Poci hilang entah kemana, seakan ia tak mempedulikan sahabatnya yang sangat ketakutan.
“Ak- ak ...,” gagap Alana yang tak tahu harus berbuat apa, karena sosok itu semakin dekat ... dekat ... dan dekat.
***
Manik mata Alana menggeliat ke sana dan ke mari, ia menerka dan bingung mengapa dia ada di sebuah ruangan yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Dinding putih dan gorden berwarna hijau tua, membuatnya yakin ini adalah ruang operasi. Baru saja melangkah beberapa meter, ia sudah mendapati seorang pria menangis begitu khawatir. Dan ada seorang yang mengenakan pakaian lengkap untuk operasi memohon kepada pria tersebut.
“Pak David, saya mohon kepada Bapak untuk meninggalkan ruangan ini. Karena ini hanya untuk pasien yang akan kami periksa. Kekasih Anda mengalami kekurangan darah yang begitu fatal. Jika kami tidak melakukan tindakan cepat, maka kekasih Anda bisa ...,”
Seorang dokter itu menghentikan ucapannya, setelah David segera meninggalkan ruangan tanpa di suruh lagi.
Alana yang saat itu ada di ruangan pun menuju ke luar ruang mengikuti pria tersebut. Karena ia tak ingin mengganggu proses yang akan dijalankan. Kendatipun ia di dimensi ini hanyalah abstrak, yang tak dapat disadari oleh orang sekelilingnya.
Wanita ini duduk di samping pria mengenakan jas lengkap itu. Ada jarak jauh antara mereka. Alana melihat tatapan pria bernama David ini sangat kosong, ia melamun dengan gumpalan air mata yang ingin jatuh. Ia terlihat sangat berusaha agar tak menangis seperti yang diperlihatkan di ruang operasi.
Batinnya begitu lelah, dan tubuhnya bersandar tegak di sisi dinding luar ruangan.
“Clara, apakah hubungan kita adalah hubungan yang benar-benar tak bisa diperjuangkan? Apakah hubungan kita sangat merugikan? Apakah hubungan kita begitu menjijikkan sampai membuat kita seperti ini? Maafkan aku yang tidak pernah sadar akan kesehatan mentalmu. Orang tuaku memang seperti monster! Tapi aku juga tidak bisa melawan mereka, jika aku melawan mereka sama saja aku akan membuatmu terbunuh sia-sia oleh mereka.”
David tak melanjutkan lontaran katanya, ia menyeka air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Menghapus tetesan air yang terus mengalir tiada henti. Hatinya kacau, batinnya tersiksa akan kondisinya.
“Pada saat kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, aku mencari tahu semuanya. Ternyata memang benar, lebih baik kita pisah. Aku tidak ingin kamu sakit dan aku hanya bisa berharap. Jika kamu pikir aku pria pengecut, dan bodoh. Iya betul, aku adalah pria yang sangat pengecut! Yang hanya bisa melarikan diri dari masalah ini!”
Melihat ada seorang pria yang menangis begitu sendu. Sering kali David memegangi dadanya yang terasa sesak, membuat Alana menutup mulut dan tak sadar ia meneteskan air mata juga.
Sekejam itukah hubungan yang melibatkan perbedaan strata ekonomi? Zaman apa sekarang, mengapa masih saja ada kesenjangan sosial seperti ini?!
Ternyata David ingin mengunjungi Clara setelah memberikannya pesan terkait dia akan menikah beberapa pekan kemudian. Hati pria itu tak enak, ia merasa akan ada yang membuatnya panik dan khawatir.
Benar saja, baru ia membuka pintu rumah sang kekasih, ia sudah melihat Clara dengan kondisi yang mengenaskan. Banyak darah mengalir deras di lantai rumahnya. Ia segera bergegas ke rumah sakit terdekat, berharap penuh agar kekasih pujaan hatinya ini tetap hidup.
David menghentikan tangisannya. Wajah pria itu begitu pucat, tatapannya kosong tak memiliki kehidupan sedikit pun.
Ingin rasanya Alana memberikan pria tersebut semangat, meski hanya dengan kata-kata saja. Namun, apa gunanya. Ia hanyalah bayangan yang tak bisa dirasa dan dilihat oleh siapa pun di sini.
Beberapa jam kemudian, dokter muncul dari balik ruang operasi.
