Balkon rumah menjadi tempat pencurah kesedihan Mita yang menangis tersendu-sendu di sana. Di tatapnya keindahan malam di langit 'tuk sekedar menenangkan kalbu. Tiada kekuatan untuknya mengingat kenangan indah dengan Gio. Tiada kekuatan untuknya menerima kenyataan bahwa Gio telah menjadi milik orang lain. Ia dan cowok itu tak lagi dapat bersatu. Kerinduan pada masa indah melanda Mita. Itulah yang membuatnya menangis. Teringin ia mengulang segalanya. Belum puas untuknya bersama Gio selama 2 tahun. Sebab Gio yang memenuhi hati dan pikirannya membuat ia ingin terus bersama. "Hiks... Hiks... Hiks... Hiks!" isak Mita pelan lantaran tak ingin didengar keluarganya.
"Tuhan, tidak bisakah, aku dan Gio kembali ke masa indah? Aku rindu Ya Tuhan, aku rindu. Aku tahu bahwa Gio telah memiliki orang lain. Namun, kenyataan itu sulit untukku terima Ya Tuhan. Aku hanya ingin Gio, bukan yang lain. Meski sekarang ada Kenzie yang menemaniku, tapi Gio tak lepas dari hatiku. Kenapa secepat ini dia punya pengganti?" batin Mita dengan air mata yang terus mengalir. Perih, sangat perih. Mita harus menerima kenyataan bahwa orang yang dicintainya telah bahagia dengan yang lain. Memori-memori indah masih terpampang jelas di benaknya. Perhatian, senyuman hingga candaan Gio untuk Mita selalu terlintas di sana. Terasa sakit untuk Mita mengingat kenangan yang takkan terulang. "Gio hidupku terasa berat tanpamu!" batin Mita. Ia hanya rela menjauhi Gio demi Rati yang tak suka dengannya. Bukan, demi penggantinya. Ia rela berpisah dengan Gio, namun tak rela bila posisinya tergantikan di hati Gio dengan yang lain. Dua insan itu sekedar sahabat, tidak lebih. Namun, tiada persahabatan antara cowok dan cewek tanpa adanya sebuah rasa. Begitulah kata orang. Ya, itu benar. Terbukti Gio dan Mita saling mencintai dengan perasaan tersembunyi.
Udara dingin menerpa kulit. Menelusup di antara bulu kuduk yang berdiri seketika. Mita memeluk diri sendiri sembari mengusap lengannya. "Mita.... Aku datang!" ucap Gio berdiri di hadapan Mita.
Netra gadus itu menangkap tubuh langsingnya. Sepasang mata Mita terbelalak seketika. Sungguh hal yang tak disangka. Gio mendatangi rumah Mita tiba-tiba. Air mata yang sedari tadi mengalir di pipi pun sontak berhenti. Tangan kanan Mita bergerak menyekanya sembari berdiri. "Gio.... Aku rindu kamu!" ungkap Mita memeluk cowok di hadapannya.
"Aku juga rindu kamu Mit, aku kembali sama kamu. Aku janji nggak akan meninggalkanmu lagi. Aku minta maaf atas segala kesalahanku!" respon Gio mengusap-usap punggung Mita.
"Gio, kamu belum punya pacarkan? Cewek yang ada di sampingmu itu, pasti tidak kamu cintai!"
"Mita.... Hentikan halusinasi-mu!" tegas Lani. Gadis itu terbelalak menatapnya. Ia tersadar dari lamunan yang indah itu. Rasa terkejutnya tak mampu ia sembunyikan. Tiada menyangka, Mita melamun hingga berhalusinasi. Tak biasa ia seperti itu. Maka, tak ayal bila dirinya pun terkejut dengan kelakuan tersebut. Begitupun, dengan Lani yang melempar tatapan tajam. "Kamu kenapa Mita? Kamu gila, ya?" tanya Lani melayangkan pukulan berkali-kali pada kedua pipi sang putri. Inilah pertama kali Lani mendapati ulah Mita yang nyaris keluar dari batas kewarasan. Tak ayal bila ia spontan terkejut hingga tega memukul anaknya.
"Aduuuuuuuuuhhh.... Sakit Ma... Hsssshhh!" ringis Mita mengusap pipinya.
"Kamu kenapa bisa seperti itu?" tanya Lani dengan tegas.
