“APA!!!”
Sontak hampir seluruh penghuni kelas melihat ke arahku termasuk juga Ranti. Pak Teguh yang sudah berdiri di depan kelas juga terkejut mendengar suaraku.
“Ada apa, Adit?” tanya Pak Teguh.
Aku hanya diam sambil menelan saliva. Jakunku naik turun sementara manik mataku terus berputar sibuk mencari alasan.
“Eng ... kecepit, Pak. Tangan saya kecepit meja,” jawabku asal.
Sontak saja langsung terdengar koor dari hampir seluruh isi kelas. Aduh, malu banget aku. Kenapa sih akhir-akhir ini aku jadi spontan gitu. Lagian kenapa juga Erwin mesti memberitahu di saat pelajaran gini.
Aku menarik napas panjang sambil melirik gadis cantik di depanku. Ingin sekali aku bilang padanya agar tidak pulang lebih dulu nanti dan tetap bersamaku. Namun, apa alasanku? Aku bukan apa-apanya. Aku juga tidak berhak melarang. Lagi pula dia pasti tertawa kalau mendengar permintaanku.
Entahlah aku tidak bisa berpikir lagi. Akhirnya aku lalui saja hari ini dengan gelisah hingga akhirnya waktu pulang tiba. Aku melihat Arik bersama teman-temannya sedang berdiri di depan pintu kelas seakan sedang menunggu seseorang.
Aku melirik Ranti dan dia masih sibuk berkemas. Entah sengaja atau memang gerakannya lelet yang pasti dia sangat lambat hari ini. Aku berdecak sambil terus mengamatinya. Sungguh, aku tidak ingin gadis cantik ini pulang lebih dulu. Batinku terus komat-kamit sibuk berdoa semoga Tuhan memberi keajaiban untukku.
“Gak pulang, Dit?” Tiba-tiba Ranti menoleh dan bertanya kepadaku.
Aku terkejut dan hanya tersenyum membalasnya. Apa gara-gara tadi dia minta tolong sehingga sudah berani menyapaku sekarang? Aku kesenangan karenanya dan asyik sendiri dengan perasaanku. Aku bahkan membiarkannya berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata.
“BEGO!!!” umpatku pada kebodohanku.
Erwin yang masih duduk di sebelahku hanya bengong melihat reaksiku.
“Kamu marah ke siapa? Ranti?” tanya Erwin. Mungkin dia mengira karena Ranti baru menyapaku dan aku marah padanya.
“Enggak. Aku ngomel sendiri.”
Erwin sontak tertawa mendengar jawabanku. Aku hanya diam dan melihat Ranti dari jauh sudah berjalan menghampiri Arik yang berdiri di depan pintu. Arik menghentikan langkah Ranti. Ranti ikut berhenti dan tampak berbincang.
Aku hanya mengamatinya dari tempatku duduk. Hatiku sakit, dadaku terluka bahkan darahku mendidih saat melihat gadis yang aku sukai sibuk berinteraksi dengan pria lain. Memang suasana kelas hampir sepi bahkan, di kelas hanya tinggal aku dan Erwin serta Arik, Ranti serta beberapa teman Arik.
“Yuk!!” ucapku sambil beranjak bangkit. Erwin hanya bengong, tapi sudah mengekor di belakangku.
Aku gak mau sakit terlalu lama dan menyaksikan hal yang tidak aku inginkan. Terserah Ranti mau menerima pernyataan cinta Arik atau tidak. Dia berhak memilih siapa saja. Lagian aku juga bakal kalah jika harus bersaing. Aku tidak sekaya Arik juga tidak sepintar dia. Aku hanya siswa biasa yang otaknya pas-pasan dari keluarga sederhana. Hanya satu yang membuatku menang dari Arik, tampang gantengku saja.
“Akh ... .” Aku menarik napas panjang sambil berjalan lambat menuju pintu kelas.
“Permisi,” ujarku. Aku sengaja mengatakan hal itu agar Ranti yang berdiri membelakangiku melihat ke arahku.
Tidak. Aku tidak ingin mengintimidasi pilihannya. Aku hanya ingin dia tahu, kalau ada yang sakit melihat dia bersama pria lain. Ya, itu aku. Aku si Cowok pemalu bin penakut yang tak berani mengutarakan perasaannya.
Tanpa menjawab, Ranti menggeser tubuhnya dan memberi ruang aku untuk melintas. Mata kami bertemu untuk seperkian detik dan entah mengapa aku melihat sebuah senyuman di matanya. Apa aku sedang berhayal? Atau memang aku terlalu pintar mengartikan isyarat mata Ranti. Aku memang aneh.
“Gimana?” tanya Arik menginterupsi mata kami yang beradu.
Ranti gegas memutus pertautan mata kami dan buru-buru melihat ke arah Arik. Sementara aku dengan hati yang kacau sudah berlalu pergi meninggalkan mereka. Entah apa yang terjadi setelah itu, yang pasti hatiku sangat berantakan kali ini.
“Sabar, kalau jodoh gak akan ke mana!!” Sebuah ucapan disertai tepukan dari Erwin tiba-tiba menjadi penyemangatku.
Aku menoleh ke arah Erwin dan tersenyum masam. Kenapa juga dia berkata seperti itu? Aku tidak sedang patah hati hanya sedikit sedih saja. Belum tentu juga Ranti menerima perasaan Arik. Akh ... malu banget kalau mikirin hal beginian. Aku masih kecil kenapa cupid telanjur membuatku mabuk kepayang tak karuan.
