Pagiku kali ini disambut dengan langit yang menghitam. Sudah mulai datang musim penghujan dan sepertinya hari ini hujan akan mengawali hari. Untung saja aku tepat tiba di sekolah sebelum hujan turun. Setengah berlari aku masuk ke dalam kelas, tidak kusangka aku malah berpapasan dengan Ranti yang juga baru datang.
Aku perlahan langkahku dan memilih berjalan di belakangnya. Maunya aku menghampiri dan jalan bersisian dengannya, tapi kejadian kemarin dan tatapan marahnya membuat aku ragu. Namun, sepertinya keputusanku itu adalah kesalahan terbesarku hari ini.
“Halo, Dit!!” Sebuah sapaan membuat aku terkejut. Aku menoleh dan melihat Melan berjalan di belakangku.
Tidak kusangka gadis manis yang sedang kuikuti itu juga menoleh melihat ke arahku. Kini dua pasang mata sedang menatapku. Satunya dengan senyum manis dan satunya lagi dengan tatapan sinis.
“Eh ... iya.” Aku membalas sapaan Melan, tapi mataku terus melirik ke arah Ranti seakan menyakinkan ke gadis itu kalau aku sedang memperhatikannya.
“Sini deh, Dit!” Tiba-tiba Melan menarik tanganku menjauh dari Ranti. Tentu saja aku terkejut, ingin menolak, tapi rasanya tidak mungkin.
Akhirnya aku menurut untuk berbelok sebentar dari arah ke kelasku. Sementara Ranti tidak mau menoleh ke arahku. Entah sengaja atau tidak, dia semakin mempercepat langkahnya. Kini tinggal aku dan Melan berada di depan taman sekolah. Hujan gerimis mulai turun seakan membuat suasana semakin sendu dan romantis. Andai saja kulalui suasana syahdu ini dengan gadis pujaanku, aku pasti akan senang.
“Ada apa, Mel?” tanyaku menginterupsi lamunan gadis itu.
Melan tersenyum manis sambil berulang menyibak rambut pirangnya yang setengah basah.
“Ini, Dit!” Tiba-tiba Melan menyodorkan sebuah undangan berwarna pink ke arahku.
“Apa ini?” tanyaku dengan alis mengernyit.
“Akhir pekan besok, aku ulang tahun dan aku sengaja merayakan pesta ulang tahunku di rumah. Kamu datang, ya?” pinta Melan.
Aku hanya mengangguk sambil menyimpan undangannya ke saku celanaku. Aku pikir dia akan minta tolong apa lagi, ternyata hanya untuk memberi undangan ulang tahun.
“Ya udah. Aku ke kelas dulu.” Aku langsung berbalik dan meninggalkan Melan begitu saja. Aku tidak mau datang terlambat kali ini.
Setengah berlari aku menuju kelas, untung saja pelajaran pertama belum dimulai. Erwin melihatku sambil mengernyit.
“Perasaan dari tadi aku ngelihat kamu datang, Dit. Kok baru nyampe kelas sekarang?” tanya Erwin.
“Iya, tadi ketemu Melan. Dia ngasih ini.” Aku menunjukkan sebuah surat undangan ulang tahun berwarna pink yang kusimpan di saku celana.
“Jadi dia juga ngundang kamu.” Aku mengangguk dengan cepat.
“Iya. Kamu juga?” tanyaku penasaran.
Erwin tersenyum dan menggeleng. Tentu saja aku terkejut mendengarnya.
“Gak. Melan hanya mengundang orang tertentu di pestanya. Kalau gak ganteng, cantik, pintar, kaya dan populer gak bakalan dapat undangan itu. Di sini palingan kamu dan Arik yang dapat.”
Aku terdiam sambil mengernyitkan alis. “Kok bisa gitu? Dia pilih-pilih teman? Aku pikir semua bakal dapat. Ya ... minim yang kenal gitu.”
Erwin menggeleng sambil tersenyum masam. Aku hanya menghela napas panjang sambil menyimpan kembali undangan tersebut. Kini perhatianku terarah ke gadis manis di depanku. Aku hampir lupa melihat ekspresi Ranti saat aku datang tadi.
Apa dia masih marah padaku? Apa dia masih salah paham dan menganggapku dekat dengan Melan? Akh ... susah juga harus menjelaskan apa. Antara kami tidak ada ikatan apa-apa atau hubungan apa pun, lagi pula kami masih terlalu kecil untuk urusan begituan.
Tiba-tiba Ranti menoleh ke belakang. Seperti biasa jika dia hendak mengambil buku atau mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, dia selalu melakukan hal itu. Aku terkejut, untuk beberapa saat mata kami bertemu. Aku mencoba tersenyum seperti biasanya, tapi sorot mata gadis cantik di depanku ini menunjukkan kemarahan. Bahkan buru-buru memutus pertemuan empat mata kami.
