"Nih... Buat kalian!" Lica meletakkan dua lembar uang merah di hadapan dia sahabatnya yang sontak melongo.
"Ha? Beneran nih?" tanya Kesya yang berambut ikal.
"Baik banget," imbuh Sanci, gadis berambut lurus pendek.
"Iya beneran ini buat kalian. Karena aku udah jadian sama orang yang aku cintai," jawab Lica tersenyum lebar mengingat wajah Gio yang selalu menghiasi benaknya.
Kesya dan Sanci menatapnya tak percaya. "Ha? Beneran?" Lica mengangguk. "Yang kamu maksud cowok kelas sebelah itu, kan?"
"Iyalah. Siapa lagi kalau bukan dia!" Lica memutar bola mata dengan tangan terlipat di dada. Akhirnya momen yang ia tunggu telah tiba. Momen dimana ia memberi informasi bahagia itu pada sahabatnya.
Sanci antusias bertepuk tangan. "Wiiihhh... Hebat banget kamu bisa ngalahin Mita yang udah lama deket sama dia! Aku nggak nyangka kalau kamu bisa sehebat itu!" respon Sanci dengan ceria.
"Iya dong... Siapa dulu?" Lica mengibas rambut dengan bola mata berputar. Ia sangat senang dengan respon Jihan tersebut. Tak ayal jika Lica menunjukkan kesenangannya yang tampak angkuh.
"Iya deh... Si paling hebat!" jawab Kesya.
"Sudahlah. Selagi masih istirahat, ayo ke kantin aku traktir kalian sepuasnya!" ujar Lica mengukir keceriaan di wajah Kesya dan Sanci.
"Wawww... Kamu baik banget sih! Ayo deh, kita ke sana!" jawab Sanci lantas berjalan ke luar.
"Ekhem...." Lica menghentikan langkah Sanci dan Kesya. "Kalian tunggu aja di sana! Aku mau panggil pacarku sekalian aku ajak ke sana!"
"Oke... Oke!" Sanci lanjut berjalan ke kantin diikuti Kesya. Berbeda dengan Lica yang berjalan ke kelas 9D guna memanggil Gio.
"Hai.... Sayangku, my baby hunnyku, yang lucu ayo kita keluar!" ajak Kesya sembari mendekati Gio yang menyendiri di bangku. Rasa jijik menelusup kalbu cowok itu. Gio tak ingin ucapan yang berlebihan. Terasa malu untuk merespon Lica di depan beberapa teman sekelas yang kini memusatkan atensi padanya. " Sayang... Ayolah! " Lica menarik tangan kanan Gio yang spontan berdiri. Tanpa kata apapun, Gio mengikuti Lica yang membawanya ke kantin. Meski terpaksa, namun sudah nadi kewajibannya untuk menuruti sang kekasih.
Meski dengan ekspresi malas, Gio berhasil menempati kursi di sudut kantin dengan Lica di sampingnya. Tak lupa dua sahabat Lica yang duduk di hadapan mereka. "Sayang... Kenalin, mereka sahabatku!" ucap Lica tak membuat Gio mendongak. Cowok itu memilih deretan keramik sebagai objek pemandangannya daripada tiga cewek itu. Rati telah memintanya untuk belajar mencintai Lica. Namun, hingga kini pun tak bisa. Perasaannya pada gadis itu hanya sekedar untuk berterima kasih. Bukan, cinta yang sesungguhnya. Lantas, kapan Gio dapat sungguh-sungguh mencintai Lica?
"Untuk pacar aku yang paling ganteng. Silakan pesan makanan sesukamu ya, aku yang bayarin!" ucap Lica tersenyum sembari menyentuh dagu Gio..
Sanci dan Kesya yang sedari tadi menatap Gio sontak terheran. Cowok itu tak kunjung mengangkat kepala ataupun merespon Lica. "Sssttt.. Sanci, lihatlah Gio sangat cuek! Apakah itu yang dinamakan saling mencintai?" bisik Kesya.
"Enggak tahu tuh! Perasaannya jadi misteri deh!" jawab Sanci. Lica yang mendapati mereka saling berbisik pun sontak merasa aneh. Ia membuka suara guna menepis rasa itu.
"Mmm... Kalian juga boleh pesan makanan sesuka kalian, pasti aku bayarin kok!" ucap Lica pada Sanci dan Kesya yang bergegas memesan makanan favoritenya.
