"S-s-s-saya tidak ingin orang lain tahu tentang masalah yang saya alami, termasuk orang tua saya! Makanya saya tidak ingin bercerita ke mereka dan memilih memendam masalah saya sendiri!" Mita mengikis keraguan untuk menjawab.
Yeslau mengangguk-angguk sembari menggerakkan pena di kertas. "Mengapa adik begitu?"
"Saya menduga kalau saya bercerita masalah ini ke orang tua saya, mungkin masalahnya akan bertambah besar!" jawab Mita.
"Adik ceritakan masalah adik ke saya. Janganlah adik takut sebab saya tidaklah akan menceritakan masalah adik ke siapapun, termasuk orang tua adik, saya berjanji!" Mita menuruti permintaan Yeslau. Ia menceritakan asal mula kegundahan hatinya hingga terjadi masalah yang kini tak kunjung usai.
"Oke. Jadi awal mula permasalahan adik ada ketika Ibu dari sahabat adik, Ibu Rati tidak menerima kehadiran adik karena katanya mantan sahabat adik sudah memiliki kekasih dan adik tidak boleh mengganggunya. Hal itu terjadi karena pandangan positif Ibu Rati pada cewek yang dimaksud kekasih dari mantan sahabat adik itu sangat kuat. Karena kekuatan itu, dia sangat berat untuk menerima orang baru, termasuk adik. Lagipula, Ibu Rati belum mengetahui sifat adik yang sebenarnya. Dia masih memandang hal negatif adik yang mengganggu anaknya, begitulah pandangannya. Masalah Ibu itu adik tidak perlu risau, jangan adik pikirkan terlalu dalam karena itu akan memengaruhi kesehatan mental adik, seperti kerinduan adik pada sahabat adik. Biarkan Ibu itu berasumsi apapun tentang adik, adik cukup menunjukkan sifat adik yang positif saja. Kurun waktu dia akan luluh. Jika sahabat adik sudah memiliki kekasih, adik harus bisa melupakan dia. Jika mengingat kenangan dengan seseorang itu wajar, tapi jangan terlalu dalam adik mengingatnya sebab itu akan membuat ketenangan adik terusik. Jadi adik harus bisa move on ya. Ada beberapa cara untuk move on, yang pertama fokus merawat diri, adik jangan fokus mencari informasi tentang hubungan mantan sahabat adik dengan pacarnya, tetapi adik harus fokus pada diri adik sendiri. Yang kedua, jangan mengisolasi diri. Artinya adik tidak boleh suka menyendiri, kalau bisa banyaklah mengobrol dengan keluarga ataupun temano adik. Yang ke tiga sadar bahwa move on butuh waktu, adik tidak boleh terobsesi untuk move on. Tetapi, adik jalani saja prosesnya dengan mencari hiburan, banyak mengobrol dan hal menyenangkan lainnya. Yang ke empat, adik harus membatasi kontak dengan mantan sahabat adik yang bikin adik sakit. Jadi, usahakan untuk tidak banyak memandangnya. Oke?" jelas Yeslau sangat menenangkan Mita yang langsung mengangguk-angguk. Yeslau melirik jam tangan yang menunjuk pukul 16.00. Sudah saatnya ia kembali ke rumah. Yeslau membereskan ruangan itu dibantu beberapa karyawan lalu kembali ke rumah dengan Mita.
Yeslau mendapati Lani dan Miko yang masih menempati sofa tamu meski dengan wajah lelah. "Kalian pasti nunggu lama banget, ya! Hehehe.. Maaf ya, tadi banyak pasien yang bercerita sangat panjang, dan Mita mendapat nomor urut terakhir sehingga ia harus menunggu lama!" ucap Yaslau mendudukkan diri di sofa.
"Emmmhhh... Ya udah deh, nggak papa!" jawab Lani mengantuk. Wanita itu berdiri lalu berpamitan pada Yeslau disertai amplop uang untuk Yeslau.
"Hati-hati dijalan, iya!" ucap Yeslau mengantar keluarga Namiki ke gerbang.
