Hampir dua hari berselang sejak pertemuanku dengan Ranti kala itu. Entah kenapa dua hari ini aku tidak melihatnya duduk di bangku tempat ia biasanya. Aku juga jarang melihatnya berada di kantin apalagi melintas di depan kelasku. Apa dia sengaja menghindar dariku? Atau memang dia tidak mau menemuiku.
Aku menghela napas panjang sambil menyesali ketakutanku. Kenapa juga aku sepengecut ini? Harusnya kalau aku menyukainya, aku yang lebih dulu mendekatinya. Tidak menunggu momen dan keajaiban saja. Pulang sekolah kali ini aku mampir sebentar ke toilet. Erwin sudah menungguku di parkiran dan akan kususul nanti.
Aku baru saja keluar dari toilet saat melihat dua orang siswi datang menghampiriku. Aku kenal salah satu dari mereka. Kalau tidak salah namanya Indy. Gadis dengan kuncir kuda dan mata sipit yang menatapku seperti penjahat tempo hari.
“Kamu Adit?” tanya Indy kemudian.
“Iya. Kenapa?” Aku malah balik bertanya. Ucapan teman Ranti itu sangat ketus dan membuatku sedikit naik darah saja.
“Ini ada surat buat kamu,” ujar salah satu temannya yang lain.
Wajahnya lebih ramah dengan tubuh lebih kecil dan suara yang lembut. Aku juga pernah melihat dia berjalan bersama Ranti. Aku bisa pastikan kalau mereka berdua ini adalah teman dekat Ranti. Lalu untuk apa teman dekat Ranti ini menemuiku di toilet siswa lagi.
Aku hanya diam sambil menerima sepucuk surat yang baru disodorkan padaku. Aku bingung dan belum sempat bertanya, dua teman Ranti itu sudah berlalu pergi begitu saja. Aku menghela napas panjang sambil menatap sepucuk kertas yang terlipat rapi itu dengan tajam.
“Apa mungkin ini surat cinta dari Ranti?” gumamku lirih.
Aku baru saja hendak membaca surat itu, tapi tiba-tiba Arik dengan beberapa temannya datang ke toilet. Gegas aku menyimpan surat itu ke saku celana dan berlalu pergi meninggalkan toilet.
“Kok lama, Dit?” sapa Erwin yang menungguku di parkiran.
“Iya, antri toiletnya.” Aku sengaja berbohong, aku tidak mau mengatakan kalau baru saja ada dua teman Ranti yang memberiku sepucuk surat. Aku malu apalagi kalau ternyata isi suratnya bukan seperti yang aku inginkan.
Sepanjang perjalanan pulang aku melamun sambil sesekali menoleh ke belakang. Aku berharap ada Ranti sedang mengayuh sepeda di belakangku. Memang letak rumahnya dan rumahku searah. Kami hanya berpisah saat di pertigaan depan saja. Aku harus belok ke kanan dan dia ke kiri. Ya meskipun sebenarnya rumahku bisa ditempuh dari rumahnya hanya sedikit jauh saja.
“Kamu kenapa, Dit? Dari tadi nengok belakang terus, nyari Ranti, ya?” Erwin sudah menebak dengan benar.
Aku hanya tersenyum meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ranti udah pulang duluan saat kamu masih di toilet. Kamu sih kelamaan di toiletnya.”
Berarti Ranti pulang saat dua temannya memberiku surat tadi. Apa mungkin Ranti tidak tahu dengan yang dilakukan kedua temannya tadi? Memang sebenarnya apa isi suratnya? Aku benar-benar penasaran kali ini dan semakin melajukan sepedaku dengan kecepatan penuh.
Tiba di rumah, aku langsung berhambur ke kamar. Inginnya aku gegas membaca surat dari Ranti itu. Namun, mamaku sudah memberi aku banyak kesibukan siang itu hingga sore menjelang. Aku bahkan lupa kalau sedang menyimpan surat dari Ranti dan membawanya kembali ke sekolah esok harinya.
Surat itu masih tersimpan rapi di saku celanaku dan kali ini aku sudah membawanya ke toilet. Lagi-lagi aku sengaja izin ke toilet di awal pelajaran hanya untuk membaca surat dari pujaan hatiku ini.
Pelan kubuka lipatan surat itu, hatiku terus berdebar tak karuan rasanya mau copot saja. Aku tidak tahu apa yang dituliskan Ranti di sana, tapi dadaku benar-benar sesak tak bisa mengolah udara dengan sempurna.
