“Kamu udah denger belum kalau barusan aja ada yang nembak Saga?” Bisik May waku aku sibuk memilih milih boneka binatang disalah satu toko souvenir saat bus wisata sekolah berhenti sebentar untuk istirahat siang di pusat kegiatan tepat dibagian tengah kebun binatang.
“Bukan Lintang kan?”
“Lintang? Oh, bukan, bukan dia. Anak kelas 8E kok. Siapa ya namanya? Emi kalau nggak salah, kamu kenal nggak?”
"Nggak tau." Aku menggeleng.
“Itu yang badannya tinggi, pakai kawat gigi rambutnya kayak Cleopatra.”
“Kapan nembaknya? Waktu tadi pagi dihotel?” Tanyaku.
“Tadi waktu kita masih makan siang di restauran, waktu kita denger suara ribut ribut, kita kira kan ada apa gitu, ternyata Emi lagi nembak Saga.”
“Didepan umum?”
May mengangguk “Iya, ditolak pula. Bayangin aja malunya kayak gimana.”
Sudah beberapa kali aku dengar cerita ada anak nembak Saga dan semuannya ditolak. Tapi juga kagum pada mereka yang berani ngungkapin perasaannya, Lintang, Dita dan Emi sama-sama mirip, mereka berusaha membuat orang yang mereka suka untuk tertarik pada mereka. Kalau itu aku, aku nggak akan berani sampai kapanpun juga. Apalagi nembak orang sejenis Saga yang seram begitu. Saga emang nggak bentak atau marah, tapi cukup ngeliat tatapan matanya saja yang menohok itu aku sudah ciut.
Aku jadi ingat kejadian tadi malam, waktu Lintang mengajakku belanja snack padahal baru sejam yang lalu kami makan malam. Aku juga masih kenyang, tapi Lintang bersikeras gara-gara ia nggak sengaja dengar kalau Saga dan Abdul mau beli snack di toko 24 jam diseberang hotel. Aku nggak tega meninggalkan Lintang luntang-luntung sendirian jadi aku mengiyakan. Aku mengikuti Lintang mengekor dibelakang Abdul dan Saga yang nggak sadar kalau Lintang berjalan dibelakangnya.
Harapan Lintang untuk bisa ngobrol dengan Abdul dan Saga nggak terkabul karena walaupun akhirnya Saga dan Abdul sadar kalau Lintang mengekor dibelakangnya, Abdul cuma menyapa dengan melambaikan tangan tanpa mengajak Lintang mengobrol sama sekali. Sementara Saga malah diam saja. Akhirnya Lintang balik ke kamarnya sambil cemberut.
Nggak jauh berbeda dengan kejadian dua hari yang lalu saat Lintang mengajakku dan May naik roller coaster di taman bermain cuma gara-gara ada Saga ikut mengantri wahana itu. Padahal wahana roller coaster artiannya paling panjang. Padahal pula Lintang tau kalau aku belum pernah naik roller coaster dan ragu-ragu untuk naik karena takut.
Lintang bersama temannya Bunga,- ingat kan si juru kamera pertandingan bola berbulan-bulan yang lalu itu? tambah bersemangat duduk di kursi roller coaster, karena mereka duduk tepat dibelakangnya Saga. Sementara aku yang duduk dibelakang mereka bersama May mau muntah saking takutnya.
Lintang kembali cemberut karena begitu kami keluar wahana, Saga sama sekali nggak melirik ke arahnya. Sudah begitu Lintang tetap ngeyel untuk mengikuti Saga lagi untuk menaiki kora-kora. Masih belum pulih dari mual-mual menaiki roller coaster sekarang aku harus naik permainan lain yang lebih seram.
“Ikut aja Jo! May aja juga mau naik kora-kora, masak kamu mau luntang-luntung sendirian nungguin kita?” Desak Lintang waktu aku menolak untuk ikut naik.
Akhirnya aku ikut lagi naik kora-kora. Selama ngantri polanya masih sama, Lintang kelihatan excited. Dia sama sekali nggak peduli panasnya udara siang hari, capeknya harus ngantri padahal dia dikacangin.
Aku menggerutu, sebetulnya takaran rasa suka Lintang ke Saga atau ke Abdul banyakan mana sih? Terus dimana ini Abdul? Kenapa Lintang nggak ngintilin Abdul aja?! Siapa tau ngintin Abdul lebih aman di banding ngintilin Saga. Siapa tau juga Abdul mau naik wahana istana boneka
Akhirnya aku berakhir dengan naik apapun yang dinaiki oleh Saga. Masalahnya yang nggak kukira May ternyata punya selera wahana yang sama dengan Saga. Makanya dia nggak terlalu protes diajak oleh Lintang ngintilin Saga.
Puncaknya, Lintang bahkan memohon-mohon padaku dan May untuk harus satu restauran yang sama dengan Saga, saat kami sama-sama ingin istirahat untuk minum.
Dalam hati sebenarnya aku yakin, cepat atau lambat Saga pasti akan sadar kalau ia dibuntuti. Buktinya di restoran, Saga menatap gerombolan kami dengan satu alis naik. Bahkan teman-teman Saga juga menatap kami terangan-terangan sambil nahan ketawa.
“Kayaknya Saga ngeliat kearah sini.” Kata May cuek.
“Oh ya?” Ujar Lintang malah jadi super semangat bukannya grogi, "Saga ngeliat ke arahku nggak Jo?”
Aku menoleh, meja Saga dan teman-temannya kira kira beberapa meter dari mejaku. Aku nggak terlalu yakin suara Lintang cukup pelan untuk nggak bisa didengar. Buktinya Saga balas menatap mataku terang- terangan. Aku buru-buru buang muka panik. Sementara Lintang langsung menendang kakiku di bawah meja.
“Bisa nggak sih ngelirik tanpa ketahuan?” Bisik Lintang sewot, “Tapi nggak apa-apa sih. Saga tau aku ada di deketnya aja, aku udah seneng kok."