“Kamu kenapa, Dit? Kok kelihatan lesu gitu?” tanya Erwin pagi itu.
Aku memang baru datang dan terlihat lesu kali ini. Gara-gara kemarin, aku memang terlihat tidak bersemangat kali ini. Padahal kemarin aku sangat senang usai membaca surat dari Ranti. Namun, begitu tahu sikapnya yang seakan menghindariku. Aku jadi kacau.
Aku belum sempat menjawab pertanyaan Erwin saat tiba-tiba salah satu temanku memanggil.
“Dit, ada yang nyari!!!” Aku segera berdiri dan melihat ada dua teman Ranti yang tempo hari memberiku surat sedang berdiri menunggu di depan kelasku.
Aku gegas berjalan menghampiri, Erwin mengikuti dengan penasaran.
“Ada apa?” tanyaku kemudian.
Indy yang berkata lebih dulu dan masih sama menatapku dengan tajam. “Kami mau minta surat yang tempo hari kami kasih ke kamu.”
Aku terbelalak kaget mendengar ucapannya. Erwin yang berdiri di sebelahku tampak bingung dan menoleh ke arahku.
“Surat apaan, Dit?” tanya Erwin. Alih-alih menjawab pertanyaan Erwin, aku malah menepis tangannya dan memberi perhatian ke dua teman Ranti di depanku.
“Kalian sudah memberinya padaku, jadi itu sudah menjadi milikku sekarang.”
Dua teman Ranti itu tampak kesal dan sibuk berdecak. Terlihat sekali kalau mereka tampak gelisah.
“Emang surat apaan, sih?” Erwin kembali mengajukan pertanyaan.
Dua teman Ranti itu melirik Erwin dengan tatapan tak suka dan malah memalingkan wajah dari Erwin. Erwin semakin kesal dan kini menyikut lenganku. Aku hanya menghela napas panjang.
“Nanti aku ceritain, Win,” gumamku lirih.
Kemudian teman Ranti yang bersuara lembut dan baru kuketahui namanya Yanti melihat ke arahku.
“Sebenarnya itu bukan surat untukmu. Itu hanya tulisan tangan Ranti di bukunya. Kami tanpa sengaja membaca dan kami ingin membantu dia mengungkapkan perasaannya dengan memberikan semua keluh kesahnya padamu. Namun, pada akhirnya kini dia marah pada kami.”
Aku menghela napas panjang usai mendengar penuturan Yanti. Pantas saja reaksi Ranti kemarin seperti itu padaku. Kenapa juga dia harus marah? Aku malah senang, gara-gara membaca tulisan tangannya itu juga aku tidak bisa tidur semalaman.
“Ranti marah kepada kami dan kamu tahu, taruhannya adalah persahabatan kami, Dit!!!” Indy menimpali.
Aku hanya diam memperhatikan satu persatu teman Ranti kali ini. Aku makin heran dengan jalan pikiran Ranti kali ini. Kenapa juga dia sampai ingin mengakhiri persahabatan mereka hanya gara-gara curhatannya tersampaikan padaku.
“Apa kamu mau menemuinya dan menyerahkan kertasnya?” Tiba-tiba Yanti bersuara kembali.
“Apa dia yang bilang ingin seperti itu?” kataku balas bertanya.
Yanti dan Indy mengangguk perlahan. “Iya, kami bilang kamu gak bakal mau balikin. Kami juga bilang kamu mau balikin kalau Ranti sendiri yang minta.”
Aku mengulum senyum geli mendengar penuturan dua teman Ranti kali ini. Apa mereka kali ini sedang membantuku untuk lebih dekat dengan Ranti?
“Oke, kalau gitu sepulang sekolah aku tunggu di kantin belakang!!!” Aku memutuskan tempat pertemuan kami.
Yanti dan Indy mengangguk, kemudian sudah membalikkan badan undur diri meninggalkan aku serta Erwin. Aku gegas kembali masuk ke dalam kelas, lima menit lagi bel tanda pelajaran berbunyi. Sementara Erwin berlarian mengejarku, dia masih penasaran dengan arti percakapan aku dengan teman Ranti tadi.
“Dit, beneran kamu dapat surat dari Ranti?” Erwin kembali bertanya begitu aku sudah duduk di bangku.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sontak Erwin terbelalak kaget, mulutnya menganga, matanya membola dengan rambut brokolinya yang berayun tertiup kipas angin di kelas ini.
“Jadi beneran dia suka ama kamu, Dit?” Lagi-lagi Erwin bertanya. Untung saja guru mata pelajaran pertama belum tiba di kelas sehingga aku bisa menjawab pertanyaannya.
“Iya.” Perlahan aku mengeluarkan secarik kertas yang sudah lecek dari saku celanaku. Erwin menerimanya dengan tatapan tak percaya. Kemudian perlahan Erwin membuka kertas yang sudah lecek itu. Ia terdiam beberapa saat, ketika membaca tulisan rapi yang berderet di sana. Kemudian kepalanya menggeleng sambil berulang melihat ke arahku.
“Tuh, kan. Bener tebakanku kalau dia juga suka kamu. Jadi tinggal apa lagi, Dit?”
Aku tidak menjawab, hanya mengulum senyum sambil menyimpan kembali tulisan tangan Ranti yang sangat bermakna bagiku itu. Aku janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku juga akan katakan perasaanku sesungguhnya. Sumpah, ini hari terindah dalam hidupku yang tak mungkin aku sia-siakan.
