Tumben baru kali ini Alana dan Poci tak berdebat, mungkin karena wanita itu tak ingin memikirkan hal yang tak sepantasnya ia pikirkan.
Kali ini ia hanya berpikir, siapa wanita yang menatapnya tajam di mimpinya beberapa jam lalu. Hari menjelang sore, seperti biasa Alana minum susu coklat dengan di temani oleh Luna dan Poci.
“Mbak, saya izin ke toilet sebentar ya dan setelahnya saya akan ke ruang Dokter Arka ingin mengambil jadwal baru,” kata Luna yang sudah bangkit dari tempat duduknya.
Dengan menganggukkan kepala semangat dan tersenyum, wanita ini segera memberikan izin kepada suster yang sudah ia anggap teman itu. “Silahkan Suster Luna.”
“Tapi tidak apa-apa jika saya meninggalkan Anda seorang diri?”
Begitu cepat Alana menjawab tanpa berpikir terlebih dahulu sembari mengibarkan senyuman ramahnya. “Tidak, sus. Tentu saja saya bersama teman saya, Po ...,”
Plak!
Mulut Alana langsung disekap menggunakan kain kafan milik sahabat pocongnya itu.
Manik mata Alana mengembang, ia tak sanggup melihat tatapan Luna yang ingin menunggu kelanjutan kalimat yang terhenti.
“Siapa Mbak Alana, Po ... Po siapa?”
Hehe!
Alana menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia membuat alibi agar tak ketahuan. “Bukan apa-apa Suster Luna. Maksud saya ....” Alana melirik kursi rodanya yang sengaja ia letakkan sebuah gantungan kunci berupa boneka Pororo.
“Ini sus, ada Pororo maksud saya. Hehe!”
Suster Luna tak banyak tanya lagi, ia segera melangkahkan kaki ke toilet karena ia kebelet pipis. Sedangkan Poci yang ada di sampingnya sudah mengelus-elus dada, hampir saja sahabatnya itu membeberkan identitas arwah gentayangan ini.
“Untung saja!” celetuk Poci.
“Iya ... iya aku minta maaf. Bagaimana menyalahkan mulut yang keceplosan, gak ada yang salah kan?”
Setelahnya mereka hanya terdiam, karena memang udara kali ini benar-benar sejuk. Menikmati desiran angin membuat hati mereka ikut tenang.
Namun, Alana memperhatikan ada seorang wanita yang membawa lukisan. Ia benar-benar mencari celah agar lukisan itu dapat terlihat dari kejauhan.
Ketika lukisan tersebut ia lihat sekilas, ia menutup mulut dan menggoyangkan bahu Poci dengan cepat. “Ci, coba lihat lukisan yang dibawa oleh wanita mengenakan pakaian serba hitam itu!”
Poci langsung bergegas melirik ke arah yang ditunjuk sahabatnya. Arwah ini pun sangat terkejut dan melempar pandangan ke Alana.
Bola mata mereka sama-sama mengembang dan ekspresi mereka tak bisa ditutupi, karena sangat mustahil bagi mereka. Lukisan yang mereka lihat dan hilang entah kemana beberapa hari yang lalu, kenapa bisa dibawa oleh wanita lain? Atau mungkin wanita itu yang membeli lukisan tersebut atau ternyata wanita tersebut pemilik lukisan itu?
Lukisan yang mengerikan! Kendatipun lukisan tersebut sangat menggambarkan suasana romantis.
Gambaran sederhana, yang menampilkan sepasang kekasih saling berpegangan tangan melihat matahari yang akan memeluk bumi.
“Ci, kenapa lukisan itu bisa di sana?”
Poci hanya mengkidikkan kedua bahunya, karena ia juga tak habis pikir. Poci menyempitkan matanya, ia kini merasakan aura yang begitu dahsyat. Sangat mengerikan!
“Alana, mending kita gak usaha memperhatikan luki ...,” Poci linglung, celingak-celinguk karena sang sahabat tidak ada lagi di sampingnya.
Plak!
Ia menempeleng dahinya sendiri, karena baru saja melihat sang sahabat bergerak seorang diri. “Astaga Alana ... Alana .... Dia memang wanita yang gegabah, selalu mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri!”