Kamu marah padaku, Ranti? Hanya itu yang ingin aku tanyakan, tapi mengapa lidahku terasa kelu. Aku benar-benar tak bisa bertutur seperti biasanya kali ini. Aku benar-benar benci pada diriku.
**
Istirahat tiba, seperti biasa semua siswa berlarian keluar kelas untuk menghabiskan waktu istirahat di kantin. Aku tidak melihat Ranti keluar kelas, aku malah melihatnya sedang asyik menulis sesuatu. Entah apa yang selalu dia tulis, kadang aku penasaran dan ingin menanyakannya. Namun, sekali lagi aku benar-benar menjadi tuna wicara kali ini.
“DIT!!!” sebuah panggilan serta merta mengagetkanku.
Aku mendongakkan kepala dan melihat Melan sudah masuk ke dalam kelasku. Sejak kapan dia berada di sini dan apa yang dia lakukan. Terang saja, Ranti yang duduk di depanku juga terkejut dan otomatis menoleh.
“Eh, iya, Mel. Ada apa?” tanyaku. Namun, sekali lagi dengan mata yang melirik ke arah Ranti.
Lagi-lagi gadis pujaanku itu melirikku dengan sorot mata penuh amarah. Plese, Ranti. Aku gak ada hubungan apa-apa dengan Melan, hanya teman. Sumpah. Akh ... percuma juga kalau aku ngomongnya hanya dalam hati tanpa berani mengatakannya langsung.
“Yuk, temani aku ke kantin!” ajak Melan. Dia langsung menarik tanganku membuatku bangkit dan berdiri dengan terpaksa.
“Eng ... aku belum ngerjain PR, Mel,” bohongku.
“Udah, nanti juga bisa. Yuk!!”
Dengan langkah gontai, perlahan aku keluar kelas. Sesaat sebelum meninggalkan kelas, aku menoleh ke belakang dan kulihat mata penuh amarah milik Ranti sedang melihat ke arahku. Maafin aku, Ranti. Aku gak bisa berkata apa-apa padamu. Tolong, jangan anggap ini pembalasanku karena sikapmu dengan Arik kemarin. Sumpah, ini bukan karena itu.
Melan terus menyeretku hingga ke kantin. Tak ayal kami jadi pusat perhatian di sana. Banyak siswa siswi yang mengolok kami dengan membunyikan suara menggoda dan koor tak beraturan. Aku hanya tersenyum masam sambil berulang menggelengkan kepala seakan menyangkal semua yang menjadi tuduhan teman-teman.
“Kamu mau makan apa? Aku traktir!” ucap Melan kemudian.
“Aku gak laper, Mel. Aku balik kelas aja, mau ngerjain PR.” Sekali lagi aku berbohong.
“Adit!!! Ini waktunya istirahat, jangan bahas pelajaran dulu napa. Udah, diem sini!! Aku pesenin makanan dulu.”
Aku hanya diam sambil terpaksa mengangguk. Pengen rasanya berlari balik kelas, tapi itu bukan sikap yang patut dicontoh. Aku turuti saja kemauannya kali ini setelah itu aku akan pikirkan ulang. Tak lama Melan datang sambil membawa dua mangkok bakso tak lama menyusul lagi dua gelas es teh. Aku hanya diam memperhatikan.
“Yuk, makan, Dit. Udara dingin gini enaknya makan yang hangat-hangat,” ucap Melan.
Aku hanya mengangguk dan mulai menikmati bakso pesanannya. Sayang juga kalau gak dimakan, mubazir kalau kata orang. Kami masih asyik menikmati makan bakso. Kali ini Melan terus berbicara banyak, cerita ngalor ngidul dan sedikit membuatku bosan. Inti ceritanya dia menceritakan kegiatannya kalau liburan dan tentang semacamnya itu.
Telingaku sudah panas dan ingin berhenti, bahkan mataku sibuk beredar mencari barangkali ada salah satu temanku yang melintas. Sehingga bisa membawaku pergi dari sini. Namun, hingga jam tanda istirahat selesai, aku masih duduk manis di bangku kantin.
“Aku balik dulu, Mel. Makasih traktirannya,” ucapku sambil gegas bangkit. Aku gak mau terlambat masuk kelas kali ini.
Namun, sepertinya Melan tidak mau membiarkanku pergi begitu saja. Dia menarik lenganku membuatku berhenti.
“Ada apa?” tanyaku. Aku sudah berbalik dan menatapnya.
Melan terdiam, menundukkan kepala sambil sibuk memainkan tangannya. Kemudian perlahan dia mengangkat kepala hingga membuat mata kami bertemu. Tak lama aku melihat mulutnya terbuka dan bersuara sangat lancar kepadaku.
“Aku suka kamu, Dit.”