Kedekatanku dengan Ranti semakin bertambah setiap hari. Apalagi Ranti selalu meluangkan waktunya untuk mengikuti bimbel di sekolah hanya demi aku. Tentu saja aku tersanjung dengan sikapnya itu. Sumpah gadis manis ini benar-benar membuatku semakin jatuh cinta padanya.
Namun, ada yang berbeda dengan pulang sekolah hari ini. Aku hanya melihat Ranti seorang diri berjalan menuju parkiran. Padahal biasanya ada Indy yang menemani. Aku gegas berlari menyusulnya dan berjalan beriringan dengan Ranti.
“Hai!! Kamu sendirian? Indy ke mana?” tanyaku.
“Indy sakit, gak masuk sekolah,” jawab Ranti. Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. Kemudian kami sudah mengeluarkan sepeda dan mulai melajukan sepeda pulang bersama.
Ini adalah pertama kalinya aku bersepeda hanya berdua dengan Ranti. Aku senang sekali. Banyak sekali yang menjadi topik pembicaraan kami dan aku tidak menyangka bisa lancar berbicara seperti itu.
“Kalau kamu gak keberatan, aku boleh main gak malam minggu besok?” tanyaku to the point.
Ranti terlihat terkejut mendengar permintaanku dan spontan menoleh ke arahku. Lalu melihatku dengan mata almond-nya yang indah.
“Eng ... kalau minggu paginya gimana? Aku ... aku ada acara keluarga.” Ranti menjawab dengan gugup. Sepertinya permintaanku kali ini benar-benar di luar prediksinya.
“Oke, gak masalah. Sekalian kita bersepeda ke taman kota, yuk!!!” Entah kenapa aku tiba-tiba mendapat ide dadakan seperti itu.
Ranti tampak kesenangan dan menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum gula jawanya yang super manis dan legit.
Kami masih melanjutkan perjalanan dan kali ini aku sibuk mencari bahan pembicaraan. Aku benar-benar kehabisan topik usai bicara seperti tadi. Lalu tiba-tiba Ranti kembali melihat ke arahku, spontan aku membalas tatapannya.
“Ada apa?”
“Gak papa. Hanya saja sebenarnya aku mau menjenguk Indy, tapi aku harus pulang cepat dan mengikuti les. Apa kamu mau menggantikan aku menjenguk Indy?” pinta Ranti.
“Aku gak tahu rumahnya.” Ranti tersenyum mendengar jawabanku kemudian sudah memberi petunjuk menuju rumah Indy dan sepertinya itu mudah dicari.
“Mau ‘kan menjenguknya sebentar, Dit?” Lagi-lagi gadis pujaanku ini meminta, tentu saja aku sebagai kekasihnya akan melakukan apa saja untuknya.
“Tentu. Aku akan mampir ke sana sebentar. Semoga saja sakitnya tidak parah.”
Ranti tersenyum kembali dan menatapku dengan sendu. Sumpah ... aku sampai mleyot ditatap seperti itu. Kenapa juga gadis satu ini mempunyai banyak visual yang bisa menghipnotisku? Apa memang Tuhan menciptakan seorang wanita untuk menghipnotis setiap pria di dunia ini? Entahlah aku tak tahu.
Kami kembali melanjutkan perjalanan dan tiba di gang rumah Ranti. Gadis itu bersiap hendak belok ke kanan, tapi aku lebih dulu menjejerinya. Tanpa menunggu ucapan Ranti lebih dulu, aku sudah membuka suara dan berkata sangat pelan di telinganya.
“Aku sayang kamu, Ranti.”
Seketika Ranti menghentikan sepedanya dan menoleh ke arahku dengan bingung. Mata almondnya mengerjap berulang kali dengan malu-malu membuat aku semakin gemas dibuatnya. Andai tidak ada banyak mata yang melihat di jalan ini, ingin rasanya aku kecup pipi tomatnya.
Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir mungilnya. Namun, sebuah lengkungan indah terukir dengan baik di raut cantiknya. Ya Tuhan ... manis banget senyumnya. Sumpah ... aku sampai melayang dibuatnya. Harusnya dia yang terbang ke awan usai mendengar ucapanku tadi, kenapa malah aku yang jadi tak karuan seperti ini.
“Aku duluan, ya!!” Akhirnya Ranti bersuara berbarengan dengan membelokkan sepeda ke gang rumahnya.
Aku hanya mengangguk, tersenyum sendiri sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh. Kalau saja tidak diklakson oleh pengendara motor, pasti aku masih bergeming di posisi tadi.
Aku ingat permintaan Ranti dan segera mengayuh sepeda menuju rumah Indy. Aku pernah melihat Indy menyeberang dan masuk ke gang tak jauh dari rumah Ranti. Jadi sepertinya tidak mudah menemukan rumah anak itu.
Aku mengikuti petunjuk Ranti dan tiba dengan selamat di rumah Indy. Indy sangat terkejut melihat kehadiranku. Dengan gugup dia mempersilakan aku masuk.
“Kok kamu ke sini, Dit?” tanya Indy begitu aku sudah duduk.