Hum!
Geram Alana tak tahu harus mengatakan apa kepada wanita yang memegangi erat lukisan tersebut.
“Mbak permisi, mohon maaf mengganggu waktunya. Itu lukisan punya Mbak?” tanya Alana sembari menunjuk ke arah karya lukis tersebut.
Wanita ini tersenyum begitu hangat terhadap Alana. Ia menggangguk dan suaranya begitu lembut, “Iya Mbak, ada apa ya?”
“Anu ... e ...,” ujar Alana yang tersekat-sekat.
Ia masih berpikir alasan apa yang tepat untuk dirinya bisa mengobrol lebih jauh mengenai lukisan itu terhadap wanita dihadapannya.
“Lukisannya sangat indah Mbak. Jika boleh tahu, lukisan itu dapat dari mana ya, Mbak?”
“Lukisan ini saya sendiri yang lukis, Mbak. Memang ada apa ya?” Ekspresi wanita yang terus dijejali pertanyaan semakin kebingungan.
Merasa ucapannya membingungkan, Alana langsung to the point. “Apakah Mbak melukis dengan imajinasi atau Mbak melihat objek sepasang kekasih yang bergaya sama persis dengan lukisan ini?”
Wanita itu menatap Alana, sorot matanya dingin seakan dia tak ingin ditanya apa pun oleh wanita yang tak ia kenal.
Belum saja menjawab, terdengar suara seorang pria. “Jes, ayo kita pulang.”
Kedua wanita itu menoleh ke sumber suara.
Wanita itu tersenyum ramah, ekspresi dinginnya kembali menjadi hangat. Lalu ia memeluk pria yang diyakini memiliki hubungan intens dengannya. “Sayang, jangan manggil namaku. Sebentar lagi kita akan resmi jadi suami istri. Jangan panggil Jesika lagi, tapi dengan panggilan Sayang, Honey, Beb, Istriku dll.”
Pria mengenakan jas lengkap berwarna serba hitam itu hanya terdiam, ia sama sekali tak mengusik ucapan yang akan menjadi istrinya kelak.
Mereka pun hilang seperti angin.
Alana masih terkekeh, ia mematung tak percaya dengan siapa yang dirinya lihat tadi. Entah mengapa tetesan air mata mengalir, tak kuasa menahan rasa sakit. Seperti dirinya yang mengalami semua hal ini.
Poci mendekat, ia bingung dengan tangisan sang sahabat. “Alana, are you okay? Why you crying, what happend?”
“Ci ...,” panggil Alana sembari mengusap air matanya.
“Iya.” Begitu serius ekspresi pocong nyentrik ini.
“Jangan sok-sokan makek bahasa enggres Ci!”
Padahal masih dalam suasana yang terharu, Poci masih saja bisa membuatnya menjadi lebih berwarna. Namun, tetesan air mata itu terus mengalir tak henti-henti.
“Kamu kenapa sih, Na?” tanya Poci yang begitu aneh melihat sahabatnya.
Alana menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Sebenarnya ia juga tak mengerti apa yang dirinya rasakan.
Rasa ini seperti rasa yang pernah ia alami. Sebuah pengkhianatan yang ia dapatkan dari sang kekasih.
Cinta yang tulus, dibalas dengan sebuah kekecewaan. Mengingkari janji demi membuat sebuah pengkhianatan yang menyakitkan.
Tak bertanya lagi, Poci lebih membiarkan Alana bergulat dengan rasa kacau yang telah dialaminya sekarang. Kendatipun pocong ini sangat ingin tahu, alasan sahabatnya menangis begitu sendu dan menyayat hati.
Matahari yang tadinya masih menderang kini tak terlihat lagi. Suasana gelap, seperti suasana hati Alana yang memilukan.
Gemuruh pun saling saut menyaut, seakan ia tahu tangisan Alana tak cukup untuk memendung perasaannya kini.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Aku tahu bagaimana sakit yang kamu derita. Dan aku juga tahu, semuanya tak bisa kamu mendung sendiri. Bagaimanapun juga aku akan tetap menolongmu. Carilah aku! Aku akan menolongmu membalaskan semua amarah yang kamu terima.”
Bersambung.