Namun, ternyata semua itu lebih indah membayangkan daripada melaksanakannya. Seperti kali ini yang terjadi denganku. Jam pulang sekolah sudah berdering lima menit yang lalu. Aku sudah berjanji akan menemui Ranti di kantin belakang kali ini.
Berulang aku mengolah udara, menarik, memutarnya ke seluruh rongga tubuh dan mengaliri di setiap nadiku lalu menghembuskannya dengan perlahan. Berulang proses respirasi itu aku lakukan, aku tidak mau lemas apalagi terlihat gugup kali ini.
“Kamu gak papa, Dit?” Erwin yang dari tadi duduk di sampingku hanya diam dan kini tampak menatapku penuh kekhawatiran.
Memangnya ada apa denganku? Apa aku terlihat gugup? Namun, apa salah jika aku gugup. Dia cinta pertamaku. Gadis manis pujaanku yang menggetarkan hatiku. Wajar saja jika aku merasakan hal aneh bin ajaib ini.
“DIT!!!” Lagi-lagi Erwin membuyarkan lamunanku. Aku mendongakkan kepala melihat Erwin dengan tatapan bertanya.
“Kayaknya Ranti dan temannya sudah jalan menuju kantin belakang, deh.” Saat ini Erwin memang sedang berdiri sambil menatap kelas Ranti dari jendela di sebelahku.
Aku gegas berdiri dan mataku langsung menangkap sosok manis yang sedang berjalan keluar kelas. Duh, kenapa juga dadaku makin kencang ritmenya. Sumpah ini kayak sedang lomba lari saja. Aku berharap semoga saja aku bisa melaluinya kali ini.
“Yuk!!!” ajakku dengan mantap. Padahal aslinya hatiku dag dig dug tak menentu. Sialan!! Kenapa juga aku jadi gemeteran begini. Jangan sampai saja suaraku ikut bergetar nantinya.
“Dit, kamu masih hapal kata-katanya, ‘kan?” tanya Erwin sambil menyenggol lenganku.
Dengan mantap aku mengangguk. Padahal kalau mau jujur, aku gak hapal sama sekali dengan kata-kata yang pernah dituliskan Erwin sesaat tadi. Sudahlah, biarkan saja yang terjadi nanti mengalir seperti air.
Kantin belakang sudah sepi bahkan penjualnya sudah pulang semua. Hanya beberapa petugas kebersihan yang sibuk menyapu. Aku memilih duduk di salah satu bangku panjang bersebelahan dengan Erwin. Padahal jarak kelas Ranti dengan kantin ini tidak terlalu jauh, tapi mengapa dia belum juga datang. Lagi-lagi gadis manis ini membuatku gelisah.
“Dit!!” Sebuah suara memanggil namaku dengan lembut. Aku menoleh dan langsung berdiri sambil tersenyum saat melihat gadis manis yang kutunggu itu sudah datang. Ada Indy dan juga Yanti berdiri di belakangnya.
Erwin gegas bangkit dari duduknya dan menyingkir. Sepertinya dia tahu kalau aku dan Ranti akan duduk berbincang di sana.
“Duduk, Ranti!!” pintaku menyilakan.
Ranti mengangguk kemudian duduk sedikit ke ujung bangku. Aku menahan senyum melihat reaksinya, lalu aku mengimbangi duduk, tidak dekat juga tidak terlalu jauh darinya. Sementara Erwin dan dua teman Ranti itu sudah menghilang entah kemana.
“Aku ... mau ambil kertasku.” Ranti langsung to the point dan tanpa basa basi padaku. Terang saja ini membuat aku terkejut, padahal aku berharap ia tidak berkata langsung kali ini.
“Jadi benar itu tulisan tanganmu, hasil curhatanmu?” Aku malah menanyakan kebenaran isi curhatannya.
Ranti tampak menghela napas panjang sambil menundukkan kepala. Dia sama sekali tidak mau melihat ke arahku kali ini. Mungkin dia sangat malu.
“Itu seharusnya tidak kamu ketahui. Itu bagian dari buku harianku, Dit.”
“Jadi semua yang tertulis di sana benar tentang isi hatimu?” Ranti tampak terkejut mendengar ucapanku. Terlihat kalau dia berulang menghela napas panjang.
Kemudian pelan, Ranti mengangguk sambil berdesis lirih, “Iya.”
Sumpah, kali ini ingin rasanya aku meloncat kegirangan. Bahkan kalau tidak malu, aku akan langsung memeluknya. Namun, aku berusaha menahan semua rasa dan emosi gilaku itu. Kami masih sama-sama membisu dan tak tahu harus memulai bicara apa. Hingga Ranti yang lebih dulu bersuara.
“Jadi apa mau kamu kembalikan, Dit?” Dia bertanya sambil mengangkat kepalanya.
Aku juga mengangkat kepala dan melihat ke arahnya. “Aku suka tulisanmu dan semua yang ada di sana juga untuk aku. Jadi sudah semestinya itu jadi milikku, bukan?”
Ranti tampak terkejut, mata indahnya bak buah almond kini membola menatapku lalu bibir mungilnya juga tampak bergerak-gerak siap berkata. Namun, entah mengapa dia tiba-tiba menunduk tak berani menatapku lagi.
“Lalu kamu mau apa, Dit?” Pelan sekali Ranti bersuara seakan sedang mengharap sebuah kepastian dariku.
Aku tersenyum menatap gadis manis di sebelahku ini dengan hati berdebar tak menentu. Sungguh, ini adalah saat yang aku nantikan selama ini. Namun, entah mengapa aku malah melakukan sebuah kesalahan besar. Dengan lancang mulutku malah bertutur seenaknya.
“Aku ingin kita berteman, Ranti.”