"Iya Yes... Sampai jumpa!" respon Lani mewakili suami dan sang putri. Yeslau melambaikan tangan dengan senyuman. Lani, Miko dan Mita telah memasuki mobil hitamnya yang lantas melaju untuk pulang. Di jalan raya yang panjang, Mita menatap kaca jendela yang menampakkan kondisi luar. Jarak rumahnya dengan rumah Yeslau yang cukup jauh, memberi kesempatan ia untuk memikirkan sesuatu yang panjang. Sembari menatap gedung-gedung tinggi dan bangunan-bangunan kecil yang dilalui mobilnya, Mita memikirkan ucapan Yeslau tadi. Ucapan Yeslau benar, ia harus bisa melupakan Gio. Ia tidak boleh larut dalam kenangan masa lalu. Sadar, ia dilarang egois. Dilarang memaksan diri untuk mendapatkan Gio yang telah memiliki orang lain. Mungkin, sudah saatnya ia mencari orang baru sebagai penggantinya. Lantas, siapakah yang akan menjadi pengganti Gio?
🌹🌹🌹
Bagaimanapun bentuknya, kenyamanan tetap ada di singgasana. Begitulah argumentasi Gio yang kini berbaring menatap langit kamar yang penuh dengan susunan genteng. Sebuah kelelahan menerpanya. Gio lelah harus bersama orang yang tidak ia cintai. Gio lelah harus berpura-pura mencintai Lica. Di malam yang sunyi itu, pikirannya melayang pada berbagai pusat guna mencari cara agar ia terbebas dari jerat keterpaksaan. Teringat ia pada perlakuan baik Lica dan Mina pada keluarganya. Yakni menyelamatkannya dan sang Ibu dari ancaman maut Juntar. Hal itu ia lakukan dengan memberi uang untuk melunasi hutang Gio pada pria itu. Berarti, Gio dapat membebaskan diri dengan uang pula. Ia harus mengumpulkan uang yang sama besar dengan pemberian Mina. Namun, bagaimana caranya? Haruskah ia bekerja? Entahlah, biar waktu yang menjawab semua.
Sama dengan Gio, Singgasana menjadi tempat pelampiasan emosi bagi seorang Lica. Gadis itu menangis sembari mengacak-acak rambutnya frustasi. Tak hanya itu, bantal dan guling yang semula tertata rapi di kasur, kini berserakan di lantai karena ulahnya. "Arrrgghhhh...."
Emosinya sangat tinggi lantaran mengingat insiden di sekolah siang tadi. Ucapan Gio yang menyakiti hatinya masih terpampang jelas di benaknya. Lica tak henti mengingat itu.
Flashback On
Suara bel sekolah berbunyi nyaring ke seluruh penjuru SMP 02 Pancasila. Dialihkannya atensi para siswa-siswi yang sedari tadi terfokus pada pelajaran. Luar kelas menjadi tempat pilihan mereka sekarang. Tak terkecuali dengan Lica yang langsung menghimpiri Gio di kelas 9D. Didapatinya sang kekasih tengah duduk terdiam di bangku. "Sayangku, ayo keluar!" ajak Lica berjalan ke arah cowok itu. Terasa sangat malas untuk Gio merespon Lica. Moodboster-nya sangat tidak baik hari ini. Ditambah, netranya tak menangkap insan tercinta hari ini. Tiadalah penyemangat untuknya. Kehadiran Lica di sana kian menurunkan moodboster-nya. "Sayangku, ayolah keluar!" Perkataan gadis itu mengusik ketenangannya.
"Hishh... Jijik banget, gue!" batin Gio melempar tatapan tajam pada Lica.
"Kenapa kamu gitu, sih, Say? Ayolah ikut aku, jangan bawel!" Gio kian tak tahan mendengar perkataan itu. Tanpa banyak bicara, ia keluar kelas diikuti Lica.
"Nah, akhirnya kamu keluar juga. Kalau begitu kan, ganteng hehehe!" Lica tersenyum dengan gigi ratanya.
"Lica... Kamu bisa nggak sih, sehari aja nggak usah usah gangguin aku?" tanya Gio.
Bibir Lica mengerucut. "Sayang, kenapa kamu tanya begitu?"
"Aku tidak suka kalau kamu gangguin aku terus setiap hari. Aku juga butuh waktu untuk sendiri!" jawab Gio dengan nada meninggi.
"Tapi kita kan udah pacaran, jadi nggak masalah kalau aku gangguin kamu terus, kamu harus terima itu buat nyenengin aku!" desak Lica. "Ayolah Sayang, aku lapar nih! Pliiss!" Lica menggenggam tangan Gio dengan ekspresi khas orang merayu.
