Sumpah kenapa juga seharian ini perutku mules. Sudah berulang kali aku pamit ke toilet dan meninggalkan kelas. Apa mungkin gara-gara semalam aku terlambat makan sehingga berakibat fatal seperti ini. Rasanya ini pelajaran berharga dariku dan aku janji akan lebih menjaga kesehatanku.
Aku sudah berjalan ke UKS kali ini. Aku ingin minta obat diare saja kepada petugas di sana daripada perutku terus melilit dan merusak konsentrasi. Untung saja petugas UKS-nya baik dan mau berbagi obat untukku.
“Gimana, Dit? Udah enakan?” tanya Erwin.
Aku sudah kembali ke kelas dan usai minum obat diare juga.
“Udah, cuman aku lemes banget, Win.” Aku duduk sambil menyandarkan punggungku. Untung saja mata pelajaran sudah berakhir sehingga aku bisa sedikit istirahat.
“Kenapa gak istirahat di UKS saja, sih? Siapa tahu nanti Ranti jenguk kamu.” Erwin langsung terkekeh usai mengakhiri kalimatnya. Senang banget dia melihat teman yang kesusahan seperti ini.
“Gak, akh. Malu. Kecuali kalau aku sakit di rumah dan Ranti menjengukku di kamar.”
“Huh!! Itu maumu.” Aku ganti yang terkekeh. Bagaimana pun berteman dengan Erwin memang mengasyikkan. Sakit perut saja jadi bahan candaan olehnya.
“Nanti pulang sekolah kuat gak naik sepeda. Kalau gak kuat biar aku gendong kamu.”
Lagi-lagi aku tertawa. Bener-bener deh Erwin. Gak habis-habis godain aku.
“Kuatlah ‘kan ada yayang Ranti,” jawabku asal.
“Cie ... Adit, cie ... .” Erwin malah kembali menggoda dan kini suaranya sedikit keras sehingga banyak teman di kelas yang menoleh ke arah kami.
Aku langsung memelotot ke arah Erwin dan memberi isyarat padanya untuk memelankan suara. Memang sebagian besar temanku di sekolah tidak tahu kalau aku semakin dekat dengan Ranti. Kami memang hanya melakukan interaksi selepas sekolah saja. Saat di sekolah, kami bahkan jarang bertemu.
Aku juga bakal malu kalau seluruh sekolah tahu. Nanti saja saat kelulusan akan kuproklamirkan status hubunganku dengan Ranti. Biar semua anak tahu kalau Ranti Adinda itu punyanya Aditya Samuel.
Pulang sekolah ini, aku mampir ke toilet dulu. Untung saja hari ini aku tidak bareng dengan Ranti. Gadis manis itu hari ini tidak masuk sekolah karena ada keperluan keluarga. Kemarin dia sudah pamitan denganku. Ternyata obat diare itu hanya bertahan beberapa saat selanjutnya perutku bereaksi lagi.
Aku menghela napas panjang sambil menahan sakit di perutku usai keluar dari toilet. Kini aku sudah bersiap pulang usai mencuci tangan. Namun, langkahku terhenti saat melihat dua sosok siswi yang berjalan ke arah toilet putra.
Aku mengernyitkan alis dan melirik sekilas. Memang di sebelah toilet putra ada lahan kosong yang biasa digunakan anak-anak bolos dari jam pelajaran yang tidak disukai. Namun, biasanya itu dilakukan oleh siswa bukan oleh siswi yang baru saja aku lihat. Lagipula ini kan jam pulang sekolah. Apa yang mereka lakukan di sana? Karena penasaran, aku mengintip keluar untuk mencari tahu siapa dua sosok yang berada di lahan kosong itu.
“Udah, Ndy jangan nangis. Aku yakin Ranti tidak akan marah padamu,” ucap salah satu siswi tersebut.
Aku mengenal suaranya apalagi saat dia menyebut dua nama yang juga aku kenal. Apa mereka Indy dan Yanti? Kenapa juga berada di sini? Apa yang mereka lakukan?
Aku terdiam dan mencoba menyembunyikan diri. Harusnya aku pergi saja dan tidak berdiri diam sambil menguping seperti ini. Namun, kakiku membeku seakan sulit digerakkan apalagi telingaku langsung berdiri tegak saat dua teman Ranti itu menyebut namaku.
