Sejak hari itu, aku dan Ranti selalu bareng setiap pulang sekolah. Aku sendiri tidak ingat tanggalnya, tapi aku senang sekali. Ya memang aku sama sekali tidak menganggap ini pacaran. Aku hanya sedang berteman dekat dengan sang Pujaan hatiku.
Anehnya setiap kami pulang bareng selalu ada Erwin yang menemaniku di depan dan Indy, sahabat Ranti di belakang. Memang aku yang meminta Erwin dan mungkin juga Ranti yang meminta Indy. Selain itu kebetulan juga rumah kami searah.
Namun, hari itu tiba-tiba Erwin bicara padaku dengan serius.
“Dit, kayaknya aku gak bisa pulang bareng lagi ama kamu,” ujar Erwin. Terang saja aku terkejut mendengarnya.
“Kenapa? Kamu keberatan, Win?” tanyaku penasaran.
“Enggak. Ibuku daftarin aku les dan aku harus pulang cepat. Kamu tahu sendiri otakku pas-pasan dan kita sudah kelas sembilan wajar kalau ibu memintaku belajar lebih giat lagi.”
Aku hanya manggut-manggut mendengar alasannya. Tentu saja, aku tidak akan mencegahnya. Aku malah senang kalau Erwin lebih pintar dari aku. Pasti dia tidak akan pelit membagi ilmunya.
“Kamu gak papa pulang sendiri nanti?”
Aku tersenyum sambil mengangguk. Aku gak masalah selain itu aku gak pulang sendiri nanti. Aku pulang bareng gadis pujaanku dan tentu saja itu membuatku senang.
Saat pulang sekolah, Erwin sudah berpamitan pulang lebih dulu. Dia sudah mengatakan alasannya tadi dan aku tidak mencegahnya. Aku keluarkan sepedaku seperti biasa dan menunggu Ranti tidak jauh dari gerbang sekolah.
“Maaf, Dit. Aku tadi ke perpus bentar,” ucap Ranti.
Kali ini aku memang menunggu dia sedikit lebih lama bahkan sampai semua anak keluar dari gerbang.
“Iya, gak papa, kok. Langsung pulang, yuk!!” ajakku sambil mulai mengayuh sepedaku. Ranti mengangguk sambil mulai mengayuh sepedanya. Ada Indy yang mengayuh sepeda di belakang kami mengikuti seperti biasa.
Ranti mengayuh dengan pelan sambil celinggukan seperti mencari sesuatu.
“Kamu cari siapa? Ada yang ketinggalan?” Aku bertanya.
“Enggak, aku nyari temanmu yang kribo itu. Siapa namanya?”
Aku mengulum senyum saat Ranti menyebut Erwin kribo. “Erwin maksudmu?”
Ranti mengangguk. “Iya, Erwin. Dia gak masuk sekolah? Kok gak bareng?”
“Ehmm ... dia udah pulang duluan katanya dia harus les dan gak boleh terlambat sampai rumah.”
Ranti hanya manggut-manggut dengan bibirnya membentuk huruf ‘o’. Aku hanya mengulum senyum melihat reaksinya. Entahlah ternyata orang jatuh cinta itu sangat sensitif jika melihat pujaan hatinya bertingkah. Bahkan gestur tubuh mereka seakan sangat mempesona dan mencipta reaksi kimia yang membuat debaran dadaku semakin kencang.
Tuhan baik banget menciptakan makhluk seindah gadis di sampingku ini. Andai saja aku boleh minta, aku ingin memilikinya terus, tanpa terbatas waktu.
Perlahan Ranti menoleh ke arahku dan mata kami kembali bertemu. Gegas dia menunduk dan memutus pertemuan mata kami. Akh ... aku suka mata almondnya yang malu-malu tersipu menatapku. Apalagi sih bagian dirinya yang tidak terlihat indah di mataku. Kenapa semua tampak begitu indah?
Tak terasa kami sudah sampai di pertigaan dan biasanya aku bersama Erwin akan belok ke kanan sementara Ranti dan Indy berbelok ke kiri. Namun, kali ini aku malah mengikuti Ranti belok ke kiri juga. Tentu saja Ranti terkejut melihatnya.
“Kamu gak salah belok, Dit?” tegur Ranti.
“Gak papa. Dari sini juga bisa kok, ya ... meski sedikit jauh,” jawabku dengan santai.
Ranti mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. “Emang gak capek?”
“Kalau naik sepedanya sama kamu, gak terasa capek kayaknya.”
Lagi-lagi Ranti tersenyum sambil menundukkan kepala. Ternyata aku jago juga ngegombal. Bukan hanya Ranti saja yang bisa menuliskan untaian kata dan membuatku melayang. Kali ini aku juga akan membuatnya terbang.