Gio mengusap wajah gusar. "Cukup Lica. Kita memang pacaran. Tapi aku tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu! Kita pacaran karena terpaksa. Ibuku yang memaksaku untuk pacaran denganmu karena memiliki hutang dengan Ibumu. Ibuku pernah menasihatiku untuk belajar mencintaimu, tapi aku tidak bisa! Buktinya sampai sekarang pun aku tidak mencintaimu!" jelas Gio menusuk hati Lica yang sontak membeku. Berbeda dengan hati Gio yang terasa lega usai beban pikirannya keluar. Biarlah Lica mengetahui perasaan Gio padanya. Gio berusaha memberikan yang terbaik untuk Lica sebagai balas budi semata. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Gio pun lelah membohongi perasaan sendiri. Ia lelah jika harus menyenangkan Lica dengan keterpaksaan. Bibir Lica terasa berat untuk menjawab ucapan Gio tadi. Ternyata prasangkanya selama ini tidak nyata. Ia menyangka bahwa Guo mencintainya setelah mereka resmi berpacaran, ternyata tidak. Sakit, sungguh sakit perasaan Lica sekarang. Gadis itu memutar bola mata lalu pergi tanpa kata.
Lica kembali masuk kelas. Netranya menangkap dua sahabatnya yang tengah berbincang di bangku. Namun, perbincangannya terhenti kala Lica mengambil duduk di dekatnya. Pikiran Lica yang berkecamuk menghasilkan air mata ke kantong mata yang cepat terisi penuh. Hendak keluar, namun Lica tahan semaksimal mungkin. Hanya keceriaan yang ingin ia tunjukkan pada Sanci dan Kesya. Tidaklah ingin Lica bersedih di hadapan mereka. Apalagi, kesedihan akan hubungannya dengan Gio. Tidak!
Lica mengangkat paksa sudut bibirnya yang terasa berat. "Plis... Aku harus kuat, nggak boleh nangis di sini!" batin Lica. "Emmm.. Kalian tidak ingin keluar?"
Sanci dan Kesya menggeleng. "Ya sudah deh, aku mau keluar dulu.. Bye!" pamit Lica beranjak lalu pergi. Tak ada yang tahu, dua cewek di kelas 9C itu berbincang tentang kisah cintanya dengan Gio.
Toilet putri menjadi pilihannya untuk menenangkan diri. Dengan pintu yang tertutup dan cermin di atas westafel membuat Lica percaya diri untuk meluapkan isi hati. "Hei... Kamu harus sabar. Jangan lemah. Bertahanlah dengan orang yang kamu cintai meski dia tidak mencintaimu. Semoga harimu menyenangkan!" ucap Lica menatap pantulan dirinya di cermin. Ia berusaha menghentikan kekacauan pikiran. Ucapan Gio yang teramat menyakitkan tak kunjung sirna dari benaknya. Air matanya menetes seketika, mengingat Gio menjadikan hubungannya untuk balas budi semata. Lica merasa tak berguna di mata Gio. Nuraninya berbisik 'tuk menjauh, namun tak bisa. Rasa cinta Lica pada cowok itu telah terukir sedalam laut hingga sulit terlenyapkan. Tiadalah rasa cinta Gio untuknya meski Lica berharap mendapatkan cinta itu.
Flashback Off
"Ternyata selama ini, kamu hanya berpura-pura mencintaiku untuk berbalas budi... Arrghhh.. Jahat banget!" teriak Lica bercucuran air mata. "Aku kira kamu benar-benar mencintaiku, Gio. Tapi kenapa tidak? Arrghhh!" Rambut lurus Lica menjadi pelampiasan emosinya. Tidaklah henti ia mengacak-ngacak rambutnya hingga berantakan. Andaikan sekarang ia di tepi jalan raya, dapatlah dikatakan sebagai orang gila. Sakit memang. Mengingat harapan yang telah ia ukir setinggi langit, harus pupus hanya karena beberapa kalimat yang keluar dari mulut kekasihnya. Gio sangat sulit untuk mencintai Lica. Hubungan Gio dan Lica hanya terjadi karena balas budi semata. Itu memang benar. Sebab Mina memberikan uang bantuan untuk Rati dengan ikhlas. Wanita itu tak meminta kompensasi. Namun Rati merasa hutang budi sehingga menjadikan Gio untuk membalasnya. Hal itu ia lakukan dengan memaksa anak itu untuk berpacaran dengan Lica.
