati tak kunjung ia temukan. Bola matanya bergeser guna menatap jam dinding yang menunjuk pukul 17.32. Bayang-bayang Rati yang memasuki otak Gio menuai kecemasan. Ia tahu bahwa sang Ibu berjualan gorengan sejak pagi. Namun, tidaklah biasa dia belum tiba di rumah hingga jam segini.
Tak ingin larut dalam kecemasan, Gio kembali keluar rumah guna ke warung yang menjadi tempatnya berdagang.
Tidak sampai 5 menit, Gio dapat tiba di tempat tujuan. Netranya menangkap lima wanita tengah duduk di bangku antrian. Pantas jika Rati belum pulang. Sebab masih ada pembeli yang mengantri. "Assalamu'alaikum." Gio memasuki warung lalu berjalan ke ruang pembuat pesanan. Netranya menangkap Rati tengah mengemas beberapa macam gorengan sembari memperhatikan gorengan yang masih di wajan.
"Kenapa Ibu jam segini belum tutup?" tanya Gio.
"Tadinya Ibu mau tutup tapi ibu-ibu itu memaksa untuk dilayani, jadi, Ibu buat adonan lagi untuk gorengan mereka!" jawab Rati.
"Owh!" Gio mengangguk-angguk.
Selang beberapa menit, Rati memberi gorengan untuk para pembeli yang lantas memberinya uang sesuai harga yang telah ditentukan. Seusainya, Gio membantu Rati membersihkan warung yang kemudian ditutup. Mendengar adzan maghrib yang berkumandang, dua insan itu pun berjalan pulang.
Gio segera mengambil wudhu saat tiba di rumah. Cowok itu hendak melaksanakan shalat maghrib. Rati melakukan hal yang sama usai ia membersihkan diri.
๐น๐น๐น
"Lica..... Bangun Nak! Kenapa kamu belum bangun juga? Ibu kangen sama kamu, Ca! Ayolah.. Ibu butuh kamu. Hanya kamu yang Ibu punya, hanya kamu penyemangat Ibu Nak. Bangunlah! Hihihihihihihi," isak Mina memeluk Lica yang tak kunjung sadarkan diri. Hari Mina terasa sunyi tanpa Lica. Sebab hanya gadis itulah yang selalu mengukir senyum di bibir Mina. Hanya gadis itulah yang selalu memperbaiki suasana hati Mina. Tidak seperti sekarang. Ia yang belum sadarkan diri tentu saja menciptakan suasana sedih di hati Mina. Tiada hal yang dapat membuat suasana senang, kecuali kesadaran Lica dari koma. Itulah yang sekarang menjadi harapan Mina.
Meski baru sehari, Lica koma. Namun, Mina telah merasa sunyi. Bayang-bayang keceriaan Lica kembali terputar di benaknya. Mina merindukan hal itu. Suara, senyuman, curhatan, hingga kemarahan Lica sangat dirindukan Mina. Sebab tidaklah pernah ia berpisah ataupun tak berkomunikasi dengan Lica seharipun. Barulah kini Mina merasakan tiada komunikasi dengan sang putri. Pantas, jika dirinya merasa sunyi. Mengingat penyamangatnya yang tak sadarkan diri. Selain kesedihan, Mina juga merasakan kekurangan dana. Mengingat banyaknya para pembeli barang online-nya harus dibatalkan lantaran Mina tak sempat mengurus hal itu. Sehari ini, Mina tak dapat penghasilan. Tak seperti biasa yang selalu mendapat uang setiap hari hingga membuatnya senang hati.
Bagaimanapun keadaannya, Lica tetap yang utama. Itulah prinsip Mina. Ia tetap ikhlas tidak bekerja sehari demi menjaga sang putri.