"Kamu mau pesen apa, sayang? Nanti aku pesenin!" Gio menggeleng. "Sayang, kamu kenapa cuek gitu sih? Yang ceria dong! Kayak biasanya itu, biar kita bisa so sweet gitu loh, Say!" Lica mengerucutkan bibir.
"Nggak bisa!" jawabGio dengan polosnya.
"Kenapa nggak bisa?"
Gio tak menghiraukan pertanyaan kekasihnya itu. Beruntung, Lica hanya diam. Suasana terasa damai kala itu. Kedamaian itu hancur kala Sanci dan Kesya kembali dengan tawa bisingnya.
"Udah selesai pesan?" tanya Lica.
"Udah!" jawab Kesya dan Sanci serempak.
"Sayang, kamu mau pesen apa?" tanya Lica pada Gio. Ia lelah menanyakan itu.
"Enggak!" jawab Gio tetap pada posisinya.
"Alah... Jangan gitu dong, say! Ayolah, kamu harus pesen makanan biar kita bisa makan bersama!" rengek Lica dengan bibir mengerucut.
"Terserah kamu!" jawab Gio.
"Emm.. Yaudah aku pesanan bakso saja biar kita sama!" ujar Lica lantas berdiri. "Sebentar ya, sayang!"
Tubuh Gio kian terasa kaku kala Lica tak di sampingnya. Sebab hanya Lica yang ia kenal, walaupun tak cinta. Mengingat dua gadis tak dikenal yang duduk di hadapannya itu melahirkan rasa gerogi untuk bergerak.
Gio menggerakkan kepala untuk pertama kalinya kala Lica kembali. Cowok itu melempar tatapan pada sang kekasih. "Kita tunggu pesanan dulu ya, say!" ucap Lica mengusap lembut punggung tangan Gio.
Kedatangan pemilik kantin dengan nampan berisi mangkok bakso dan mie ayam mengalihkan atensi mereka. Tangan kanannya memindahkan dua benda berisi makanan itu ke meja. "Terima kasih Bu!" ucap Sanci mewakili Kesya. Wanita paruh baya itu mengangguk sebelum pergi.
Tak berselang lama, ia kembali lagi dengan dua mangkok bakso dan 4 gelas es teh. "Wah.. Pesanan kita udah datang, sayang!" ucap Lica pada Gio yang menatap ceria mangkok bakso. "Terima kasih ya, Bu!" ucap Lica mendapat anggukan. "Ayo kita makan bersama!" ajak Lica membuang uap panas dengan udara dari mulutnya. Gadis itu lantas memasukkan 1 butir bakso ke mulut.
Sementara Kesya dan Sanci menatap datar sepasang kekasih itu. Terasa sangat aneh baginya tentang sikap Gio yang abai.
"Sayang, kenapa kamu nggak makan? Mau aku suapin?" tanya Lica tak direspon Gio. "Kalau iya, sini aku suapin!" Lica memindahkan sebutir bakso dari mangkok ke sendok Gio. "Aaaaaaa.... " Agar Lica merasa senang, Gio merespon dengan mulut terbuka guna menerima bakso dari Lica. "Enak kan, Say?" tanya Lica diangguki Gio.
๐น๐น๐น
"Mita!" panggil Kenzie mendapati Mita berjalan jauh membelakanginya. Gadis itu tak memberi respon lantaran suara Kenzie tak sampai di telinganya. Cowok berambut lurus itu kembali memanggilnya dengan teriakan. Barulah Mita menoleh. Ekspresi ceria terukir di wajahnya kala wajah Kenzie masuk di netranya.
"Kenzie!" balas Mita berjalan ke arah cowok itu. "Ada apa Zie?"
"Hanya ingin memanggilmu. Ngomong-ngomong kamu mau kemana?"
"Aku selesai dari perpustakaan!"
"Ke kantin yuk! Aku lapar nih, temanin aku makan, yuk!" ajak Kenzie diangguki Mita. Dua insan itu berjalan bersama ke kantin.
