Alana termenung dalam lamunannya sejak tadi setelah ia telah di ruang Mawar. Ia menutup mulut seakan memikirkan suatu hal yang pasti sangat penting.
Melihat sahabatnya yang tak mengoceh sejak tadi, Poci menjahilinya dengan menyentuh daun telinga wanita yang terlihat sangat fokus akan bayang lamunannya.
Sontak karena konsentrasinya terganggu akan ulah sahabat hantunya itu, Alana mengerutkan dahi sampai kedua alis wanita tersebut saling bertemu.
Mulutnya mayun ke bawah, ekspresi wajahnya begitu kesal kepada Poci dengan tatapan sinis ia berteriak, seperti singa betina yang sedang diganggu. “Kamu mau apa sih, Ci? Mengganggu konsentrasiku saja!”
Bukan Poci namanya, jika tak saling saut dengan sahabat manusianya. “Lagian kamu kenapa diam seperti itu. Nanti kesambet setan tahu!”
“Yang ada setan kesambet olehku! Buktinya saja setan mau berteman denganku!”
Seketika Poci terkena mental, bola matanya bergerak seakan keluar lalu diikuti dengan ekspresi sinisnya mengarah sang sahabat.
“Udahlah Ci, beri aku waktu untuk memikirkan suatu hal yang ingin aku pecahkan kebenarannya.”
Poci menaikkan alis satunya, sembari menoleh dengan rasa yang masih sedikit kesal. Tapi seakan tidak bisa menahan apa yang ada di dalam benaknya, arwah gentayangan yang selalu mengekori Alana ke mana pun itu melontarkan kata singkat, “Memang apa yang kamu pikirkan di siang bolong begini?”
Belum saja mulut Alana bergerak ingin menjawab, Poci malah memiliki asumsi yang berbeda. “Jangan-jangan kamu memikirkan pria berkacamata hitam tadi? Atau mungkin kamu sedang memikirkan Dokter Ar ...,”
Plak!
Suara geplakan itu terdengar renyah, tak sengaja secara repleks tangan Alana berayun ringan mengenai mulut sahabatnya. Namun tak keras.
“Tolong jangan beropini yang macam-macam ya sahabatku! Aku bukanlah wanita yang selalu memikirkan pria. Lagian sudah cukup ketika hati ini telah merasakan kehancuran. So please stop about your opinion, okay?”
Poci masih terlihat terkejut, karena sahabatnya melakukan hal itu. Namun, ia pikir bahwasanya Alana sudah menganggapnya lebih dari seorang sahabat. Maka dari itu mantan kekasih Yuta ini berani mengeplak secara gampang.
Namun, Poci seperti tak ingin kalah. Ia harus mengetahui apa yang dipikirkan Alana, karena ia tak ingin hanya wanita itu saja berpikir. Lebih baik saling tukar pandangan atau opsi, dibanding memikirkan sendiri. Bisa-bisa otak akan pecah! Pikir Poci saat ini terhadap sahabatnya.
“Eh Na, kamu itu punya aku yang bisa diajak berdiskusi. Jarang-jarang lho Na, ada manusia yang bisa bersahabat dengan seorang pocong tampan seperti ku ini!”
Heh!
Alana menghela napas, karena ia sedikit ingin muntah mendengar asumsi sahabatnya mengenai diri sendiri yang dilebihkan. “Bukan seorang Ci, tapi arwah gentayangan!”
Wanita ini mengklarifikasi ucapan Poci yang ia katakan dirinya adalah ‘seorang’ seakan pocong itu masih menganggap dirinya manusia bukan arwah gentayangan.
Poci seakan melupakan celetukan sahabatnya tersebut. Ia hanya ingin tahu secara cepat sebenarnya wanita itu sedang memikirkan apa.
Karena merasa sudah tak bisa berpikir, dan secara kebetulan Alana butuh opini serta pandangan lain. Ia pun menceritakan kepada Poci.
“Aku masih berpikir, bagaimana bisa bertemu Clara. Karena aku meninggalkannya dalam keadaan kritis. Apakah ia akan baik-baik saja?”
Mendengar hal itu Poci hanya bisa geleng-geleng kepala saja. “Alana ... kan sudah aku bilang jika Clara itu adalah arwah gentayangan yang memiliki dendam menakutkan. Ia sengaja mengincar manusia sepertimu, untuk diminta bantuan. Tapi, please jangan ikut campur mengenai ranah kehidupannya dulu. Karena aku yakin, ia bukan arwah gentayangan yang memiliki aura baik untukmu. Dia tidak patut dijadikan teman dalam konteks dimensi berbeda ini.”
