“Nomor yang anda tuju sedang tidak bisa dihubungi, ketuk nomor-“
Bumi berdecak kesal. Menatap nanar layar ponselnya yang menampilkan profil kontak Mas Langit. Ini panggilan ke-29 malam ini. Jika di total, maka seluruh panggilan tak terjawab-nya untuk Mas langit kira-kira ada sekitar 30.000, atau lebih? Mungkin. Karena tidak ada malam yang Bumi lewatkan tanpa mencoba menghubungi kakak sulungnya itu. Karena Bumi yakin, Mas Langit akan kembali. Mas Langit tidak hilang. Mungkin suatu saat, ketika Bumi menelpon untuk yang ke-50.000 atau yang ke-100.000, Mas Langit akan mengangkatnya, lalu mengatakan bahwa ia akan pulang ke rumah. Atau ketika itu ada orang lain yang mengangkatnya lalu mengatakan bahwa Mas Langit sebenarnya sudah ganti nomor, lalu tidak menghubungi karena ponselnya rusak waktu itu dan ia tidak mengingat nomor telepon rumah.
Mereka selalu menyangkal kemungkinan buruk apa saja yang bisa terjadi pada Mas Langitnya. Atau mungkin hanya Bumi yang menyangkalnya. Sebab Mas Langit pernah ber-janji padanya semalam sebelum Mas Langit berangkat ke Jakarta esok harinya. Mas Langit bilang akan pulang. Mas Langit berjanji akan membelikannya sepatu baru jika Mas Langit pulang nantinya. Mas Langit tidak pernah mengingkari janjinya. Itulah kenapa Bumi sangat yakin bahwa Mas Langit akan mengangkat teleponnya, lalu pulang.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak bisa dihubungi. Tekan nomor 1 jika ingin meninggalkan pesan suara.”
Bumi terdiam sejenak, lalu mulai menekan angka 1 untuk meninggalkan pesan suara. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Untuk apa? Toh, jika memang Mas Langit akan mendengarnya, kenapa Mas Langit tidak menelponnya saja? Menurut Bumi itu sia-sia. Mas Langit akan melihat dengan sendirinya berapa puluh ribu telepon tak terjawab darinya, dan secara otomatis, Mas Langit pasti sadar bahwa selama ini orang-orang mencarinya. Tak perlu pesan suara, Mas Langit bukan lagi anak kecil yang perlu ditinggali pesan jika makan siangnya ada di atas meja.
“Mas, Mas apa kabar? Orang-orang rumah nyariin Mas,” ucap Bumi bergetar. Dengan segala harap agar suatu saat nanti Mas Langit benar-benar mendengarnya.
“Mama sakit Mas… Bumi nggak tau Mama sakit apa, Mama nggak mau dibawa ke rumah sakit Mas. Mama maunya Mas Langit pulang…” ucap Bumi sambil mengusap kasar pipinya. Menghalau air matanya. Tujuan Bumi untuk menumpahkan segala yang mem-bebani pundak dan hatinya, bukan untuk menangis.
“Mama jadi sering lupa gara-gara sakitnya tambah parah…”
Bumi menggenggam erat ujung kemejanya. Sesak. Ruangan gelap ini menjadi saksi bisu betapa rapuhnya Bumi saat ini. Bukan lagi Bumi yang terlihat tangguh dengan segala pekerjaan sampingan yang ia ambil, bukan juga Bumi yang terlihat tangguh dengan seluruh pekerjaan rumah yang ia lakukan setiap pagi. Ini Bumi. Bumi yang dibalik kata ‘tangguh’nya membutuhkan Mama dan Bapak. Bumi yang membutuhkan Mas Langit.
“Guntur, pamit sama Mamanya lain kali aja ya.” Bumi menghela nafas kala Guntur yang sepertinya sangat ingin bertemu Mama setelah berhari-hari tak lagi mendapat izin dari Mas Buminya terlihat murung. Bumi sadar benar apa yang ia lakukan pagi itu dan pagi-pagi sebelumnya. Bukan maksud Bumi untuk memisahkan adik-adiknya dari Mama. Bahkan mungkin diantara mereka ada yang tak lagi merasa rindu dengan Mama saking seringnya Bumi melarang mereka bertemu Mama. Ada sakit yang Bumi pikir cukup Bumi saja yang rasa. Sakit yang Bumi pikir adik-adiknya tak akan mampu menanggungnya.
“Langit? Sudah pulang kamu?”
