“DIT!!!” panggil Erwin sambil berlarian ke arahku.
Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya. Aku baru saja datang dan usai memarkir sepedaku dengan rapi.
“Ada apa, Win?” tanyaku penasaran.
“Kamu udah belajar, Dit. Hari ini kita ulangan matematika, loh.”
Aku terdiam sesaat. Aku memang belajar semalam, tapi entah aku bisa mengerjakan semua soal ulangan hari ini atau tidak. Matematika kelas 9 ini sangat sulit menurutku. Padahal aku juga sudah ikut bimbel bahkan Ranti sering menerangkan cara penyelesaian soal. Hanya saja, aku selalu tidak fokus jika ada Ranti di sampingku.
“Udah.” Akhirnya aku putuskan menjawab asal saja, pasti nanti ujung-ujungnya Erwin minta aku contekin seperti biasa.
“Nanti jangan lupa contekin aku, ya!!” Tuh, kan tepat tebakanku. Padahal kalau dipikir-pikir otakku dan Erwin masih mending Erwin. Erwin juga sudah mengikuti les di luar sekolah ditambah bimbel gratis di sekolah.
Akh ... sudahlah, aku gak mau mempermasalahkannya. Nanti di kelas, aku buka buku catatan matematika sebentar saja untuk mengulang semuanya. Aku segera berjalan beriringan dengan Erwin menuju kelas. Namun, entah mengapa aku merasa ada yang tengah memperhatikan gerak gerikku saat ini. Aku gegas menoleh ke belakang dan melihat Indy sedang berjalan tak jauh di belakangku.
Aku melihatnya kemudian tersenyum seperti biasa saat menyapa teman. Namun, yang ada bukan balasan senyum cengengesan Indy seperti biasa. Gadis bermata sipit dan berekor kuda itu hanya diam sambil melihatku dengan tatapan yang aneh.
Aku tidak mempedulikan tingkah anehnya dan memilih mempercepat langkah menuju kelasku. Aku harus gegas masuk dan membuka catatanku sebentar hanya itu yang ingin aku lakukan. Sementara Indy, aku tidak melihatnya berada di belakangku lagi. Bisa jadi dia sudah berbelok menuju kelasnya.
Akhirnya aku bisa melewati ulangan matematika dengan lancar. Meskipun banyak sekali hitunganku yang salah karena kurang teliti. Namun, aku yakin Pak Muchtar guru matematika akan memberi nilai tambahan untuk pengerjaan yang menggunakan cara.
Aku berdiri sambil bersandar di jendela menatap kelas di seberang sana untuk mencari pujaan hatiku. Jujur saja, otakku sedikit penat dan butuh refreshing melihat yang indah-indah seperti Ranti. Aku tersenyum lebar saat melihat Ranti sedang duduk di bangku depan seperti biasa. Kali ini ada Yanti yang duduk di sebelahnya.
Aku mengulum senyum sambil menatap sosoknya dari jauh. Duh ... rasanya lega banget seperti rasa dahagaku sudah tertuntaskan seketika begitu melihatnya. Dia memang segalanya bagiku. Aku terus mengulum senyum sambil memperhatikan tingkahnya yang menggemaskan. Kenapa juga bibirnya selalu komat kamit seperti itu kalau menulis. Apa itu sebuah keasyikan tersendiri baginya?
Perlahan tiba-tiba Ranti menoleh ke arahku dan seakan tahu kalau aku sedang memperhatikan, dia tersenyum dengan manis. Akh ... wajahku langsung panas dan mungkin sudah merona merah. Apa-apaan ini kenapa juga aku yang tersipu malu. Harusnya kan dia. Aku menghela napas panjang sambil membalas senyumannya.
Namun, di saat bersamaan aku melihat mata lain yang juga sedang melihat ke arahku. Mata sipit dengan rambut ekor dua sedang menatapku dengan sinis dan penuh amarah. Bukankah itu Indy? Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Apa aku salah telah memperhatikan Ranti dari jauh.
“DIT!!” Tepukan tangan Erwin di bahuku membuyarkan semua tanya di benakku.
Aku menoleh ke arah Erwin, tanpa suara Erwin memberi tahu kalau ada guru yang sudah masuk ke dalam kelas. Perlahan aku langsung duduk manis di bangkuku dan mulai mengeluarkan buku pelajaran hari ini. Aku lupakan semua yang baru saja aku alami, termasuk tatapan sinis dan aneh dari Indy tadi.
**
“Win, minggu besok ikut aku, yuk!!” ajakku saat istirahat tiba.
“Ke mana?”
Aku terdiam menghela napas panjang lalu menggeser dudukku mendekat ke arah Erwin. Lalu perlahan aku bisikkan ke Erwin kalau aku akan mengajak Ranti bersepeda minggu pagi. Namun, aku malu kalau hanya jalan berdua dengannya. Itu sebabnya aku ajak Erwin sekalian.
“Aku jadi obat nyamuk dong, Dit!!”
Aku terkekeh mendengar protes Erwin. “Enggaklah, nanti aku traktir sarapan nasi pecel. Mau, gak?”
