Biasanya selama menunggu jam pelatihan eskul dimulai aku selalu nongkrong di lorong sepanjang kelas 9 disamping lapangan sepakbola untuk mengerjakan PR bersama May. Ia juga menunggu kegiatan eskulnya, eskul musik.
Biasanya lagi kami menunggu sambil mengerjakan PR dikelilingi suara anak laki-laki yang main bola sepulang sekolah. Kadang mereka dengan bar-bar langsung melempar tasnya ke lorong tanpa lihat-lihat sebelum lompat ke lapangan untuk main bola. Sampai pernah hampir saja ada tas nyaris menimpuk wajahku.
Sekitar jam setengah tiga, tanpa di undang Lintang datang bergabung dengan kami. May yang masih marah dengan Lintang gara-gara kejadian di bus, langsung melancarkan aksi mogok bicara dan menyibukan diri mengerjakan LKS PPKN. PR yang sebetulnya di kumpulkan minggu depan. Lintang bukan anggota ekstra musik ataupun melukis, ia anggota paduan suara. Seingatku memang hari ini anggota paduan suara juga sedang latihan.
Lintang melirikku kemudian melirik kearah lapangan, menatap Saga yang sedang main sepakbola kemudian bergumam menunjuk kesatu tas berwarna biru gelap, "Ini tas Saga bukan?"
Aku diam untuk mengingat-ingat siapa pemilik tas yang diletakan kira-kira dua jengkal dari tempatku duduk ini, "Kayaknya iya." Jawabku.
Tau-tau dengan marah Lintang menginjak tas Saga. Aku melongo. May bahkan meletakan LKSnya kelantai untuk memandang Lintang sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan gitu." Ujarku panik. Soalnya Lintang mungkin nggak tau kalau si Saga lagi menggiring bola tepat di depannya persis detik itu juga. Saga memang ada disini daritadi. Soalnya kan dia juga menunggu jadwal eskul melukis.
"Kamu kenapa sih?" Tanya May heran.
"Pokoknya Saga nyebelin. Aku dicuekin terus sih." Seru Lintang tiba-tiba mengumumkan kekecewaannya di muka umum. Didepan May yang padahal bukan teman dekatnya.
Lebih anehnya lagi begitu selesai bicara, Lintang mendengus lalu langsung berjalan pergi. Aku dan May memandang kepergian Lintang yang dramatis seperti adegan sinetron sambil melongo.
"Lintang salah makan atau habis ditolak mentah-mentah sama Saga ya? Kok dia kayak orang mabuk gitu? Liat aja tas Saga sampai ada bekas tapak kaki tuh." Kata May.
"Iya. Kasihan ya tas Saga jadi kotor." Gumamku sambil buru-buru menepuk-nepuk bagian tas Saga yang kotor.
"Ih ngapain kamu bersihin tasnya segala? Kan bukan kamu yang ngotorin! " Protes May jijik melihatku menepuk-nepuk bekas tapak kaki.
"Nanti kita yang dituduh nginjek tas Saga lagi." Jawabku sekenanya.
Lalu keanehan Lintang ternyata tidak berhenti sampai disitu. Kira-kira setengah jam kemudian handphoneku bergetar menerima pesan. Pesan dari Lintang. Ia minta tolong padaku untuk menyampaikan salam pada Saga. Lintang memohon-mohon padaku lewat telepon segala, padahal aku sedang di tengah latihan.
Barusan saja ia menendang tas Saga, lalu tau-tau ia titip salam. Bukannya lebih baik Lintang minta maaf dulu sebelum titip salam? Tapi rasanya Saga nggak tau sih tasnya habis di injek karena aku sudah membersihkan jejak buktinya (Kalau soal Saga lihat atau tidak pas tasnya di injek-injek itu aku kurang tau. Soalnya sampai pertandingan berakhir dan dia ngambil tasnya, Saga tidak menunjukan reaksi apa-apa. Mungkin Saga nggak lihat tasnya di injek-injek depan idungnya karena terlalu serius main bola)
Terus kenapa juga, Lintang tidak kasih salam sendiri? Padahal aku yakin Saga kenal Lintang, yah siapa juga yang tidak kenal Lintang disekolah? Bahkan mungkin Saga tau perasaan Lintang semenjak kejadian di depan jendela itu. Aku tidak tau benar kenapa Lintang tadi jengkel. Aku nggak tau apa yang terjadi diantara mereka berdua. Yang paling penting aku tidak tau harus bilang apa, jadi kuiyakan saja tapi tidak janji.
Sebenarnya aku tidak berniat untuk menyampaikan salam Lintang dalam waktu dekat. Seumur hidup aku belum pernah titip salam atau menyampaikan salam orang kesiapapun. Jarang-jarang aku mengajak anak laki-laki bicara duluan. Belum tentu juga aku bisa berdiri didekat Saga dalam radius beberapa meter. Kami beda kelas dan jarang satu bus. Yang paling penting, aku tidak betul-betul kenal Saga. Kami nggak pernah ngobrol satu kalipun. Intinya aku bukan golongan temannya.
Menjelang magrib, kegiatan eskul selesai. Aku dan May langsung naik bus pertama yang melintas di halte. Biasanya hanya 2 atau 4 anak lain yang satu sekolah denganku yang juga baru pulang karena kegiatan eskul, tapi hari ini bus penuh dengan anak-anak sekolahku. Saga salah satu diantara mereka. Kebetulan lagi Saga berdiri tidak jauh dari tempatku duduk.
"Kenapa kamu kelihatan gelisah sih Jo?" Tanya May heran.
"Lintang minta aku titip salam ke Saga." Bisikku.
"Setelah nendang tas Saga? Sinting apa dia?" Seru May.
Aku mengangguk setuju dengan muka serius. May ketawa ngakak. Beberapa kilo sebelum halte rumahku, May turun dengan rombongan penumpang lain meninggalkanku hanya dengan Saga duduk dikursi panjang di barisan paling belakang.
Semakin dekat halte tempatku turun, semakin aku gelisah. Kalau bukan aku orang yang selalu menepati amanah pasti aku tidak akan segelisah ini.
"Lintang titip salam." Ujarku pelan sambil memandang kosong kedepan seperti orang bodoh.
Aku tidak yakin suaraku sampai di telinga Saga, apalagi ditutupi suara mesin bus yang kencang. Tapi yang penting aku sudah menyampaikan salam Lintang.
Beberapa detik kemudian tanpa sadar, aku menoleh kearah Saga. Saga juga menoleh menatapku. Mata kami saling bertatapan untuk waktu yang tidak sebentar. Pipiku memerah tanpa kutau alasannya. Apa Saga dengar? Aku tidak tau karena wajah Saga yang kulihat saat ini tampak tanpa ekspresi dan Saga tidak berkata apa-apa. Yang paling penting, aku juga tidak punya nyali untuk bertanya padanya.