“Aku suka kamu, Dit,” ucap Melan kemudian.
Aku terdiam, terpaku di tempatku sambil menatapnya tanpa kedip. Ini adalah pertama kali aku ditembak cewek dan sayangnya bukan gadis yang aku sukai.
“Kamu gak perlu menjawabnya sekarang, tapi besok saat aku ulang tahun. Aku harap kamu memberiku jawabannya,” lanjut Melan.
Aku masih membisu. Bukan karena aku bingung harus menjawab apa, tapi karena aku memang tak mau menyakitinya. Aku tidak suka Melan, ada gadis lain yang sudah mencuri hatiku dan itu adalah Ranti. Rasanya tidak perlu menunggu akhir pekan untuk memberi jawaban.
Aku menarik napas panjang, mulai membuka suara dan bersiap menjawab. Namun, tiba-tiba Melan membalikkan badan dan berlalu pergi meninggalkan aku.
“Dit!! Ayo, buruan masuk kelas,” seru Erwin sambil menepuk bahuku.
Si Rambut brokoli itu kenapa tidak dari tadi munculnya. Kenapa baru sekarang? Aku hanya menghela napas sambil berulang menganggukkan kepala. Ini saatnya mengesampingkan segala macam hal yang aneh. Aku harus fokus belajar, sebentar lagi mau ujian akhir semester.
Aku masuk kelas tepat saat pelajaran Fisika hendak dimulai, untung saja aku belum terlambat masuk. Aku lirik gadis manis yang duduk di depanku. Tadi terakhir kulihat, dia tampak marah padaku, tapi syukurlah ada sebuah senyum manis yang terukir di wajahnya kali ini.
Entah apa yang membuat dia tersenyum lagi, tapi aku sangat senang melihatnya. Selama pelajaran Fisika kali ini kami hanya diberi tugas mengerjakan soal yang tertulis di papan tulis. Setelah itu Pak Heru, guru Fisika kami sudah meninggalkan kelas. Katanya hari ini ada rapat guru, tentu saja kami senang mendengarnya. Murid mana juga yang tidak senang jika ada jam kosong seperti ini.
Selama jam kosong, banyak murid yang hanya lalu lalang tanpa mengerjakan tugasnya. Entah mengapa kali ini semangat belajarku membara apalagi Fisika salah satu pelajaran yang aku sukai. Aku lirik bangku samping dan Erwin sudah lenyap entah kemana.
Kini pandanganku beralih ke depan dan aku melihat Ranti sedang duduk sendiri juga. Entah kemana perginya Ana, teman sebangkunya bisa jadi dia juga lenyap seperti Erwin. Ranti tampak asyik menulis, mungkin dia juga sedang mengerjakan soal yang diberi di depan kelas. Harusnya aku juga ikut melanjutkan pekerjaanku, tapi yang ada aku malah melamun memperhatikannya.
Aku sedang berhayal andai tadi yang nembak aku bukan Melan melainkan Ranti. Aku mengulum senyum geli sambil menggelengkan kepala menertawakan kekonyolanku. Mana mungkin Ranti akan melakukannya. Dia tipe gadis pemalu dan juga tampak acuh dengan sekitarnya. Mungkin juga dia tak tahu kalau aku memendam rasa untuknya. Bukankah dia sedang membangun tembok tinggi yang mengelilingi dirinya.
Kadang aku berandai, aku menjadi seorang ksatria berkuda putih yang bisa memanjat tembok tingginya dan mendapatkan hatinya. Lagi-lagi aku tertawa geli. Apa aku sanggup melakukannya. Banyak kekuranganku yang mungkin tak bisa menyaingi semua pria yang mendekatinya. Akh ... aku bicara apa, sih. Kenapa juga ngelantur seperti ini? Aku yakin Ranti tidak pernah memikirkan tentang hal ini. Hampir sama dengan diriku yang hanya memikirkan study saja saat ini.
Aku menghela napas panjang sambil merentangkan tanganku ke atas. Aku pegal usai menulis banyak soal di depan papan tulis. Aku melakukannya sambil menguap lebar dan tak memperhatikan sekeliling. Berbarengan dengan itu, tiba-tiba Ranti membalikkan tubuhnya ke belakang dan melihat ulah konyolku.
Sebuah senyuman geli tak ayal tercetak indah di wajahnya. Matanya yang laksana buah almond sudah berbinar indah menatapku. Sontak aku tersipu malu, gegas menutup mulut dan menurunkan tangan sambil menundukkan kepala. Jantungku serasa berpacu lebih cepat dari biasanya kali ini. Ranti ternyata masih belum membalikkan badan dan tampak sedang mengambil sesuatu di dalam tasnya.