Erwin diam sesaat seperti sedang berpikir, kemudian mengangguk dengan pelan.
“Iya, tapi jemput aku besok minggu.”
Aku tersenyum kesenangan sambil mengacungkan jempol ke arah Erwin. “Beres!!!”
Aku dan Erwin kini berjalan beriringan menuju kelas. Tanpa sengaja kami malah bertemu Ranti bersama dua sahabatnya, Indy dan Yanti. Aku langsung tersenyum dan Ranti membalas senyumanku.
“Udah mau balik?” tanyaku basa basi.
“Iya. Aku duluan ya, Dit!!” Aku hanya mengangguk dan kembali tersenyum. Segitu saja aku udah seneng apalagi kalau berbincang lebih lama dengannya. Namun, lagi-lagi aku melihat tatapan sinis penuh kebencian dari Indy. Bukan, bukan kebencian itu seperti tatapan cemburu.
“Temannya Ranti kenapa, Dit? Kok ngeliatin kamu kayak gimana gitu,” celetuk Erwin.
Aku hanya diam tidak menjawab, ternyata bukan hanya aku yang merasakan keanehan pada gadis bermata sipit dan berekor kuda itu. Erwin juga melihat dan merasakannya.
“Gak tahu, lagi PMS kali,” jawabku asal. Erwin langsung tertawa dan menoyor bahuku dengan tangannya.
Aku tak mempedulikan lagi dan memilih konsen dengan pelajaran selanjutnya. Namun, saat pulang sekolah kembali aku melihat tatapan aneh Indy. Penuh dengan kemarahan, sinis dan seperti cemburu. Apa telah terjadi sesuatu padanya? Apa jangan-jangan Indy masih sakit dan memaksakan diri untuk masuk sekolah?
Sepanjang perjalanan pulang aku sering diam meski Ranti sudah bersepeda di sebelahku. Kali ini aku melihat Indy bersepeda jauh di depan kami seakan sedang mencoba menghindari aku.
“Apa Indy marah padaku, Ranti?” Aku memberanikan diri bertanya. Sungguh, aku tidak nyaman jika berada di posisi ini sekarang. Apalagi kemarin aku sudah meminjam cd lagu milik Indy. Apa mungkin juga gara-gara itu dia marah padaku?
“Enggak, kok. Memangnya kenapa, Dit?” Ranti malah balik bertanya dan melihatku dengan penuh kekhawatiran.
“Gak papa, sih. Cuman kok dia kayak menghindar dari kita. Apa jangan-jangan dia keberatan ya harus nemenin kamu terus?”
Ranti tersenyum lagi dan tampak menghela napas panjang. Untuk beberapa saat Ranti diam sejenak sambil melihat Indy yang bersepeda jauh di depan kami.
“Aku rasa Indy gak kayak gitu, Dit. Mungkin dia ingin cepat pulang makanya bersepeda duluan. Bisa jadi juga kondisi tubuhnya belum fit.”
Aku hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Ranti. Sepertinya memang keadaan Indy sama dengan yang aku duga. Aku hanya menghela napas panjang kemudian melihat lagi ke arah Ranti.
“Hari minggu besok jadi, ya!! Aku akan jemput ke rumahmu jam setengah enam pagi. Kamu udah bangun, kan?” Aku mengalihkan topik pembicaraan dan kali ini Ranti tampak antusias menyambut dengan senyumannya.
“Iya, aku sudah bangun, kok.”
Aku tersenyum lagi dan menatap lekat wajah ayu gadis di sebelahku ini. Rasanya enggan banget aku berpisah dengannya kali ini. Padahal jelas-jelas besok minggu aku akan mengajaknya bersepeda pagi dan pastinya aku akan bertemu lagi.
“Aku duluan ya, Dit!!” Ucapan Ranti menginterupsi lamunanku dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum melepas kepergiannya.
Setelahnya aku memutuskan mengayuh sepedaku sedikit cepat. Aku ingin mengejar Indy yang jauh di depan dan menanyakan mengapa dia bersikap aneh padaku. Usahaku berhasil. Aku sudah menjejerinya bersepeda bersama, tapi sepertinya Indy tidak menggubrisku kali ini.
“Ndy, kasetmu belum aku setel semua. Besok saja ya aku balikin.” Aku memulai pembicaraan dan berharap dia mau menjawabnya. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban dari Indy. Hanya tatapan mata yang aneh dengan raut wajah dan gestur tubuh yang juga sama anehnya.
Sumpah, aku gak tahu kenapa gadis bermata sipit dan berekor kuda itu menjadi aneh seperti ini. Apa aku telah melakukan kesalahan kemarin dan dia membencinya? Dari semua teman Ranti memang dia yang paling aneh. Dari awal bertemu saja sudah mengintimidasiku, lalu ternyata bersikap manis, bahkan menggodaku dan terakhir kemarin malah meminjamkan kaset lagu group band kesukaanku. Namun, ujung-ujungnya dia kini bersikap sangat aneh dan menyebalkan.