Bukan Langit Ma, ini Bumi. Bagaimana Bumi tega membiarkan adik-adiknya yang mengharapkan peluk kasih dari Mama malah mendapati bahwa yang selama ini mengisi hati Mama bukan lagi mereka, melainkan Mas Langitnya?
“Bukan, Ma. Ini Bumi-“
“Bohong kamu, orang ini Langit kok.”
Serindu itukah Mama sama Mas Langit? Ini Bumi Ma, Mas Langit belum pulang. Percuma. Nyatanya yang ingin Mama lihat bukan lagi wajah tegar Bumi. Atau wajah menggemaskan Guntur dan Bintang. Bukan juga wajah tampan Gala dan Bara. Bukan pula wajah lucu Fajar. Hanya Mas Langit. Karena semesta Mama berpusat pada Mas Langit.
Pagi itu cukup panjang bagi Bumi yang menanggung pedih sendiri. Mungkin Bumi tak lagi peduli apa kata adik-adiknya tentang dirinya yang terus-terusan melarang mereka bertemu Mama bahkan di hari Minggu sekalipun. Terserah mereka menganggap Bumi serakah atau mencoba mendapatkan kasih sayang Mama untuk dirinya sendiri. Karena Bumi hanya tidak ingin adiknya merasakan sakit yang ia rasa.
Sakitnya tak lagi dilihat sebagai diri, melainkan orang lain.
“Mas Langit kapan pulang? Bumi udah capek banget Mas…” Bumi menjauhkan sejenak ponselnya, menuntaskan sebentar isak yang memaksa terus keluar dari mulutnya. “Bumi nggak kayak Mas yang sabar. Bumi banyak kurangnya. Bumi nggak bisa jadi kayak Mas…”
Belum selesai. Sakitnya hari ini belum selesai. Teringat olehnya Fajar yang dengan wajah lelahnya meminta untuk berhenti kuliah. Fajar yang selama ini Bumi andalkan karena emosinya lebih stabil menurutnya. Fajar yang selama ini ia percaya tak menanggung beban yang begitu berat sehingga ia tak perlu mengkhawatirkannya. Rasa sesal yang muncul akibat Gala yang ia salah pahami masih basah, dan fakta bahwa Fajar melawan semuanya sendirian selama ini seperti garam yang ditabur pada luka.
“Lo kenapa masuk akuntasi kalo lo tau itu bukan bidang lo?”
“Soalnya Bapak dulu kuliah jurusan akutansi Mas, tapi nggak sampe lulus. Bapak bilang Bapak pengen salah satu anaknya masuk akutansi. Bapak udah nggak ada Mas, dengan cara apa lagi gue banggain Bapak kalo nggak dengan nurutin pengennya Bapak?”
Bumi tau itu. Bumi tau bahwa sedari dulu Fajar bukan anak berprestasi, apalagi di bidang matematika. Fajar hanya anak yang rankingnya naik turun. Kadang di tengah, kadang masuk 10 besar, kadang juga masuk 3 besar dari bawah. Merutuki dirinya sendiri. Bumi menyesali dirinya dua tahun yang lalu, yang dengan gampangnya menyetujui Fajar yang masuk akutansi dengan tujuan membanggakan Bapak.
Seharusnya ia memikirkannya setidaknya satu malam saja. Atau membicarakannya dengan Fajar sehingga Bumi bisa mencegah Fajar memilih jurusan yang tidak ia inginkan.
“Bintang sakit Mas…”
Entah apa lagi yang bisa Bumi lakukan kecuali menangis. Lengkap sudah perasaan sakit yang ia rasa hari ini. Satu lagi fakta yang membuat Bumi merasa tak lagi bisa menanggung beban yang ada. Sedih, sesal, dan marah yang menumpuk sejak dirinya memutuskan untuk menjadi pengganti Bapak, Mama dan Mas Langit kini tumpah. Pertahanan Bumi roboh. Bumi tak punya cukup kekuatan, bahkan untuk memeluk dirinya sendiri. Untuk memungut sisa serpihan yang sudah hancur sejak awal.
Bumi mendengarnya. Ia mendengarnya dengan telinganya sendiri.
