Magetan, April 1987
Masa muda adalah masa yang paling indah. Tidak bisa dipungkiri lagi. Masa muda adalah momen banyak orang merasakan kebahagiaan. Mengenal satu sama lain, mempelajari banyak hal baru, dan mencoba berbagai pengalaman seru. Masa-masa muda juga sering dikaitkan dengan masa pencarian jati diri. Naik-turunnya fase ini akan memberikan banyak pelajaran berharga dalam hidup. Nggak ada jaminan semua akan berjalan menyenangkan. Meski ada banyak rintangan, masa muda akan memberikan kenangan nggak akan terlupakan.
Begitupula dengan masa muda gadis belia yang bernama Indah Hapsari. Gadis manis itu mengabadikan masa mudanya dalam sebuah saksi berupa buku kecil yang nantinya akan dia simpan rapi.
Dalam balutan keterbatasan ekonomi, Indah panggilan akrabnya tidak merasa berkecil hati. Hanya putri dari pengrajin anyaman bambu dan buruh tani, Indah masih mampu bersekolah selayaknya anak sebayanya.
Berbekal uang seadanya, Indah menerima bantuan untuk siswi kurang mampu dari sekolah rakyat tempat indah merangkai masa depannya.
Gadis berkulit sawo matang itu tidak minder dengan teman lainnya. Bahkan, banyak dari teman Indah yang berbondong-bondong menjadi sahabat karena Indah merupakan siswi yang berotak tajam.
Bahkan pada saat jam istirahat seperti ini, Indah sering menyendiri untuk mengulang materi yang diajarkan gurunya tadi.
Hingga kedatangan Mansyur teman dekatnya tak dia sadari.
"Ndah, pulang nanti kita ke kajian bareng, ya?" Mansyur menepuk bahu Indah karena melihat gadis itu tengah terbuai dengan lamunannya.
Sekonyong-konyongnya, Indah menoleh dan mendapati Mansyur tersenyum manis padanya.
"Ya wes, Syur. Tunggu aku, ya?" Indah tidak menolak ajakan teman baiknya itu.
Mansyur adalah pemuda yang sopan. Meskipun bukan berasal dari desa yang sama, Masyur sangat tahu unggah-ungguh. Pemuda itu tidak seperti pemuda kota pada umumnya.
Bahasa daerahnya yang masih belepotan hasil kepindahannya membuat dia harus menguras sebagian besar daya ingat pemuda itu.
Benar, Mansyur bukan berasal dari desa tempat tinggal Indah. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas merusak persahabatan keduanya.
Memiliki umur yang terpaut hanya beberapa bulan saja, Indah dan Masyur mudah dekat satu sama lain. Terlebih, Masyur memiliki tipe watak yang mengayomi Indah. Tak jarang, orang lain yang melihat kedekatan keduanya menerka jika Masyur dan Indah adalah sepasang kekasih.
Pernah suatu ketika, mereka berdua berjalan bersama menuju sekolah. Seorang nenek mengaduh kesakitan usai menjadi korban tabrak lari. Masyur dan Indah membantu nenek itu dengan membawanya ke balai pengobatan terdekat. Dan nenek itu berterima kasih kepada mereka dengan menyebut jika keduanya adalah muda mudi yang sangat baik. Serta mendoakan hubungan keduanya langgeng hingga ke pelaminan.
Tentu saja terkaan nenek itu disambut gelak tawa oleh Indah serta Mansyur.
"Tapi, Syur. Aku arep bantuin ibu dan bapakku neng sawah. Rasane ndak mungkin iso melu kajian."
"Loh eman tho, Ndah. Udah Minggu depan aja deh kalau gitu. Opo mau aku bantuin ke sawah?"
"Ndak, ndak usah, Syur. Aku wedi awakmu didukani bapak lan ibumu."
"Alah gak papa, Ndah. Aku bakal minta izin dulu ke ibuku."
Keduanya sepakat untuk absen mengikuti kajian mingguan. Hanya saja, Masyur kekeuh ingin ikut Indah ke sawah yang digarap oleh orang tua Indah.
Jika waktu sawah tiba, warga desa sibuk mengolah lahan mereka. Pun sama halnya dengan kedua orang tua Indah. Tetapi, jika tidak dalam masa tanam, bapak Indah memiliki usaha sampingan yakni menganyam bilah bambu yang dia beli dari tetangga.
Rutinitas seperti itu telah dilakoni keluarga Indah sejak bertahun-tahun yang lalu.