Di ambang pintu, netra Mita menangkap keberadaan Gio dengan 3 cewek di dekatnya. Dari situ, kian tampak jelas bahwa Gio tak lagi seorang jomblo. Bak tersayat pisau, hati Mita terasa sakit mendapati itu. Tak mudah untuknya menerima kenyataan bahwa Gio telah dimiliki orang lain. Rasa sakit hatinya mendorong air mata untuk keluar dari sarangnya. Mita telah berusaha mengikhlaskan Gio dengan yang lain. Namun, ikhlas itu bohong. Buktinya, Mita masih tidak kuat melihat kebersamaan Gio dengan cewek lain. "Sssttt... Sudahlah jangan menangis!" Kenzie memeluk Mita dari samping sembari mengusap-usap bahunya. Telah diketahui Kenzie tentang isi hati Mita. Tampak dari tatapannya yang terpusat pada Gio dan tiga cewek itu. "Ayo duduk!" Mita menutup wajah sembari berjalan dalam ikatan lengan Kenzie. "Aku tahu isi hatimu. Pasti, kamu tidak kuat melihat sahabatmu itu!" ucap Kenzie bertempat di kursi hadapan Mita yang membiarkan air matanya menetes. "Buka wajahmu dan hentikan air matamu!" pinta Kenzie dengan lembut. Perlahan namun pasti, tangan Mita menjauh dari wajah putihnya yang menampakkan sepasang mata sembab. Sisa air mata masih menempel di pipi. Tangan kanan Kenzie tergerak untuk menghapuanya. Tatapan Mita yang sedari tapi fokus pada meja, kini sontak beralih pada Kenzie yang mengusap pipinya. Merasa ditatap, Kenzie spontan membalasnya. Alhasil, tatapan mereka bertemu. Cowok itu menangkup wajah cantik Mita yang tampak murung. Hidung mancung dengan bibir tipisnya mengandung magnet yang menarik sudut bibir Kenzie.
Di kursi sebelah
"Eh... Ada orang pacaran!" ucap Sanci menunjuk Mita yang tak henti bertatap mata dengan Kenzie. Kesya, Gio dan Lica menoleh ke arah yang ditunjuk Sanci. Sepasang mata Lica terbelalak seketika. Mengingat cewek yang dilihatnya bukanlah orang asing. Sementara Gio mengambil napas kasar guna meluapkan rasa terkejutnya. Mita dengan Kenzie. Lica tak menyangka jika mereka bersatu. Begitupun dengan Gio yang kini kembali pada posisi awalnya. Terasa berat untuk Gio menahan tatapannya pada Mita dan Kenzie. Tak ayal bila cowok itu kembali menatap meja. Pikirannya berkecamuk seketika. Ia telah memiliki Lica tanpa rasa cinta juga tak rela jika Mita dimiliki cowok selainnya. Teringin ia memutar waktu 'tuk sekedar mengulang masa indah dengan gadis itu. Namun, tak bisa. Waktu berputar semakin cepat. Banyak hal suka dan duka yang telah mereka lalui bersama. Dan kini, tinggalah kenangan semata. Mereka tak lagi bersama, melainkan telah memiliki pilihan masing-masing. Tanpa disangka, teman dekat Gio mampu memikat hati Mita yak tak lain adalah sahabat Gio sendiri. Lantas, akankah Gio sungguh-sungguh melupakan Mita? Bisakah ia melakukan itu?
Sementara sebuah kedengkian muncul di benak Lica. Tak disangkanya mantan sahabat dari sang kekasih dapat bersama cowok tertampan seangkatannya. Bahkan, jauh lebih tampan dari Gio. Namun, mengingat ia telah memiliki cowok yang diinginkannya selama ini, Lica berusaha melenyapkan dengki dari hati. Ia memutar pikiran menjadi positif. Mita telah bersama Kenzie, ia pun dapat bersama Gio dengan tenang. Ia akan fokus pada satu hal, yakni menjaga hubungan baik dengan sang kekasih. Tidaklah ia menengok sana-sini lagi, Lica tak ingin menambah penyakit diri.
Adegan bertukar pandang antara Mita dan Kenzie berakhir kala suara bel sekolah memasuki gendang telinganya. Tanpa banyak bicara, Mita dan Kenzie kembali ke kelas. Dua insan itu menjadi pusat perhatian para siswa-siswi yang dilaluinya lantaran banyak yang menyukai Kenzie, cowok yang terkenal dengan ketampanannya itu.
"Itukan Kak Kenzie! Kenapa dia bisa sama Kak Mita?"
"Iya ya, padahal Kak Mita sahabatnya Kak Gio, cowok yang terkenal sangat dingin itu."
"Tapi sekarang, mereka jarang terlihat bersama, malah Kak Gio sama orang lain yang tidak aku ketahui namanya."
"Kalau nggak salah sih, namanya Lica!"
