“Udah dong, Dit. Mingkem dikit napa. Emang gak takut kering gigimu dari tadi masak senyum mulu,” protes Erwin pagi itu.
Senin pagi ini aku sengaja berangkat sekolah bareng dengan Erwin dan sepanjang perjalanan menuju ke sekolah aku terus tersenyum. Apalagi saat mengingat kejadian minggu kemarin. Kenapa juga aku gak kepikiran merekam momen kebersamaan kami kemarin.
Aku menggeleng dengan cepat sambil mengatupkan bibir dan kini Erwin kembali melihat ke arahku dengan curiga.
“Kenapa lagi, Dit?” Aku tersenyum cengengesan sambil menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Erwin. Aku gak mau menceritakan apa yang sedang kupikirkan tadi. Lama-lama Erwin berpikir kalau aku gila nantinya.
Seharian ini aku sangat semangat mengikuti pelajaran. Tadi juga aku sempat bertemu Ranti saat di kantin, hanya saja karena sudah keburu bel kami tidak bisa bertegur sapa sedikit lama. Itu tak masalah buatku, karena nanti sepulang sekolah aku pasti akan bertemu dengannya.
Saat yang paling aku tunggu dan kusukai setiap hari adalah pulang sekolah. Saat aku bisa berduaan bersama Ranti, tanpa malu dengan tatapan teman yang curiga. Apalagi dengan pandangan guru killer di sekolah.
“Sorry ya, nunggu lama. Aku tadi nyelesain catatan dulu,” ucapku. Aku memang sedikit terlambat keluar dari kelas.
“Iya, gak papa, kok.” Ranti sudah mulai mengayuh sepedanya dan aku gegas mengikuti. Hanya saja aku kini celinggukan mencoba mencari ada sosok yang hilang kali ini.
“Kamu cari siapa?” Ranti membuyarkan kebingunganku. Aku terdiam dan menoleh ke arah Ranti. Jakunku naik turun menelan saliva.
“Indy gak masuk lagi?” tanyaku. Ranti tersenyum sambil menggeleng.
“Dia masuk, kok. Hanya saja hari ini dia dijemput kakaknya. Memangnya kenapa nyari Indy?” Ranti penasaran dan aku mendengar ada nada cemburu di kalimat tanyanya.
“Aku mau balikin kaset cd-nya, tempo hari sempat aku pinjam.”
Ranti hanya mengangguk sambil bibirnya sibuk membentuk huruf ‘o’. Aku hanya tersenyum dan melihat Ranti biasa saja menanggapinya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kalau Ranti tadi sedikit cemburu. Itu perasaanku saja atau memang dia benar-benar cemburu.
Aku menggelengkan kepala dengan lirih sambil mengulum senyum geli. Kalau dia cemburu itu artinya dia juga menyukaiku dan cintaku tak bertepuk sebelah tangan selama ini.
Sayangnya kali ini Ranti melihat reaksi anehku dan melihat ke arahku dengan curiga.
“Kenapa senyum-senyum? Ada yang lucu, ya?”
“Enggak. Hanya saja aku sedang menunggu janjimu saat ini.”
“Janji?” Ranti mengernyitkan alis sambil melihat ke arahku.
“Iya. Bukannya kamu janji mau buatin aku puisi dan sekarang aku menagihnya.” Ranti langsung tersenyum mendengar ucapanku.
“Aku sudah buatin, kok. Rencananya mau aku kasih ke kamu saat kita pisah di jalan nanti. Namun, kayaknya kamu sudah gak sabar.” Aku tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala. Kemudian Ranti tiba-tiba mengeluarkan sepucuk kertas yang terlipat rapi dari saku bajunya.
Aku menerima dengan riang dan langsung kusimpan di saku bajuku. Tidak mungkin juga aku baca sekarang saat sedang di jalan. Yang ada aku benar-benar terbang ke awan usai membacanya.
Kami kembali mengobrol dan tak terasa sudah tiba di depan gang rumah Ranti. Andai saja bisa, pasti akan aku seret mundur rumah Ranti agar lebih dekat ke rumahku. Waktu dua puluh menit ternyata belum cukup untuk kuhabiskan dengannya dalam sehari. Kami berpisah dan seperti biasa, aku selalu terdiam menatapnya hingga menjauh.
Kini aku kayuh sepedaku lebih cepat. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan kaset CD milik Indy yang aku bawa. Aku memang berniat mengembalikannya hari ini. Mungkin sebaiknya aku ke rumah Indy saja kali ini. Tanpa pikir panjang aku belokkan sepedaku ke rumah Indy dan tepat kata Ranti, kalau Indy sudah pulang lebih dulu.
“Adit, ngapain ke sini?” seru Indy. Sepertinya dia terkejut dengan kehadiranku. Aku hanya tersenyum usai memarkir sepedaku.
