Hari ini akhirnya tiba, hari penentuan masa tiga tahun aku belajar dipertaruhkan. Yap, betul sekali. Hari ini adalah hari ujian akhir sekolah, hari yang selalu menjadi momok setiap siswa kelas sembilan. Seminggu ke depan aku akan bertarung dengan banyak soal ujian dan tentu saja bukan saatnya untuk bermain apalagi urusan cinta-cintaan.
Selama seminggu ini juga aku tidak bisa bertemu Ranti. Sepulang sekolah dia langsung les dan mamanya tidak membolehkan Ranti keluar rumah. Sangat beda dengan diriku yang sedikit lebih santai. Aku tidak berharap lebih apalagi dengan otak yang pas-pasan. Aku hanya berusaha semaksimal mungkin dan berusaha semampuku untuk menghasilkan yang terbaik. Itu saja.
Senin, selasa, rabu, kamis hingga jumat. Akhirnya tiba juga hari terakhir ini. Aku menghela napas lega usai mengerjakan ujian terakhir. Aku gegas keluar kelas dan melihat kelas Ranti yang berada jauh dari kelasku. Kali ini kami memang terpisah.
“Hayyo cari siapa?” seru Erwin menggoda.
Aku melirik si Rambut Brokoli sambil tersenyum manis. Tanpa menjawab dia pasti tahu siapa yang aku cari. Aku mendekatkan tubuhku ke Erwin dan berbisik lirih di telinganya.
“Nyari ayang aku. Kamu lihat gak, Win?” Erwin tertawa melihat ulah konyolku. Erwin memang tahu selama seminggu ini aku tidak bertemu Ranti. Dia pasti tahu betapa kangennya aku pada makhluk indah itu.
“Tadi Ranti sudah keluar, kok. Kayaknya di kantin.” Aku mengangguk dan gegas berjalan cepat menuju kantin. Suasana sekolah sedikit lebih ramai dari biasanya. Banyak siswa siswi yang bergerombol sibuk membicarakan ujian terakhir tadi. Aku bahkan kesulitan saat mencari Ranti di kantin.
Mataku jelalatan mencari makhluk indah pujaan hatiku itu, tapi sampai hampir juling Ranti tak tampak juga batang hidungnya. Apa dia sudah pulang? Aku mendecak kesal sambil melirik ke arah Erwin. Secara tidak langsung aku sudah menyalahkannya kali ini.
“DIT!!” Sebuah tepukan di bahu mengagetkan aku. Aku menoleh dan melihat Ranti sedang berdiri di depanku. Aku senang setengah mati, ingin rasanya aku peluk gadis manis ini. Namun, sangat banyak sekali mata yang sedang berada di kantin ini.
“Mau pulang bareng?” lanjut Ranti bertutur. Aku tidak menjawab, tapi kepalaku terus mengangguk tiada henti. Kuharap dia tahu betapa senangnya hatiku saat ini.
Selang beberapa saat, kami sudah bersepeda bareng pulang ke rumah. Kali ini sengaja kami bersepeda dengan lambat. Entah aku atau Ranti yang mulai dulu, seakan kami saling janjian melambatkan laju sepeda.
“Besok sabtu kamu diantar siapa?” tanyaku membuka pembicaraan. Sabtu besok memang sekolahku berencana mengadakan perpisahan ke Bali. Tentu saja aku sambut dengan antusias momen indah itu, apalagi ini adalah momen terakhirku bersama Ranti.
“Aku berangkat sendiri kayaknya.”
“Mau aku jemput?” tawarku. Ranti hanya tertawa sambil menggeleng. Kalaupun diiyakan oleh Ranti, aku yang bakal kebingungan. Aku aja besok gak tahu diantar siapa.
“Kalau udah lulus, kamu mau satu sekolah lagi sama aku?” Tiba-tiba Ranti bertanya seperti itu. Aku terkejut dan menoleh ke arahnya. Mata almond nan indah itu sedang menatapku penuh harap.
Aku masih terdiam dan tak bisa menjawab. Memang awalnya aku mengelak cinta monyet yang konyol ini. Aku juga tidak berharap akan bagaimana kelanjutannya. Aku hanya menjalaninya seperti air mengalir. Lalu kenapa sekarang Ranti berkata seperti itu? Apa itu artinya dia juga ingin meneruskan cinta monyet kami menjadi cinta sungguhan?