Pembicaraan dengan Fajar masih membekas begitu dalam. Setelah mengatakan bahwa ia butuh waktu untuk memikirkan hal itu, Bumi segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Namun tepat ketika langkahnya berhenti di depan pintu kamar Bara-Bintang, sebuah pembicaraan menghentikan langkahnya. Ia pikir ia hanya perlu masuk untuk menegur mereka berdua yang belum tidur walau jam sudah menunjukkan angka 10.30. Namun urung ia lakukan ketika Bintang menyebut bahwa ia sakit. Sakit yang cukup parah. Tumor otak, yang memiliki efek samping seperti yang dialami Mama saat ini. Lupa, sakit kepala, pingsan, mimisan dan gejala lain yang seakan membuat Bumi seolah-olah melihat Mama di depannya.
“Mau sampe kapan ngerahasiain ini dari Mas Bumi?”
“Nggak tau Mas, mungkin sampe nanti keadaan membaik.”
“Ya kapan? Kalo mau nunggu keadaan membaik nanti keburu lo-nya makin parah.”
Tak terdengar suara apapun selama beberapa menit. Bumi diam di depan pintu, resah menunggu jawaban dari Bintang yang entah sedang apa saat ini. Apa ia sedang memikirkan Bumi? Atau ia hanya takut dimarahi? Atau jangan-jangan ia kasihan padanya?
“Tapi gue juga nggak bisa egois sama diri gue sendiri Mas. Mama masih sakit, uang SPP belum dibayar, lo tau kan SPP kita berapa? Gue, Guntur sama Mas Gala masih sekolah. Habis ini Mas Gala wisuda. Lo sama Mas Fajar belum kelar kuliah, Mas Bumi juga harus ngejar uang kuliahnya. Mas Bumi baru bayar tunggakan. Gue nggak tega kalo harus bebanin Mas Bumi lagi Mas, biarin Mas Bumi seneng dulu.”
Kenapa untuk hal seperti ini Bumi tidak pernah mengerti? Kenapa untuk hal sekecil Guntur yang dirisak, Gala yang rela masuk BK berkali-kali demi adiknya, Fajar yang berjalan tertatih sendirian, Bintang yang sakit parah dan Bara yang harus menanggung akibat ketidakpekaannya terhadap adik-adiknya saja ia tidak tau?
“Mas, Bumi gagal jadi kakak Mas… Bumi nggak bisa…”
Bumi, memang terkadang dunia sekejam itu. Kejam sekali sampai terkadang kita bertanya-tanya, kenapa semesta begitu percaya pada kita sampai tega menaruh beban seberat itu di pundak kita? Nyatanya semesta tidak pernah salah kira. Tuhan tidak pernah salah sasaran. Tuhan yang mengatur segalanya, dan Tuhan tak pernah salah. Tuhan tidak mungkin menaruh dendam sehingga menghukummu sedemikian rupa. Tuhan tidaklah marah sampai mengatur scenario yang begitu rumit bahkan tak bisa kau kira.
Tuhan itu baik. Tuhan sangat baik.
Apapun yang dilakukannya selalu benar. Selalu tepat. Semua yang terjadi pada kita hanyalah sebatas scenario kecil yang memang harus kita hadapi. Semua terjadi pada kita bukan hukuman, tapi kejutan. Karena sejatinya, kesedihan ada di antara dua kebahagiaan.
Kita hanyalah manusia yang bertugas menjalankan segalanya tanpa ragu. Tanpa banyak mengeluh. Tanpa banyak bertanya. Tapi apa bisa kita berjalan di kegelapan seorang diri?
“Pulang Mas… Bumi butuh Mas…”
+++
“Affaan tuch?”
Gala menatap Bintang dengan tatapan maut yang seakan-akan Bintang bisa mencair jika terus-menerus ditatap seperti itu. Sedangkan Bintang mana peduli. Setelah sedikit mengintip dari balik bahu lebar Mas Gala-nya, Bintang tersenyum lebar ketika menemukan buah kesukaannya di letakkan di baskom merah hati yang salah satu sisinya sedikit gosong karena terkena obat nyamuk ketika Bara baru meletakkan baskom yang semula berisi jeruk di samping obat nyamuk sebelum ia tinggalkan ke kamar mandi. Buah manggis yang Bintang bilang akan ia beli seluruh bijinya di dunia ini dan ia tanam di depan rumah ketika dewasa esok.
“Minggir ah,” gumam Gala yang sedang sibuk menggoreng terong untuk ia jadikan lalapan nantinya. Rupanya si nomor lima itu sedikit risih dengan Bintang yang tak hanya mengintip dari balik punggungnya, namun kini malah menempelkan pipi kirinya di lengan Gala.
“Emoh,” jawab Bintang singkat.
Gala memutar bola matanya malas. Mencoba meneruskan kegiatan menggoreng ikan-nya dengan lengan kirinya sebab ada Bintang yang gelendotan di lengan kanannya.