Aku hanya diam memperhatikan sambil menyandarkan pungung serta melipat tangan di depan dada. Mana mungkin aku melepas kesempatan emas menikmati pemandangan ciptaan Tuhan kali ini. Aku hanya membisu sambil merasakan debaran jantungku yang tak menentu setiap melihatnya. Hingga akhirnya mata buah almond itu melihat ke arahku.
Mata kami bertemu dan terdiam untuk beberapa saat. Waktu seakan berhenti bergerak seketika, aku merasa hanya ada kami berdua saat itu dan semuanya hilang lenyap tak bersisa. Tidak ada kata yang kami ucapkan, tapi mata kami seakan sedang bicara. Menceritakan salah paham dan juga minta maaf yang aku sendiri tidak tahu untuk apa. Jujur tidak ada ikatan jelas antara kami, tapi aku merasa terhubung dengannya dan begitu juga sebaliknya.
“RANTI!!!” Tiba-tiba Ana memanggil dan membuat Ranti memutus tautan mata kami. Dia lebih dulu membalikkan badan dan meninggalkan tatapan mata senduku.
Sesaat sebelum dia berlalu, terlihat senyuman di wajahnya. Seketika ada geleyar aneh yang menjalar di seluruh tubuhku. Membawa rasa hangat dan tak menentu ke segala area. Aku suka gadis ini, Tuhan. Apa boleh aku mengatakan perasaanku? Apa boleh aku menyatakan cintaku di usia yang masih sangat belia?
Aku terdiam dan menundukkan kepala. Aku mengulum senyum sendiri dan menggelengkan kepala. Apa aku sudah gila kini dan itu karena gadis manis bernama Ranti Adinda?
**
Pulang sekolah kali ini terpaksa sedikit lebih terlambat dari sebelumnya. Aku ikut ektra kulikuler futsal di sekolah dan aku terpilih sebagai salah satu anggota tim inti. Tim kami akan mengikuti kejuaran futsal dan itulah sebabnya aku di sini.
“Kenapa kamu lesu, Dit?” tanya Dimas.
Dimas adalah kapten tim futsal dan kali ini sedang memberi perhatian padaku. Kuakui memang Dimas memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi dan dia sangat perhatian kepada anggota timnya, termasuk aku.
“Gak papa, Mas. Cuman capek doang,” jawabku sambil meringis.
“Ya udah biar gak capek. Kali ini kamu yang mimpin pemanasan di depan, Dit!!”
Aku sontak terbelalak kaget. Padahal kali ini aku lagi malas, kenapa juga malah yang disuruh Dimas memimpin pemanasan. Dengan ogah-ogahan aku maju ke depan. Memang siang ini tidak semendung tadi pagi, tapi juga tidak terik. Sehingga udara sangat sejuk dan mendukung untuk melakukan pemanasan di luar ruangan seperti ini.
Aku berdiri di depan memulai melakukan gerakan pemanasan sambil berhitung. Tak kupedulikan lalu lalang murid-murid yang bersiap pulang. Memang kali ini latihan kami menjadi tontonan para siswa. Gara-gara lapangan futsal tempat kami latihan masih dibersihkan.
“Satu, dua, tiga, empat , ... .” Aku mulai memimpin latihan pemanasan sambil berhitung.
Aku masih konsen dan terus fokus melakukan setiap gerakan pemanasan hingga tiba-tiba mataku menangkap mata indah yang sangat aku kenal. Aku terdiam sesaat dan memicingkan mataku untuk memastikan kalau yang aku lihat adalah gadis yang aku kenal.
Aku langsung tersenyum saat melihat Ranti yang jauh di seberang sana sedang tersenyum sambil memperhatikan aku. Ternyata dia belum pulang dan menjadi penonton setiaku kini. Aku tersipu malu dan jadi tidak konsen melakukan gerakan pemanasan. Bahkan hitunganku pun berputar di angka satu, dua saja.
“DIT!!! Kok dari tadi satu, dua terus. Tiga sampai delapannya ke mana?” tegur Dimas.
Aku terdiam kemudian tertawa cengengesan sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Sorry, diulang, ya!!!”
Terpaksa aku mengulang gerakan dan mulai berhitung dari angka satu lagi. Kini aku jadi semangat dengan mata yang terus menatap gadis manis di seberang sana. Lagi-lagi mata kami bertemu dan sibuk bertegur sapa tanpa tahu artinya apa. Gitu saja aku sudah senang, sukmaku melayang jauh ke angkasa bermain dengan awan. Apa seperti ini indahnya cinta? Ya ... seharusnya kata pernyataan itu bukan diucapkan Melan untukku. Tapi aku ucapkan untuk Ranti, untuk menunjukkan perasaanku padanya.