"Aku juga nggak tau Ma!" jawab Mita. Kerinduan mendalamnya pada Gio yang mendorong otaknya untuk berhalusinasi.
"Kamu masih waraskan?"
"Aku masih waras, kok, Ma!" jawab Mita datar. Ditatapnya wajah Lani yang horor penuh kecemasan.
"Kamu ada masalah apa? Cerita aja sama Mama, jangan dipendam sendiri!" Lani mengusap-usap punggung Mita guna memberi kenyamanan.
"E... E... Ee, aku baik-baik saja kok, Ma! Aku bahagia dan tidak ada masalah apapun!" Mita menjawab dengan gugup dan berbohong lantaran tak ingin menceritakan konflik yang membesar itu.
"Mama tau kamu tidak baik-baik saja! Sepertinya ada yang tidak beres dengan mental kamu, besok kita ke psikolog, Mama akan buatkan surat izin tidak masuk sekolah untukmu!" jelas Lani berbalik badan lantas pergi.
Napas Mita tersenggal-senggal mendengarnya. Sepasang mata yang terbelalak melambangkan ketakutan untuk menuruti keputusan Lani tersebut.
Mita berjalan menyusul Lani yang menuruni anak tangga. "Mama... Mama, jangan bawa aku ke psikolog, aku takut dengan mereka!" ungkap Mita. Jika Lani tetap bersikeras membawanya ke psikolog, pasti konfliknya terbongkar lantaran ia harus bercerita di depan psikolog itu. Dan Mita sangat tidak menginginkannya.
"Tidak ada penolakan!" jawab Lani menginjak lantai satu lalu berjalan ke arah Miko yang menonton film anime di televisi. Ketakutan semakin menjalar di otak Mita. Ia takut jika Lani membeberkan ulahnya tadi pada Miko. Belum lagi esok pergi harus ke psikolog. Entahlah, Mita sangat bingung. Teringin ia menghilang dari dunia ini sekarang. Namun, tak bisa. Gadis itu memilih menenangkan diri di singgasananya.
Tidak tahu lagi tentang Lani yang telah bercerita pada sang suami mengenai ulahnya tadi. Dari situ, ia tahu alasan Mita menangis beberapa hari lalu. "Sepertinya dia lagi ada masalah sama sahabat cowoknya itu. Tapi dia tidak mau cerita ke kita."
"Sepertinya sih, iya!" jawab Lani menduduki permadani bersama Miko yang.
"Ya sudahlah, jangan dipaksa untuk bercerita, mungkin itu privasinya, jadi kita nggak boleh memaksanya. Keputusan kamu sudah benar, kita bawa dia ke psikolog besok biar segera tertangani," jelas Miko diangguki Lani.
๐น๐น๐น
"Hiissshhhhh... Gio, ke mana sih? Kenapa dia tidak merespon panggilanku?" Lica mengacak rambut frustasi sembari berjalan ke kamar. Mengingat telah banyak panggilan di whatsappnya untuk Gio, namun tak mendapat respon sekalipun. Room chatnya pun tidak menampakkan tanda bahwa cowok itu membuka whatsapp. Hal seperti inilah yang biasa membingungkan Lica hingga mengundang pikiran negatifnya. "Jangan-jangan Gio lagi sama Mita?" tanya Lica dalam batin. "Enggak-enggak ini nggak mungkin!"
Pikiran negatif itu memeras kepalanya yang sontak pusing. Tangannya menekan bagian tubuh tersebut kemudian berteriak. Teriakan itu sangat keras hingga terdengar dari halaman rumah yang ditempati Mina. Wanita itu sontak menghampiri Lica dengan penuh kecemasan.
"Lica kamu kenapa?" tanya Mina memasuki singgasana cewek itu.
"Kepalaku pusing Ma. Mikirin Gio dari tadi nggak merespon panggilanku!" ungkap Lica berbaring dengan tangan di kepala.
Mina mengangkat alis sebelah. "Biarkan, mungkin dia sibuk ngurusin Ibunya!" jawab Mina menenangkan.
"Tapi dia offline whatsapp tanpa memberi kabar apapun!" desak Lica.
"Tunggu aja yang sabar, dia bakal merespon kalau waktunya sudah senggang!" tutur Mina menempati sofa di sudut kamar.