Sedangkan di meja makan ada Guntur yang baru duduk dengan seragam sekolahnya dan sebotol air dingin di depannya. Tangannya masih sibuk dengan dasi yang menggantung di lehernya. Ia baru saja melihat tutorial mengikat dasi yang benar semalam. Pak Dharma akan mengadakan razia besar-besaran hari ini. Tidak seperti Gala yang tidak pernah rapi dalam berpakaian, sebenarnya razia besar-besaran ini tidak membuat Guntur khawatir. Mas Bumi tidak membolehkannya membawa ponsel ke sekolah. Selain karena tidak boleh, Guntur juga pelupa. Jika butuh apa-apa, kan ada ponsel Mas Gala dan Mas Bintang. Jadi ia tidak perlu khawatir ponselnya di razia. Tapi ada satu yang membuat Guntur cukup gugup dengan razia ini. Guntur tidak pernah bisa mengikat dasinya dengan benar. Ia pikir gampang saja, namun rupanya tidak semudah yang ia lihat. Bahkan sepertinya tangannya yang terikat, bukan dasinya.
“Yaelah gini doing gak bisa, cowok gak lu?”
Guntur segera terperangah ketika Fajar yang entah datang darimana dan sejak kapan tiba-tiba menyambar dasi yang sudah acak-acakan dari tangannya dan mulai mengikatnya dengan benar. Hanya dengan melihat kaus hitam dengan lambang hati di dada kanannya dan celana pendek selutut, Guntur yakin sekali bahwa kakak ke empatnya ini pasti sedang tidak ada kelas. Atau ada tapi masih nanti? Guntur tidak tau. Tidak peduli tepatnya.
“Baru bisa ngiket aja kok bangga,” cibir Bintang yang masih gelendotan di lengan Gala sambil memasang muka sewot. Sedangkan Fajar yang dibilang ‘baru bisa’ jelas tidak terima. Yah, walau ucapannya tidak sepenuhnya salah. Nyatanya Fajar baru bisa mengikat dasi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, yang biasa mengikatkan dasi mereka adalah Mas Bumi, sedangkan Mas Bumi sedang pergi ke Jakarta untuk mencari Mas Langit. Senin itu Fajar kelimpungan melihat tutorial mengikat dasi karena adik-adiknya itu harus pergi ke sekolah beberapa menit yang lalu. Bagaimana dengan Bara? Molor tentu saja.
“Gini-gini gue yang ngiketin dasi lo ya,” balas Fajar tak kalah sewot yang tidak dibalas oleh Bintang. Adiknya itu malah mengendikkan bahunya dan tetap melanjutkan aktivitas gelendotan di lengan Mas Gala-nya.
Setelah dasinya berhasil terikat dengan rapi, Guntur dengan senyum lebarnya berterimakasih kepada Fajar yang kini berkacak pinggang menatap adiknya dengan senyum kecil. Diam-diam menatap Guntur yang tak ia sadari akan berusia tujuh belas tahun ini. Adik kecilnya yang menggemaskan sudah besar rupanya. Lalu dengan sekonyong-konyong Fajar mengambil sebotol air dingin yang hampir Guntur sentuh dengan tangannya. “Masih pagi,” hanya itu yang Fajar katakan sebelum akhirnya meneguk habis air dingin yang memang terisi setengah botol. Ah, Fajar tidak benar-benar ingin menjahili Guntur, ia juga khawatir kok.
Sedikit tapi, hehe.
“Bintang minggir dulu ah,” suara Gala terdengar mendekati meja makan ketika Fajar baru memasukkan botol kosong yang telah ia isi ke dalam kulkas. Gala tampak kesulitan sekali membawa sepanci sop yang masih panas dan sepiring ikan goreng (beberapa sepertinya agak gosong gara-gara Bintang terus gelendotan di lengan Gala). Tepat setelah Fajar menempatkan dirinya duduk di depan Guntur, Mas Bumi dengan hoodie oranye pastel dan celana jeansnya baru turun dari tangga. Santai sekali pakaiannya, sepertinya hari ini Mas Bumi tidak ada kelas.
“Gosong,” ucap Mas Bumi sambil menunjuk salah satu ikan yang ada di atas meja dengan dagunya.
“Salam dulu kek biar berkah, malah julid,” ucap Gala sambil menatap nyalang Bumi yang dibalas tawa kecil dari lawan bicaranya.