“Aku mau balikin kaset CD-mu. Makasih, ya!!” Aku gegas keluarkan kaset CD dari tas dan menyerahkannya ke Indy. Indy hanya diam sambil menganggukkan kepala.
Lagi-lagi aku melihat tatapan dan mimik wajah yang aneh dari gadis bermata sipit ini.
“Tumben kok kamu gak bawa sepeda, sih.” Aku sudah duduk lebih dulu sebelum Indy menyilahkan.
Indy hanya diam sambil melirikku sekilas. “Iya, sepedaku bannya bocor lagi dibenerin kakakku.”
Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. Kemudian aku kembali tersenyum sambil melihat ke arah Indy.
“Tahu, gak. Kemarin minggu aku bersepeda ama Ranti. Kami bersepeda bareng ke taman kota ... .” Aku sudah nyerocos dengan lancar menceritakan apa saja yang aku lakukan dengan Ranti minggu pagi kemarin. Entahlah, aku sudah merasa Indy itu sahabatku dan temanku juga seperti layaknya Erwin. Jadi aku sangat nyaman bercerita panjang lebar padanya.
Indy hanya diam mendengarkan ceritaku sambil berulang menganggukkan kepala. Namun, entah mengapa aku melihat wajahnya tampak bosan dan sedikit menyebalkan. Apa aku salah membagi cerita bahagiaku dengan sahabatnya. Selayaknya dia bahagia, dong. Bukankah begitu sahabat yang baik.
“Jadi kamu ke sini selain mau ngebalikin kaset CD juga mau cerita kencanmu?” seloroh Indy.
Aku langsung terbelalak kaget mendengar ucapan Indy. Kenapa juga Indy dan Erwin berpemikiran sama. Bahkan menyebut acara pergi main barengku kemarin sebagai kencan. Tuh kan beneran mereka ini kayak sahabatku saja.
“Bukan kencan, ya. Pergi main bareng, diralat, dong,” protesku.
Indy hanya berdecak sambil mengibaskan tangannya ke udara. “Ya ... terserah apa istilahmu yang penting artinya sama, kan?”
Aku menghela napas panjang kemudian menganggukkan kepala. “Iya, sih. Aku pikir kamu harus tahu. Bukankah kamu sahabatnya Ranti.”
“Aku sudah tahu dan tadi seharian Ranti juga cerita dari A sampai Z sama seperti yang kamu ceritakan. Puas?”
Aku terdiam, mengatupkan rapat bibirku sambil mengerjapkan mata menatap dengan bingung ke arah Indy. Kenapa dia terlihat marah kali ini? Apa aku melakukan kesalahan? Padahal aku sudah balikin kaset CD-nya tanpa rusak dan masih mulus.
Sepertinya Indy tahu dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba diam. Perlahan Indy menoleh ke arahku dan terlihat serba salah menatapku.
“Sorry, Dit. Aku gak bermaksud marah, aku hanya sedang lelah saja.”
Aku hanya manggut-manggut sambil mencoba memahami ucapannya. Namun, jujur saja aku sedikit bingung dengan tingkahnya kali ini.
“Iya, aku juga minta maaf. Kamu mungkin lelah menemani aku dan Ranti selama ini. Aku minta maaf, Indy.”
“Aku gak mempermasalahkan itu, kok. Aku hanya sedang lelah saja. Tadi ... nilai ulanganku jelek dan aku sedikit kesal. Itu sebabnya aku bersifat aneh kali ini.” Indy sudah memberi alasan dan aku hanya menganggukkan kepala menanggapinya. Meskipun aku tidak percaya seratus persen dengan alasannya itu.
“Terus tadi kalian bareng?” Indy sudah mengubah topik pembicaraan juga nada bicara. Namun, aku melihat ada yang disembunyikan Indy kali ini. Jujur, aku malah dengan acuhnya tidak mempedulikan sikap Indy kali ini.
“Iya kami bareng. Bahkan Ranti memberiku puisi. Kamu mau dengar isinya?”
Indy langsung memelotot ke arahku dan menggeleng dengan cepat. “GAK!! GAK!!! Kamu baca di rumah saja dan jangan buka di sini. Aku gak mau tahu tentang isinya sama sekali. Itu ... itu untukmu.”
Aku hanya tersenyum sambil berulang kali menganggukkan kepala. Lagian siapa juga yang mau membaca di sini. Ini adalah puisi dari Ranti buat aku dan akan aku nikmati sendiri nanti malam di kamarku. Aku sudah merasa lega dan bersikap acuh dengan sikap serta tatapan Indy yang seakan mencurigakan. Entahlah kenapa juga gadis bermata sipit itu bersikap aneh padaku? Apa mungkin kalau dia menyukaiku juga?