"Hiissshhhh... Waktu senggang? Tidak bisakah dia memberi waktu itu untukku? Padahal, aku pacarnya loh!" gerutu Lica mengacak rambut hingga berantakan.
"Sabar... Sabar!" Mina memasukkan camilan ke mulut.
"Arrggghhhh.... Aku udah nggak sabar lagi, Ma. Udah daritadi aku chat, aku telfon nggak direspon sama sekali!" Lica menendang bantalnya.
"Sabar!" bentak Mina terusik dengan keluhan sang putri.
... ๐น๐น๐น...
Ayam jantan kembali berkokok mengiringi terbitnya sang mentari. Meski masih malu menampakkan diri, ia tetap memberi keindahan dengan semburat orange yang tampak dari timur kota Jakarta. Keindahan itu tampak jelas dari kaca jendela Mita yang terbuka tirainya. Ia baru saja keluar dari alam mimpinya. Diliriknya jam dinding yang menunjuk pukul 04.56. Kakinya menapak lantai seraya beranjak dari kenyamanan ranjang. Ekspresi ceria yang selalu tampak di pagi hari, kini tidak. Ucapan Lani yang bersikeras membawanya ke psikolog masih terpampang jelas di benaknya. Rasa kesal pun terselip di sana. Kekesalan terhadap diri sendiri yang telah berhalusinasi hingga membuat Lani emosi. Andai Ia tak melakukan itu, mungkin sekarang, ia masih ceria untuk bersiap ke sekolah. Tak seperti sekarang yang hanya terdiam di sofa. Meminta izin pada Lani untuk bersekolah hari ini, telah Mita lakukan. Namun, Lani tak setuju. Wanita itu tengah menulis surat izin tidak masuk sekolah untuk Mita. Sang supirlah yang akan mengantarkan surat tersebut ke SMP 02 Pancasila.
Mita berputus asa. Tiada cara lagi untuknya membujuk Lani agar memberi izin ke sekolah. Ia melempar gulungan kertas dari nakas guna meluapkan emosi. Diinjak-injak benda itu olehnya. "Arrrggghhh... Kacau!" batin Mita.
*****
Jarum jam tak henti berputar. Detik demi detik, menit demi menit hingga jam demi jam berlalu. Matahari akhirnya menampakkan diri sepenuhnya. Semburat orange yang semula tampak di timur, kini telah sirna. Tergantikan oleh cerahnya sinar matahari di siang hari.
****
Mobil hitam keluarga Namiki terparkir di pekarangan rumah megah biru muda yang belum Mita kenal pemiliknya. Miko dan Lani membuka pintu mobil lantas turun diikuti Mita. Lani berjalan mengekori dua insan di belakang. "Permisi," teriak Lani tepat di depan gerbang yang tertutup.
Selang 5 detik, benda itu tergeser ke kanan dan menampilkan seorang pria berisi yang mengenakan pakaian security. "Maaf, mau cari siapa ya?" tanya berdiri di hadapan Lani.
"Kami ke sini mencari saudari Yeslau, adakah dia?" Lani bertanya balik. Ia menundukkan pandang sebagai bentuk penghormatan.
"Ada. Sebentar... Saya panggil Ibu Yeslau-nya!" jawab satpam rumah itu sembari berbalik badan. Kakinya terus melangkah hingga ke depan pintu rumah yang masih tertutup. Hanya dengan menekan bel, satpam itu mampu mendatangkan seorang wanita cantik yang mengenakan dres merah dan sepatu pantofel hitamnya. "Maaf nyonya. Ada yang mencari nyonya di depan!"
"Baiklah, terima kasih!" jawab Yeslau berjalan ke gerbang luar. Matanya berbinar mendapati keberadaan Lani di hadapannya. "Lani," panggil Yeslau memberi pelukan untuk wanita itu.
"Yeslau, kamu apa kabar?" tanya Lani mengusap-usap bahu Yeslau yang mengeratkan pelukannya. Dua insan itu sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMA yang sama dan dipisahkan oleh masa depan. Yeslau yang melanjutkan studinya di Belanda membuat mereka terpisah dalam waktu lama. Wanita itu kembali ke Indonesia sejak 10 tahun lalu. Namun, baru kini Yeslau dan Lani berjumpa. Lani mengetahui lokasi rumah Yeslau dari akun media sosial Yeslau. Wanita psikolog itu tak menyangka didatangi sahabat lamanya.