“Emang dari dulu kamu suka nulis puisi, ya?” Aku mengganti topik pembicaraan. Aku tidak ingin perjalanan kami menjadi membosankan kali ini.
“Iya. Aku suka nulis. Kamu mau aku bikini?”
Aku terkejut dan serta merta menoleh ke arahnya. Kali ini gadis manis ini tidak menoleh ke arahku dan sibuk membasahi bibirnya dengan saliva. Sumpah, kok dadaku makin berdebar tak karuan dibuatnya. Dia lagi menggodaku atau gimana, sih?
Aku gegas menggelengkan kepala menghalau pikiran nakal yang nyantol di benakku. Sadar, Adit!! Insyaf kamu masih ingusan!!! Jangan macam-macam!!!
Aku sibuk memperingatkan otakku dan mengusir jauh-jauh hayalan nakalku.
“Mau, aku mau dibuatin.” Akhirnya aku menjawab pertanyaannya. Ranti hanya mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian aku menoleh ke arah belakang dan melihat Indy sedang mengayuh sepeda sendiri dengan wajah tertekuk. Aku menghela napas panjang dan sedikit merasa bersalah dengan teman Ranti itu.
“Apa temanmu tidak keberatan mengikuti kita di belakang?” tanyaku.
“Rumah Indy memang sejalan dengan rumahku. Jadi meskipun gak sama kamu, aku sering bareng dengannya.”
“Oh ... gitu.” Kini ganti mulutku yang membentuk huruf ‘o’.
“Terus memang wajahnya sejudes gitu, ya?” Ranti tersenyum lagi mendengar pertanyaanku.
“Emang gitu dari sononya, tapi dia baik, kok. Kamu belum akrab saja.”
Aku hanya diam dan melirik sekilas ke belakang. Aku memperhatikan Indy. Mata sipitnya, rambut ekor duanya dan kulit wajahnya yang sedikit gelap beda dengan Ranti yang memiliki tampilan serta visual sempurna. Dia memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Ranti, tapi sepertinya baik. Mungkin kalau aku sudah mengenalnya pasti dia tidak akan terlihat seperti memusuhiku begitu.
“Gang depan aku belok kanan, rumahku paling ujung nomor dua.” Ranti tiba-tiba bertutur dan aku sedikit terkejut. Aku pikir rumahnya masih jauh, ternyata sudah dekat.
“Jadi kita mau berpisah, nih?”
Ranti langsung tersenyum, melambatkan sepedanya dan menoleh ke arahku.
“Besok kan bisa ketemu lagi.” Aku hanya menganggukkan kepala mengiyakan.
“Selain itu ada Indy yang akan menemani sampai kamu belok di ujung sana.” Aku sedikit terkejut mendengarnya.
“Kok kamu tahu kalau itu arah rumahku?”
Ranti tampak heran mendengar ucapanku dan buru-buru menunduk memalingkan wajah menghindar dariku. Aku hanya tersenyum kesenangan. Ternyata dia mencari tahu tentang diriku selama ini. Dia bahkan tahu di mana rumahku.
Di depan aku melihat gang besar dan Ranti tiba-tiba menghentikan kayuhannya. Aku ikut berhenti dan melihat ke arahnya.
“Aku duluan ya, Dit!!” Ranti sudah membelokkan sepedanya dan melambaikan tangan ke arahku. Kenapa juga rasanya seperti melepas kekasih pergi saja. Padahal besok aku masih bisa bertemu dia.
“MINGGIR, DIT!!! ADA MOTOR!!!” Tiba-tiba Indy berteriak memperingatkan aku.
Aku memang berdiri di depan gang dan menghalangi laju kendaraan yang berlalu lalang. Aku segera melajukan sepedaku menyusul Indy yang sudah lebih dulu.
“Rumahmu di mana, Indy?” tanyaku mencoba akrab.
“Tuh, di seberang!!!” Indy menunjuk sebuah gang yang letaknya di seberang jalan.
“Jadi kamu mau nyebrang?”
“Lah iyalah masa mau terbang. Udah, aku duluan!!”
Indy sudah ngeloyor pergi nyebrang dengan seenaknya meninggalkan aku seorang diri. Aku hanya terdiam memperhatikan hingga dia masuk gang yang ditunjuk tadi.
Pantes saja Ranti dan Indy berteman akrab. Rumah mereka saja deketan gitu, mirip ama aku dan Erwin. Aku menghela napas panjang dan sudah mulai mengayuh sepedaku. Mulai hari ini sepertinya aku akan melalui jalan yang lebih jauh dari biasanya. Pasti juga ujung-ujungnya sampai rumah aku kelelahan. Sudahlah, tak masalah asal bisa bareng dengan gadis pujaanku saja aku sudah senang. Memang benar kata orang kalau cinta itu butuh perjuangan. Masalahnya apa aku sanggup berjuang hingga mendapatkan apa yang aku inginkan?