"Nah, iya itu tuh namanya."
Itulah komentar dari sekelompok siswi lain di sekolah itu yang mendapati kebersamaan Mita dan Kenzie.
๐น๐น๐น
Sama dengan yang lain, Lica, Sanci dan Kesya juga memasuki kelasnya. Bangku terdepan menjadi tempat duduk Lica dan Sanci yang membelakangi Kesya dan satu teman lain. Berbincang menjadi kegiatan mereka sebelum kedatangan guru. "Lica... Maaf nih ya, karena aku penasaran sama sikap Gio, jadi aku tanya sama kamu, boleh kan?" Sanci mengawali topik pembicaraan.
"Boleh. Tanya aja nggak papa!" jawab Lica menyilangkan kaki sembari menoleh ke arah Sanci yang kini menatapnya.
"Kenapa sikap Gio cuek sama kamu?"
"Itu memang ciri khas dia selalu cuek!" jawab Lica datar.
"Tapi cueknya berlebihan, Ca!" timpal Sanci yang mendapati gurunya masuk kelas.
"Sudahlah, tidak perlu dibahas!" jawab Lica menormalkan duduknya.
****
Jam demi jam berlalu. Tak terasa kini malam tiba. Menyapa segala umat manusia dengan indurasmi yang terpancar dari langit. Bintang-bintang yang gemerlapan seolah menawarkan diri sebagai sandaran hati yang siap menerima segala curahannya. Seperti Gio yang kini berdiri tegak menatap langit malam. Kebersamaan Mita dan Kenzie kembali terputar di benaknya. Sebuah penyesalan muncul di tengahnya. Andai ia tak pernah berlaku kasar pada Lica, ia takkan menanggung resiko untuk menjadi kekasih Lica sebagai permintaan maafnya. Gio menyesal telah melakukan itu. Karena itu, ia terlilit dalam tali keterpaksaan. Keterpaksaan itu memaksanya untuk berpacaran dengan Lica dan tak mampu bergerak 'tuk kembali merengkuh tangan Mita. Jika boleh jujur, Gio sangat mencintai Mita. Teringin ia memiliki hatinya sekarang. Tiada keinginan dalam dirinya untuk melepaskan Mita. Namun sepertinya, itu tak bisa. Lantaran nasi telah menjadi bubur. Ia telah memiliki gadis lain meski tanpa cinta. Hal itu menuntutnya untuk menjaga hati dan terpaksa menjauhi Mita. Terasa berat untuknya menjalani hal itu. Namun, tetap haris dilakukannya. Pikiran Gio telah berkecamuk. Sebuah teriakan panjang ia lepaskan ke udara 'tuk melepas bebannya. "Aaaaaaaaarrrrrrggghhhhh.... "
"Ya Tuhan. Aku mencintai Mita. Aku ingin memilikinya selamanya. Hanya dia yang aku cinta, hanya dia pula yang ada di hatiku."
"Ya Tuhan, aku tidak mencintai Lica sama sekali. Aku tidak ingin lama menjalin hubungan dengannya. Aku mohon agar Engkau memberi jalan keluar untukku agar terlepas dari jerat kererpaksaan ini!"
"Ya Tuhan, mengapa aku harus menerima ini semua? Mengapa aku dipaksa mencintai orang yang sangat tidak kucintai dan aku dipaksa melepaskan orang yang kucintai? Kenapa? Ini sangat berat, Ya Tuhan!" Gio mengeratkan kepalan tangan. Penyesalan yang turun ke pembuluh nadi mendorongnya untuk melayangkan tangan pada pohon besar di hadapannya. Tak peduli dengan kemerahan tangan yang timbul setelahnya. Yang terpenting, beban pikirannya dapat terlepaskan.
Gio keluar dari hutan kecil itu. Ia berjalan pulang usai merasa tenang. Namun, ekspresi cemberut tak dapat lepas dari wajahnya yang melambangkan kegundahan hatinya. Gio sangat benci dengan keadaan ini. Tidak seharusnya ia merasakan sakit yang teramat sangat. Mengingat persahabatan yang berjalan 2 tahun sangatlah baik tanpa konflik besar. Meski Gio menyembunyikan persahabatan itu dari Rati, namun ia tetap tenang. Persahabatan itu harus kandas usai Rati mengetahuinya dan memilih Lica untuk Gio. Persahabatan Rati dan Mina menjadi faktor pendorongnya untuk menyatukan dua remaja itu.