“Iya, sebenarnya tadi mau sama Ranti. Tapi dia harus les jadi, aku sendirian ke sini.”
Indy hanya manggut-manggut sambil berulang memperhatikan aku.
“Kamu gak nyasar?” Aku menggeleng dengan cepat.
“Enggak, tadi dikasih petunjuk ama Ranti. Ternyata rumahmu emang deket ama rumah Ranti, ya?”
Indy hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Eh ya, Dit. Kamu mau minum apa? Aku buatin dulu, ya!!”
“Gak!! Gak usah repot. Duduk sini aja!!” Aku berkata seperti itu sambil spontan menarik tangan Indy hingga Indy terduduk lagi di sampingku.
Indy terlihat terkejut dan melirikku dengan tatapan aneh. Aku tidak menghiraukannya. Bagiku Indy teman dan sahabat Ranti, itu artinya dia teman dan sahabatku juga. Ya ... mirip kayak Erwin gitu.
“Kata Ranti kamu sakit. Sakit apa?” Aku kembali bertanya.
“Itu ... cuman pusing doang, kok. Ama sedikit demam.”
Aku manggut-manggut dan lagi-lagi secara spontan tanganku langsung aku letakkan ke kening Indy.
“Iya, badanmu panas, Ndy. Emang udah minum obat?” ucapku setelahnya.
Sementara Indy hanya diam sambil menundukkan kepala usai aku pegang keningnya tadi. Aku meliriknya sekilas dan melihat ada rona merah bermunculan di wajah Indy. Kenapa juga Indy seperti tersipu malu gitu? Padahal apa yang aku lakukan sama seperti yang aku lakukan pada teman atau sahabatku? Apa aku salah, ya?
“Eng ... iya. Udah, kok. Tadi udah minum, nanti yang siang habis ini aku minum.”
Aku kembali menganggukkan kepala lagi. Kemudian kini mataku beredar menelisik setiap sudut rumah Indy. Aku melihat ada foto keluarga yang dipajang di rumahnya. Ternyata Indy saudaranya banyak. Dia anak keempat dari lima bersaudara. Indy mempunyai dua kakak laki-laki, satu kakak perempuan dan satu adik perempuan. Gak banyangin mereka kalau kumpul semua. Pasti ramai kayak keluargaku.
Kemudian mataku tiba-tiba terhenti pada sebuah cd lagu nama band kesukaanku. Perlahan tanganku terulur dan mengambilnya.
“Kamu juga suka group band ini?” tanyaku kemudian.
Indy tidak menjawab hanya menganggukkan kepala.
“Aku boleh pinjem, gak? Aku gak punya yang album ini.” Aku sedikit memohon kali ini karena memang aku tidak punya uang untuk membeli cd album lagu yang aku maksud tadi. Rasanya sangat beruntung jika aku meminjam dari Indy dengan cuma-cuma lagi.
“Iya, pinjam saja. Aku sudah mendengarkan semua. Asal jangan sampai rusak saja.”
“Cihuy!” Aku kesenangan dan malah sibuk memilih beberapa cd yang aku suka. Aku tidak menyangka kalau selera musik Indy sama denganku kali ini.
Hampir satu jam aku main ke rumah Indy dan kini saatnya aku pulang.
“Aku pulang dulu, ya!! Moga cepat sembuh dan masuk sekolah. Kasihan tuh Ranti gak ada temannya kalau pulang sekolah.”
Indy hanya tertawa mendengarnya. “Kan sudah kamu barengi, Dit.”
Aku ikut tertawa lebar dan sudah bangkit dari duduk siap pulang. Namun, tiba-tiba dari pintu depan masuk seorang wanita yang usianya lebih tua dari Indy. Mungkin dia kakaknya.
“Loh, ada tamu ya? Kok gak kamu buatin minum, Ndy,” ujar wanita tersebut.
“Gak usah, Kak. Saya sudah mau pulang,” jawabku dengan sopan. Kali ini aku menjabat tangan wanita yang aku pikir kakak Indy itu sambil berpamitan.
“Kok cepet banget. Ke sini cuman jenguk Indy saja?” tebaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Memang itu tujuanku ke sini tadi dan itu pun atas permintaan Ranti.
“Wah!! Kamu pacarnya Indy, ya?” Lagi wanita yang aku pikir kakak Indy itu menebak. Aku seketika menggeleng dengan cepat sambil menggerakkan tangan seakan sedang melakukan penolakan.
Namun, hal yang aneh aku lihat di raut wajah Indy. Gadis bermata sipit itu memang menggelengkan kepala, tapi wajahnya merah merona seakan sedang tersipu malu. Apalagi aku melihat tatapan aneh Indy ke arahku. Apa yang terjadi? Kenapa dia melihatku seperti itu? Apa aku telah melakukan kesalahan kali ini? Padahal tujuanku datang ke sini atas permintaan Ranti, pujaan hatiku. Tolong jangan salah artikan apa yang aku lakukan hari ini, Indy. Hanya itu saja pintaku.