Mita hanya melongo tak mengerti.
"Mari masuk!" ajak Yeslau disetujui Lani dan Miko. Mita hanya diam mengikuti langkah kedua orang tuanya. Sepasang matanya berbinar kala mendapati kemegahan rumah Yeslau. Kolam renang besar dikelilingi tanaman hias menyambut kedatangan mereka. Tampak kaca jendela di tempat sederhana samping rumah itu menampakkan banyak wajah orang-orang di dalamnya. Di sanalah tempat Yeslau melayani para pasien, seperti Mita.
Yeslau tidak membawa mereka ke tempat itu, melainkan masuk rumah megahnya. Koleksi tas branded yang tertata rapi di lemari kaca menyambut langkahnya ke kursi tamu. 4 buah guci berwarna emas di sudut ruang tamu menambah kemewahan rumah itu. Vas bunga mawar di meja tampak indah di mata mereka. "Mengapa kamu membawa kami ke sini, Yes, padahal kami mau mengkonsultasikan anak kami!" tanya Lani mengamati kemegahan rumah Yeslau.
"Karena kamu adalah sahabatku, jadi tidak masalah kalau aku membawamu dan keluargamu ke sini dulu," jawab Yeslau. "Bibi... Bibi!" teriak Yeslau memanggil pembantunya.
"Iya, nyonya, adakah yang bisa saya bantu?" jawab wanita paruh baya berpakaian daster yang langsung datang.
"Tolong buatkan jus jeruk untuk, mereka!"
"Baik nyonya!"
Yeslau mengembalikan atensinya pada keluarga Namiki. "Ada masalah apa dengan anakmu, Lani?" tanya Yeslau. Lani menceritakan apa yang dilihatnya tentang Mita semalam. Mita tertunduk malu mendengar itu.
"Sepertinya, anakku malu untuk menceritakan masalahnya padaku, sehingga aku bawa ke sini biar bisa konsultasi denganmu. Aku takut terjadi apa-apa dengan mental dan jiwanya!" ungkap Lani tak menghiraukan Mita yang menahan malu.
"Sebenarnya hal seperti itu kerap terjadi pada remaja. Namun, halusinasi tingginya itu yang terkadang tidak wajar. Sekarang, biarkan aku membawa anakmu ke ruang konsultasi agar dia bisa bercerita untuk mendapatkan solusi!" Lani mengangguk. "Ayo dek!"
Mita menuruti perintah Yeslau yang membawanya ke tempat sederhana tadi.
Dua insan itu menjadi pusat perhatian para pasien yang telah menunggu sejak tadi. Sementara Yeslau mengambil nomor urut untuk Mita dan memintanya untuk duduk. Netra Mita menangkap angka 57 yang tertera di kertas dalam tangannya. Dengan berat hati, ia menunggu lama untuk masuk ke ruang konsultasi. Tak disangka, Yeslau yang tadi tampak santai mengobrol dengan keluarga Namiki, ternyata telah ditunggu oleh banyak insan di ruang kerjanya itu. Wanita berdarah Indonesia-Belanda itu sibuk melayani para pasien satu per satu.
***
5 jam sudah Mita menduduki kursi tunggu. Ruangan yang semula dipenuhi para insan, kini tidak. Tinggal 2 insan yang menunggu pelayanan. Mita memasuki ruangan konsultasi setelah 2 insan itu terlayani. "Siapa nama adik?" tanya Yeslau yang mengenakan kacamata dengan pena di tangannya.
"Mita," jawab Mita sangat pelan. Dialah pasien terakhir Yeslau di hari ini.
"Adik ada masalah apa?" tanya Yeslau dengan lembut. Ketakutan Mita tampak jelas dari eskpresi wajahnya. Ia sangat takut untuk bercerita. Sebuah gelengan menjadi jawaban dari pertanyaan Yeslau itu.
"Adik. Adik tidak boleh berbohong ya! Di sini, adik saya minta untuk menceritakan masalah yang adik alami sampai membuat adik berhalusinasi seperti yang dibilang Mama adik tadi!" tutur Yeslau mendapat gelengan dari Mita. "Saya tau adik takut untuk bercerita. Sekarang, saya tanya sama adik. Apa yang membuat adik takut untuk bercerita? Silakan adik jawab! Janganlah adik takut!"