Lica beralih meraih gelas kaca bekasnya minum air tadi di nakas. Dengan keras, benda itu ia lempar ke lantai.
Prank....
Gelas kaca itu pecah seketika. "Tidak ada orang yang mencintaiku di dunia ini, aku sudah tidak berguna lagi!" ucap Lica berjongkok. Ia meraih satu pecahan gelas kaca yang langsung ia tancapkan ke kulit lengannya. Perlahan namun pasti, darah segar keluar dari celah tancapan itu. Tanpa disangka, Lica menaikkan pecahan kaca itu hingga menyayat kulit cukup panjang. Cairan merah keluar memancar segar menetes ke lantai putihnya. Cairan itu terus bertambah banyak seiring berputarnya detik jam dinding. Mata Lica yang sedari tadi menatap cucuran darah membuat bulu kuduknya merinding hingga mengalirkan rasa sakit ke mana-mana. Dadanya terasa nyeri dengan rasa pusing di kepala membuat Lica tak kuat menopang tubuhnya dan terpaksa jatuh. Napasnya tersenggal-senggal menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bayang-bayang Gio telah sirna dari benaknya. Pandangannya pun mulai kabur. Perlahan namun pasti, Lica memejamkan kedua matanya. Kegelapan dan kesunyian sontak ia dapatkan. Kesadarannya pun menghilang seketika. Ia tak lagi dapat melihat luka lengan yang terus mengeluarkan darah hingga berceceran di lantai dan pakaiannya
Sementara Mina tengah sibuk menyiapkan makan malam untuknya dan Lica. Ia menggoreng potongan daging ayam sembari merebus sayuran. Mina mematikan kompor usai dua makanan itu matang. Ayam goreng telah ia tiriskan dan sawi rebus yang telah ia letakkan di piring. Salanjutnya, Mina memindahkan ayam goreng ke benda yang sama. Ditatanya nasi dengan lauk pauk dalam beberapa piring itu yang kemudian ia letakkan ke meja makan. "Lica.... Makan makan dulu, nak!" panggil Mina dari dapur. "Lica... Sini nak! Mama udah siapkan makan malam untuk kamu!" Tidak ada jawaban, Mina pun penasaran tentang keberadaan Lica sekarang. Ia menghampiri singgasana sang putri kemudian mengetuk pintunya.
Thok...
Thok...
Thok...
"Lica... Keluar nak, ayo makan malam!" panggil Mina.
"Lica... "
"Lica... "
Thok...
Thok...
Thok...
Tak kunjung mendapat jawaban, tangan kanannya bergerak menekan knop pintu yang lantas terbuka. Netranya menangkap dinding putih sudut kamar Mita. Bola matanya turun dan mendapati kondisi Lica yang berlumuran darah. Mina sontak terkejut tanpa kira. "Astaga!" Mina berlari mendekati sang putri. "Lica.. Bangun Nak, kenapa kamu begini?" Mina menepuk-nepuk pipi kiri Lica yang tetap terdiam tanpa kesadaran. Mina menggeser bola mata. Didapatinya banyak tetesan darah di pakaian dan lantai. Tangan Mina bergerak memeriksa lengan Lica yang berposisi di tengah tetesan itu. Ia menemukan pecahan gelas kaca yang masih menancap di lengan Lica dengan luka sayatan yang panjang. Hati Mina teriris mendapati itu. Meski belum tahu kronologinya, namun tidaklah tega ia mendapati kondisi sang putri. Akibatnya, air mata pun menetes dengan mudah.
Tanpa pikir panjang, Mina keluar rumah guna mencari bantuan. Beruntung, ada 5 orang yang mau membantunya. Tak lain mereka adalah tetangga dekat rumah Mina.
Tubuh Lica berada di tangan pria gemuk yang membawanya keluar rumah. Sementara seorang pria bertubuh langsing tengah membukakan pintu mobil milik pria bertubuh tinggi yang siap di kursi kemudi.
Mina menjadikan pahanya sebagai tumpuan kaki Lica berbaring di sepanjang kursi tengah. Kendaraan itu pun melaju menuju rumah sakit. Mina mengeluarkan air mata tanpa bersuara. Ia tak kuat mendapati banyaknya darah yang masih mengalir dari lengan sang putri.