“Kamu tahu kalau Ranti suka Adit dan begitu juga sebaliknya. Lalu kenapa kamu malah masuk di antara mereka, Ndy?”
Aku tercengang kaget saat mendengar Yanti berkata seperti itu. Berarti benar tebakanku kalau Indy memang menyimpan rasa padaku. Apa dia telah salah mengartikan perhatianku selama ini? Atau aku yang tidak menjaga jarak dengannya dan menganggap dia sama seperti Erwin.
“Iya, aku tahu salah. Itu sebabnya aku selalu menghindar bertemu mereka berdua. Aku tidak mau perasaanku ini membuat mereka salah paham.”
Terdengar helaan napas Yanti kali ini. “Menurutku sikapmu itu malah membuat mereka curiga. Sudahlah, Ndy. Aku mohon lupakan Adit. Kamu bisa dapat yang lebih baik dari dia. Lagi pula bukankah kamu lebih sayang pada Ranti. Apa kamu mau mengorbankan persahabatan kita hanya karena kamu menyukai pria yang sama dengan Ranti?”
Aku kembali terkejut. Apa memang sudah sedalam itu perasaan Indy padaku? Ya Tuhan ... sepertinya aku juga yang salah. Seharusnya aku menjaga jarak dan tidak memberi perhatian serta sikap yang sama seperti yang aku berikan ke Erwin. Pantas saja dia tampak berbeda belakangan ini. Indy juga sering bersikap aneh. Apalagi saat aku datang ke rumahnya tempo hari untuk mengembalikan kaset CD.
Aku terhenyak sambil bersandar di dinding toilet. Padahal tadinya aku menahan perutku yang sakit, tapi sekarang aku menahan sakit di dadaku karena merasa bersalah telah merusak persahabatan tiga gadis ini.
“Jadi kamu gimana sekarang, Ndy?” lagi-lagi terdengar suara Yanti.
“Aku tidak bodoh, Yanti. Aku tidak akan membuat Ranti terluka. Aku lebih sayang dia daripada yang lain. Aku akan membuang jauh perasaan ini dan tidak ada yang boleh tahu.”
Yanti tersenyum kemudian memeluk Indy dengan erat. Aku melihat semua interaksi mereka dengan mengintip sekilas. Aku mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Ranti sangat beruntung memiliki sahabat sebaik mereka. Bukankah sekarang sangat sulit mencari teman seperti mereka. Malah yang ada PMP alias pren makan pren.
Aku menyembunyikan diriku ke bilik toilet saat dua gadis itu bersiap pergi. Mereka tidak boleh tahu kalau ada aku di sini yang sedari tadi mendengarnya. Mereka pasti malu lebih-lebih Indy. Dia pasti akan kebingungan bersikap jika tahu aku mendengar semua ucapannya.
“Kok lama, Dit. Perutmu masih sakit?” cercah Erwin begitu aku menghampirinya.
Hari ini aku memang sengaja bareng dengan Erwin. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Erwin sambil meringis menahan sakit. Padahal banyak hal yang aku lakukan tadi, termasuk mendengar percakapan Yanti dan Indy.
“Terus gimana sekarang? Kuat untuk pulang?” Kembali Erwin bertanya dengan khawatir. Aku kembali mengangguk dan tersenyum.
“Iya, aku kuat. Bukankah katamu kalau aku gak kuat mau kamu gendong.”
Erwin langsung cemberut sambil melengos menghindar dariku. Aku hanya tertawa melihat ulah sahabatku si Rambut Brokoli ini. Memang benar kata pepatah, tidak ada pertemanan antara pria dan wanita yang tanpa melibatkan perasaan. Pasti salah satu dari mereka akan mempunyainya, tidak sekarang, mungkin besok, nanti atau kapan kita tidak tahu.
Aku menghela napas panjang sambil mulai mengayuh sepedaku. Di sebelah aku melirik Erwin yang sedang mengoceh macam-macam sementara jauh di depan sana aku melihat Indy bersepeda seorang diri. Ranti tidak masuk sekolah hari ini dan aku tidak berniat menghampirinya atau mengajaknya bareng. Sudah cukup pelajaran hari ini, aku tidak mau membuat hati orang lain terluka. Lebih-lebih saat aku tahu kalau hatiku sudah tertambat hanya ke satu gadis saja, yaitu Ranti Adinda.