Namun, ketika Alana ikut bangkit dari duduk dengan wajah penuh harap mengenai kondisi Clara. Wanita ini malah melihat sosok yang sedang menatapnya tajam. Ia beberapa kali berusaha memalingkan pandangan tapi tak bisa.
Wanita berambut panjang dengan sinis mendekatinya.
Lalu ....
***
“Mbak Alana, apakah Anda baik-baik saja?” Terdengar suara wanita yang begitu dekat.
Samar-samar dia melihat sosok suster yang dirinya kenal. Ia memejamkan mata beberapa detik, sembari memijat kepalanya yang sakit luar biasa.
Setelah ia membuka matanya, ekspresi wajahnya berubah. Manik matanya membulat dan terkejut, mengapa ada orang yang tak dirinya kenal berada di hadapannya saat ini.
Pria dengan bentuk wajah oriental, dan memiliki senyuman indah membuat Alana pangling. Dia berdiri tepat di samping Dokter Arka.
Ia melihat Alana dengan tatapan hangat dan juga ramah.
“Mbak Alana, maaf karena sudah mengganggu Anda. Mbak ini adalah Direk ...,” ucapan dokter muda itu terhenti ketika pria yang memiliki kebangsaan Jepang menepuk pundaknya pelan.
“Biar saya saja yang memperkenalkan diri, Dokter Arka. Saya ingin memberikan penghormatan kepada Mbak Alana secara langsung,” ucap pria dengan tinggi 180 cm itu terdengar sangat berwibawa dan begitu menghormati wanita.
Beda dengan wanita lain yang pasti luluh akan ketampanan dan suara lembut dimiliki, direktur utama rumah sakit Lokapala ini. Ia malah menyempitkan kelopak matanya, dalam benaknya berpikir jika pria ini hanya basa-basi saja.
Namun, semakin dekat ia melihat wajah pria itu semakin ia yakin bahwasanya pria itu sangat mirip dengan sang mantan kekasih, Yuta.
Ia melonjorkan tangan kanan sembari tersenyum kepada Alana yang hanya memasang wajah datar. “Halo Mbak Alana, perkenalkan saya Yoshi Tanaka. Saya bertugas untuk memeriksa pasien di sini agar tetap aman dan nyaman. Saya sangat terhormat karena saya bisa bertemu langsung dengan Anda.”
Wajah datar itu masih terbesit, karena Alana tipe orang yang sangat menghargai dan mengedepankan perasaan. Ia menerima perkenalan itu dan berjabat tangan, pria yang masih terlihat tampan meski usianya telah matang.
Perkenalannya dengan Yoshi begitu singkat. Pria itu langsung keluar ruang Mawar, dan seperti berdiskusi bersama Arka.
Ketika sudah memastikan pria itu hilang dari hadapannya, dengan cepat Alana bertanya kepada Luna. Yang berdiri di sampingnya.
“Sus, apakah Anda mengenal orang itu?”
Pertanyaan Alana membuat lamunan Luna buyar, wanita ayu dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya itu segera menjawab, “Itu Pak Yoshi, Mbak Alana. Beliau adalah direktur utama di rumah sakit ini. Dan beliau memiliki kuasa penting di sini. Tapi ...,” Luna menghentikan beberapa kalimat yang ingin ia katakan kepada Alana.
Wanita itu tampak sangat berpikir, melihat hal itu Alana kembali bertanya lagi, “Tapi apa Suster Luna?”
Luna menghembuskan napas pelan, ia ingin berpikir lebih tenang. “Beliau itu orangnya begitu tertutup dan sangat dingin, Mbak Alana. Tidak pernah sama sekali kami melihat Beliau berkenalan secara langsung dengan pasien, apalagi sampai menjenguk ke ruangan.”
“Atau mungkin ...,” Luna kembali memberikan jeda akan ucapannya.
Perasaan Alana sudah tak enak, ia langsung saja menjawab seakan dirinya tahu apa yang telah dipikirkan dengan susternya itu. “Tolong jangan mengatakan jika pria itu ada apa-apanya dengan saya. Atau lebih disingkat memiliki perasaan kepada saya!”
“Bisa saja, mungkin pria tampan itu menyukaimu, Alana,” saut Poci dari kejauhan.
Bersambung.