“Tentu, aku mau banget,” jawabku antusias. Ada banyak binar bahagia di mata almond nan cantik itu. Andai saja aku selalu bisa membuatnya seperti itu pasti sangat beruntung diriku. Aku hanya berharap Tuhan selalu berpihak kepadaku dan memberiku banyak kebahagiaan.
**
Sabtu siang, aku sudah berada di sekolah dan kali ini diantar oleh kakakku sendiri. Ada tujuh bus yang sudah berjejer di halaman sekolah. Aku sudah sibuk mencari kelompokku. Kali ini kami duduk tidak berdasarkan kelas, tapi diacak sesuai dengan keinginan siswa siswi. Sepertinya pihak sekolah sengaja membebaskan kami kali ini.
Kebetulan sekali aku satu bus dengan Ranti. Sayangnya dia tidak tahu dan aku sengaja tidak memberi tahu.
“Dit!! Kamu baru datang?” sapa Erwin.
“Iya, mana busnya?”
“Tuh yang nomor tiga. Ada tulisannya, kok. Ranti juga barusan masuk. Bangku kita di belakang seperti biasanya.” Aku mengangguk dan gegas berjalan menuju bus. Maunya aku masuk melalui pintu belakang, tapi karena pintu belakang penuh sesak dengan anak yang hendak masuk. Akhirnya aku memilih masuk lewat pintu bagian depan.
Aku langsung naik dan celinggukan sambil memperhatikan jalan. Saat ini aku sedang mengenakan topi pet hitam sehingga wajahku tidak terlihat jelas. Aku yakin Ranti pasti tidak akan tahu kalau aku sudah datang. Aku melihat ke bagian dalam bus dan melihat Ranti sedang berdiri sambil sibuk meletakkan tasnya ke bagian atas kursi.
Aku mengulum senyum saat melihatnya bersusah payah setengah mati meletakkan dengan baik barang bawaannya. Aku berjalan mendekat kemudian menahan barang bawaannya dan membiarkan Ranti mengaturnya.
“Makasih, ya,” ucap Ranti tanpa menoleh ke arahku.
Aku mengulum senyum gemas memperhatikan tingkahnya. Lalu aku sengaja bersuara dengan sedikit keras. “Iya,” jawabku singkat.
Segitu saja sudah membuat Ranti terjingkat kaget. Dia langsung menoleh ke arahku dan menundukkan kepala melihat wajahku yang tertutup topi pet.
“Adit!!!” seru Ranti dengan suara senangnya.
Aku tersenyum sambil mengangguk tanpa membuka topiku. Lagi-lagi aku melihat binar indah di mata almondnya. Dia cantik banget kalau seperti itu, kalah deh bintang di langit.
“Kamu naik bus tiga juga?” Kembali Ranti bertanya. Lagi-lagi aku hanya menjawab dengan anggukkan.
Untung saja hanya beberapa orang yang sudah naik bus sehingga interaksi kami tidak menganggu mereka.
“Kok kamu gak bilang kemarin?” Aku tersenyum lagi sambil mengedipkan sebelah mataku.
Perlahan aku condongkan tubuhku ke arah Ranti dan berbisik pelan di telinganya. “Surpraise. Kamu suka?”
Ranti kini tidak menjawab hanya mengangguk dengan wajah yang merona merah seperti tomat ceri. Aku tersenyum kesenangan. Ingin sekali aku loncat atau melakukan apa pun untuk menunjukkan kegembiraanku. Namun, apa daya aku sedang di dalam bus dan di tengah situasi serta kondisi yang tidak memungkinkan.
“Aku taruh tas dulu, ya!!” pamitku sambil menunjuk bangku belakang. Ranti mengangguk dan memberi jalan untuk aku lewat.
Rupanya Erwin sudah meletakkan beberapa tas di bangku belakang sebagai pertanda tempat kami duduk. Aku segera mengatur barang bawaanku dengan benar. Kemudian duduk di tempatku. Tak berapa lama semua siswa siswi sudah naik ke dalam bus. Sepertinya kami akan segera berangkat.
Aku hanya diam sambil menatap Ranti yang duduk di bangku tengah. Aku senang bisa melihatnya kembali meski kami tidak berdekatan. Perlahan Ranti menoleh dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu dan seperti biasa banyak yang sibuk kami bicarakan lewat tatapan saja.
Indah sekali cinta yang aku jalani dengan gadis satu ini. Cukup saling pandang dari kejauhan saja sudah membuat hatiku berlompatan. Cukup melihat binar indah di mata almondnya saja sudah membuat aku senang. Aku hanya berharap semoga selalu bisa membuat binar itu terus bersinar di mata indahnya.