“Dit!!!” Sebuah suara merdu terdengar jelas di telingaku. Aku menghentikan langkah dan berharap kalau yang memanggilku adalah gadis pujaanku.
Namun, aku terkejut saat melihat Melan berjalan menghampiriku. Melan adalah teman beda kelas yang konon kata teman-teman sedang naksir aku. Akh ... aku mana percaya dengan ucapan teman-temanku. Lagipula Melan sangat cantik. Wajahnya blasteran indo. Papanya dari Australia dan mamanya asli Indonesia.
Aku bergeming di tempatku menunggu gadis yang tingginya di atas rata-rata itu menghampiriku.
“Bisa minta tolong, gak?” ucapnya kemudian.
Aku mengernyitkan alis dan menatap Melan dengan bingung. Kenapa juga seharian ini banyak teman cewek minta tolong padaku.
“Minta tolong apa?”
Melan tidak menjawab malah langsung menarik tanganku membuat aku dan Erwin yang berjalan di sisiku terkejut. Melan membawaku ke parkiran sepeda kemudian menunjukkan sepeda mini miliknya. Aku menatap Melan dengan bingung.
“Kenapa sepedanya?” tanyaku kemudian.
“Tuh, rantainya lepas,” jawab Melan dengan manja.
Aku tertegun sambil berulang menelan saliva membiarkan jakunku naik turun dengan sempurna. Aku masih diam menatap sepeda milik Melan. Memang hampir seluruh murid di tempatku sekolah menggunakan sepeda angin sebagai alat transportasinya. Hanya saja permintaan Melan kali ini sebenarnya aneh.
Bukankah banyak anak lain yang berlalu lalang di parkiran, kalaupun dia tidak bisa membetulkan rantai sepedanya sendiri. Harusnya dia bisa minta tolong yang lain, tidak menghampiriku ke depan kelas dan menarikku ke sini.
“Dit, tuh tolongin!” Erwin menyikut lenganku dan membuatku menoleh ke arahnya.
Erwin mengarahkan matanya ke sepeda Melan dan aku mengikuti sorot matanya. Kemudian sudah duduk jongkok membantu Melan membetulkan rantai sepedanya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk membetulkan rantai tersebut.
“Sudah!!” Aku berdiri kembali dan celinggukan mencari Erwin. Aku pikir Erwin masih berdiri menemaniku, ternyata anak itu sudah kabur duluan.
“Temanmu sudah pulang duluan, Dit,” sahut Melan.
Aku hanya menghela napas panjang sambil mengangguk. Sedikit rasa dongkol menyelinap di dalam hatiku. Kenapa Erwin gak pamit padaku tadi.
“Ya udah, kalau gitu aku balik dulu.”
Aku bersiap membalikkan badan, tapi Melan malah menahan tubuhku membuatku urung membalikkan badan. Aku melihat ke arahnya kembali. Melan tersenyum kemudian mengulurkan tisu ke arahku.
“Tanganmu kotor, Dit.”
“Eng iya. Aku bisa cuci tangan di sana nanti.” Aku sudah menunjuk sebuah kran air yang letaknya dekat dengan sepedaku.
“Iya, tapi kalau membersihkan wajahmu rasanya gak bisa, deh.”
Aku hanya bengong mendengar ucapan Melan. Lalu tanpa izin Melan mengulurkan tangannya kemudian menyeka keningku dengan tisu basah. Aku hanya diam bergeming di tempatku berdiri. Aku membeku, jujur ini adalah pengalaman pertamaku berada dekat dengan seorang gadis. Kenapa juga bukan dengan Ranti.
Aku tersadar dan buru-buru mundur menghindar saat Melan hendak menyeka keningku lagi.
“Terima kasih, aku bisa sendiri, kok.”
Aku langsung menyahut tisu dari Melan dan menyeka keningku sendiri. Aku heran memangnya ada apa di keningku karena saat aku menyekanya tidak ada keringat ataupun bekas oli rantai sepeda. Jangan-jangan Melan sedang modusin aku.
Aku masih berdiri berhadapan dengan Melan, tepat saat Ranti tiba-tiba melintas di sebelahku. Aku terkejut dan dia melakukan hal yang sama. Bahkan mata kami juga sempat bertemu untuk seperkian sekon hanya saja matanya tidak tersenyum sama seperti tadi melainkan terlihat marah.
Aku mengerjap saat dia lebih dulu mengurai pertemuan netra kami langsung menoleh mengikuti Ranti. Ranti terus berlalu menjauh dan tak menoleh ke arahku. Ada apa ini? Apa dia marah padaku? Apa Ranti cemburu saat aku bersama Melan?
Akh ... kenapa kesannya seperti aku membalas ulahnya saat bersama Arik tadi. Aku gegas membalikkan badan.
“Aku harus pulang!!” ucapku berpamitan. Tanpa menunggu jawaban Melan, aku berlalu pergi dan berusaha mengejar Ranti.
Jangan!! Jangan marah, Ranti!!! Kamu salah paham. Please ... beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku sedikit berlari menuju sepedaku dan mengedarkan mataku mencari sosok Ranti. Namun, sepertinya gadis cantik pujaanku itu sudah berlalu pergi.
Aku menghela napas panjang sambil menatap tubuhku sendiri. Jadi seperti ini rasanya menjadi pria pemalu bin penakut yang tak bisa melakukan apa-apa saat melihat sang Pujaan hati berlalu pergi.