Mataku mengerjap saat melihat deretan tulisan yang terukir indah di sana. Ada sebuah tulisan kecil yang menunjukkan tanggal dibuatnya surat ini. Namun, aku curiga kalau ini bukan merupakan surat untuk seseorang melainkan seperti sebuah curahan hati saja.
Aku menarik napas panjang sebelum mataku jatuh ke tulisan pertama yang tertera di sana.
“Aku suka seseorang ... panggil saja namanya Adit.”
DEG!!!
Sontak jantungku serasa berhenti berdetak. Aku kembali melihat deretan tulisan itu dan mataku mengerjap berulang memastikan kalau benar di sana tertulis namaku. Apa mungkin ada Adit yang lain di sekolah ini? Hanya pertanyaan itu yang kini bercokol di benakku.
Aku menelan saliva sambil mencoba bernapas dengan baik. Sumpah, baru baris pertama aku baca saja sudah membuat aku tidak bisa bernapas. Apa jadinya kalau aku meneruskan membaca sampai baris terakhir. Namun, mau tidak mau aku harus melanjutkan membaca. Aku tidak mau mati penasaran dibuatnya.
Mataku kembali mengarah ke deretan tulisan di kertas itu.
“Ada rasa indah yang selalu ada dan terjaga untuknya. Setiap melihat senyumnya dan setiap mata kami berjumpa semua terasa indah. Aku hampir tak bisa melukiskan dengan kata-kata. Apa mungkin cinta sudah menyelimuti hatiku? Apa mungkin juga hatiku telah dibawa lari olehnya. Oleh seorang pria yang aku panggil Aditya. Sungguh, aku suka kamu, Adit.”
Aku terdiam, jakunku naik turun sibuk menelan berulang saliva. Aku masih shock untung saja kali ini punggungku bersandar di dinding bilik toilet. Kalau tidak bisa kupastikan aku pingsan di tempat. Kenapa juga Ranti menuliskan semuanya begitu indah. Indah dibaca, dicerna dan bahkan merasuk hingga ke relung jiwaku. Dia benar-benar membuatku melayang kali ini.
Aku menarik napas panjang, melipat kembali surat itu dan menyimpannya dalam saku celanaku. Ini adalah surat cinta pertama untukku, dari seorang gadis yang selama ini aku suka. Harusnya aku yang menyatakan perasaanku lebih dulu dan memberinya bukti pernyataan ini. Namun, semuanya terbalik. Itu tidak masalah bagiku. Aku sering ditembak cewek duluan dan aku sangat bersyukur kali ini ditembak olek Ranti secara tersirat melalui untaian kata yang tertulis di sana.
“Kamu kenapa, Dit? Balik dari toilet kok senyam-senyum gak jelas gitu,” ujar Erwin penasaran.
Si Rambut brokoli itu terus mengulum senyum sambil menatapku penasaran. Aku membalasnya dengan senyuman saja tanpa mau berkata apa-apa. Kali ini pergantian pelajaran dan guru mata pelajaran berikutnya belum juga datang. Aku sempatkan berdiri sejenak untuk mencari gadis pujaanku di kelas seberang. Ternyata Tuhan sedang berbaik hati denganku kali ini.
Aku hampir meloncat kegirangan saat melihat sosok ayu nan imut itu sedang duduk manis di sana. Ia sedang sibuk mencatat dengan mulut komat kamit seperti biasa dan mata bak buah almond yang menatap lurus ke depan. Sumpah kalau melihat tampang seriusnya seperti itu membuatku semakin gemas padanya.
Aku masih asyik mengamati saat tiba-tiba matanya berputar dan menoleh ke arahku. Mata kami berjumpa dan persis seperti yang dia tuliskan di suratnya tadi, semua memang terasa indah dan sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ternyata dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Apa salah jika aku menjawab pernyataannya yang indah itu?
Cepat-cepat Ranti menunduk dan menghindar dariku. Wajahnya kembali memerah seperti tomat ceri seperti biasanya. Namun, ada yang aneh kali ini. Tiba-tiba dia bangkit mengambil peralatan tulisnya dan pindah ke bangku belakang.
Hei!!! Kenapa dia pergi? Kenapa dia menghindar?? Apa dia tidak mau aku pandang? Apa dia juga sedang menyangkal semua rasa yang dituliskan untukku tadi? Lalu kenapa harus aku yang menerima surat itu? Harus aku yang membacanya kalau ternyata dia kini menghilang.