Guliran kata-kata yang terlontar dari mulut arwah gentayangan di sampingnya itu membuat Alana semakin keras berpikir.
Dari mana Poci tahu jika Clara adalah arwah gentayangan yang memiliki aura tak baik? Alana masih terkekeh akan opsi yang dimilikinya sejak awal. Ia hanya ingin membantu Clara, meskipun Clara memang benar adalah arwah gentayangan yang memiliki aura tak baik.
Melihat penderitaan dan tekanan hidup yang dimiliki oleh Clara, membuat Alana tak bisa tinggal diam. Ia hanya ingin membantu wanita itu dengan harapan wanita tersebut dapat hidup yang layak. Jika ia manusia, Alana berharap Clara bisa mendapatkan pria yang bisa mencintainya dengan tulus beserta keluarga pria tersebut. Dan jika Clara memang benar arwah gentayangan yang menuntut dendam merekah, Alana hanya bisa membantu menyelesaikan dendamnya menjadi suatu hal yang baik. Agar arwah tersebut bisa hidup tenang dan tak bergentayangan lagi mengganggu manusia lain.
Tangan Alana meraih gelas yang sudah terisi air putih di dekatnya. Ia meneguk dengan cepat. Berpikir keras membuat ia harus menjaga konsentrasi.
Bukannya merespon apa yang sudah dijelaskan Poci panjang lebar, ia malah mengalihkan sesuatu dan kini kembali melanjutkan lamunannya itu.
“Astaga Alana, sudah aku katakan berapa ratus kali. Sampai mulutku berbusa. Tolong jangan berpikir bahwasanya Clara adalah makhluk yang sangat tersakiti. Asal kamu tahu ya, Na. Arwah gentayangan itu begitu cerdas, dan sangat pandai mengelabui manusia polos sepertimu. Ia sengaja membuat replika kisah yang memilukan, dengan harapan manusia bisa menolongnya. Ingat kata-kataku, Clara adalah arwah yang tak bisa kamu percayai. Dia berbeda denganku. Meski dia baru saja meninggal, tapi levelnya sudah melebih level atas. Karena dendamnya begitu menakutkan.” Poci mengangkat kedua bahunya sembari seperti merinding ketika membicarakan dendam arwah itu.
Bukankah Poci adalah arwah gentayangan kenapa bisa merasakan merinding juga?
Sejak tadi Alana memang sengaja memberikan sahabat hantunya itu terus mengeluarkan informasi mengenai Clara. Ia kini menyempitkan kubil mata dengan tatapan begitu tajam, seakan dirinya ingin mendapatkan lebih banyak info dari arwah Clara.
“Sepertinya kamu memiliki informasi yang lengkap mengenai Clara, Poci? Dari serpihan dan persepsi yang kamu lontarkan mengenai Clara, seakan kamu mengetahui banyak hal darinya.”
Manik mata Poci mengembang, ia baru sadar ternyata ia sudah kejauhan membahas arwah yang dirinya temui beberapa hari lalu.
Sebenarnya ia tak mau tahu dan tidak mau cerita kepada sahabat manusianya ini. Namun, karena Alana terus berusaha untuk melakukan tindakan gegabah baginya, ia tak ingin sahabatnya kenapa-napa akibat ulah arwah yang tak ia sukai.
Poci masih bungkam tak bersuara.
Kediaman Poci membuat Alana semakin curiga, ia kembali bertanya kepada sahabat hantunya. “Tolong Poci, kita kan ini sahabat jika kamu mengetahui keberadaan Clara tolong beritahu aku. Lagian apa bagusnya menutupi suatu hal?”
Tiba-tiba mereka berdua mencium bau anyir, darah segar yang mengalir deras.
“Darimana asal bau itu Poci?”
Baik Alana dan Poci sedang berusaha mencari sumber bau yang begitu menyengat. Benar saja darah mengalir tak henti-henti dari luar ruangan. Hal ini membuat jantung Alana berhenti berdetak sejenak, bola matanya melotot, dan wajahnya begitu pucat setelah melihat sosok yang berdiri tepat di hadapannya.
Bersambung.