"Sorry, aku tadi marah-marah Jo. Aku emosi sih." Kata Lintang.
Aku menghela nafas lega diujung telepon. Lintang yang kukenal paling gengsi untuk minta maaf, sekarang ia minta maaf lewat telepon padaku. Ternyata pertemananku dengannya masih akan berlanjut.
Aku kembali semangat untuk menanyakan kabarnya. Tapi Lintang selalu membanting stir pembicaraanku kearah Saga melulu. Setelah lima menit mencoba akhirnya aku menyerah juga dan mengikuti satu-satunya topik yang diangkat Lintang.
"Kamu kan udah berbulan-bulan duduk sama Saga, kamu udah akrab banget dong sama dia?"
.
"Nggak." Sahutku yakin. Definisiku soal akrab adalah saling curhat-curhatan, tapi aku tidak pernah curhat masalah pribadiku pada Saga.
"Tapi kan kalian pastinya sering ngobrol! Makanya tadi kalian udah nyaman sebelahan satu sama lain."
"Nggak juga." jawabku dengan nada datar. Tapi setelah kupikir-pikir masa' iya aku diem-dieman dengan teman sebangkuku sendiri?
Lintang menghela nafas frustasi di ujung telepon, "Terus kenapa dia mau kamu ajak makan berdua dimal waktu itu? Terus apa kalian sering ketemuan diluar jam sekolah?"
Aku mengerutkan kening sejenak sebelum menjawab, "Ya waktu dia belanja roti."
Lintang menjerit diujung telpon. Aku sampai terperanjat kaget. Ya ampun Lintang, kamu berlebihan sekali. Lintang salah paham mengira aku sering belanja roti dengan Saga.
Aku menjelaskan padanya kalau aku bekerja sambilan jadi penjaga toko roti. Kira-kira dua hari sekali Saga selalu datang belanja roti di tokoku. Kadang kalau anaknya pak Wito tidak bisa mengantar roti, aku juga yang mengantar roti ke rumahnya.
"Kenapa dia beli roti di tempatmu? Kenapa Saga beli roti dua hari sekali? Kenapa dia nggak nyuruh ibunya, bapaknya,saudaranya, sopirnya atau pembantunya?" Semprot Lintang.
"Wah, Saga punya supir di rumah?" Ujarku sebelum melanjutkan bertanya, "Lintang tau darimana?"
"Hiiiihhh." Lintang menggertakan gigi gemas, "Aku cuma asal sebut!"
"Oh."
"Jawab dong pertanyaanku yang tadi!" Seru Lintang jengkel.
"Mungkin karena toko kueku paling dekat sama rumahnya."
"Sering amat Saga beli roti. Apa Saga nggak makan nasi?" Tuduh Lintang.
"Nggak, dia normal. Senormal-normalnya orang Indonesia asli."
"Kamu sering mampir kerumahnya?"
"Nggak pernah." Aku selalu nolak kalau ditawari.
"Apa kamu nggak pernah berantem sama Saga?"
"Kenapa aku bertengkar dengan Saga?" Aku ganti bertanya.
"Ya siapa tau."
"Nggak pernah."
"Apa kalau sama kamu dia nggak sengak?"
"Dia bukan bermaksud sengak. Cara bicaranya memang begitu."
"Dia pernah ngelakuin hal yang so sweet ke kamu nggak?"
Aku mendengus," So sweet macam apa?"
"Misalnya dia manjain kamu atau bantuin kamu tanpa di minta atau apalah..." Paksa Lintang.
"Nggak pernah. Kecuali minta bantuan soal pelajaran, aku nggak pernah minta bantuan Saga."
"Masa' kamu nggak kayak anak-anak perempuan lain yang sedikit-sedikit suka minta bantuan Saga, misalnya untuk membukakan tutup botol air mineral yang baru dibeli?"
"Hah? Maksudmu akting lemah di depan Saga? Nggak pernah. Aku malah pernah nangkap laba-laba besar di bawah mejaku yang bikin Saga kaget."
"Nangkap laba-laba? Serius?" Aku bisa membayangkan Lintang melongo di ujung sana.
"Yap." Jawabku yakin.
"Jadi Saga nolak kamu ya?" Selidik Lintang.
"Nolak? Nembak saja nggak pernah. Aku kan nggak naksir Saga."
"Nggak mungkin, bohong!! Apa kamu nggak normal? Saga yang seganteng itu? Apa kamu sukanya sama yang mukanya jelek nggak jelas? Atau kamu buta?" Pekik Lintang.