“Cie yang sekolah,” Guntur segera melemparkan tatapan bingung pada Fajar yang kini mengedipkan sebelah matanya. Kakak ke empatnya itu bahkan lebih menyeramkan daripada banci genit yang biasa ia temui di angkot ketika pulang sekolah.
“Maksud?”
“Cie yang sekolah, moga ga diganggu lagi ye.” Oh, rupanya ada lanjutannya. Guntur hanya mencebik sambil menuangkan air di gelasnya. Sedangkan yang lain hanya tertawa ketika melihat wajah kesal si bontot.
“Tapi serius deh, lo udah tau dipalakin gitu kok masih aja mau temenan sama mereka?” tanya Bintang sambil menopang dagu, menatap penuh tanya kepada Guntur yang duduk di sampingnya. Guntur tampak berpikir. Sebenarnya tidak ada alasan khusus. Saat itu Guntur yang kesepian hanya ingin ditemani, dan hadirlah mereka. Singkatnya, Guntur hanya ingin punya teman.
“Gue cuma pengen punya temen aja,” ucap Guntur tanpa menatap Bintang yang kini mengernyit bingung. Ah bukan, bukan tidak mau menatap, Guntur sejujurnya takut menatap Bintang. Kakak beda 11 bulannya itu cukup jeli dalam membaca ekspresi. Apa yang harus ia lakukan jika Bintang menemukan bahwa dirinyapun kebingungan?
“Gue udah ikut organisasi di sekolah, gue juga udah nyoba berbaur, tapi tetep gaada yang mau nemenin. Cuma mereka yang deketin gue,” ucap Guntur sambil melahap sarapan-nya. Sesekali melirik Bintang yang mengangguk, entah memang paham atau masih mencoba memahami. Memang benar apa yang diucapkannnya. Guntur tidak pernah peduli dengan kehidupan sekolahnya. Yang ia kejar hanya masalah nilai yang bisa membawakannya beasiswa agar nanti tak lagi merepotkan Mas Buminya. Ambisinya hanya untuk angka di atas rapornya. Tapi lambat laun Guntur mulai kesepian. Ia merasakan benar bagaimana tidak menyenangkannya tak punya seseorang yang bisa diajak bicara atau bercanda ketika guru belum datang. Atau bagaimana sepinya ketika hanya terdengar denting sendok dan mangkuk kaca ketika ia makan sendiri di jam istirahat. Walau masih menyangkalnya, mau tidak mau Guntur harus mengakui bahwa sebenarnya ia juga butuh teman.
Dan datanglah mereka bertiga. Yang kehadirannya membuat Guntur merasa baru. Tak lagi kesepian ketika guru belum datang dan waktu jam istirahat tentu membuat Guntur senang. Ia tak lagi sendiri, ia punya teman bercanda. Kenyamanan sesaat itu rupanya cukup kuat mengikat Guntur dalam hubungan tak sehat itu. Mau tidak mau Guntur harus me-lakukan apa yang mereka mau, dengan ancaman jika melawan, Guntur tak lagi menjadi teman mereka.
“Besok besok, kalo temenan dilihat dulu Tur. Nggak semua yang nyaman itu aman,” ucap Mas Bumi tanpa mengalihkan pandangannya dari ikan yang sedang ia pisahkan duri dan dagingnya.
“Anjay, udah kayak spanduk di jalan aja lo Mas,” ucap Fajar sambil tertawa yang diikuti oleh seisi ruangan.
Guntur tertawa. Benar yang Mas Bumi katakan. Nggak semua yang nyaman itu aman. Karena nyatanya, berawal dari nyaman berteman dengan orang yang salah, berujung terikat dengan hubungan yang salah juga.
“Belajar temenan lagi Tur, nggak pa-pa. Yang kemaren-kemaren dibuat pelajaran.” Rupanya Mas Bumi tidak peduli dengan tawa sumbang Fajar yang menyamakan ucapannya dengan spanduk polisi di jalan raya. Tatapan teduh Mas Bumi seperti jimat sakti bagi Guntur. Bagi Guntur, tatapan teduh Mas Bumi benar-benar bisa meredam seluruh gundahnya.
Bintang tersenyum penuh arti ketika melihat Guntur kini menunduk dengan senyum yang tak bisa lagi ditahan sambil memperhatikan wajah saudara-saudaranya. Mengabaikan sakit kepalanya yang sedari tadi mengganggunya. Bintang tidak butuh paracetamol atau obat sakit kepala yang biasa dijual di toko Pak Sanusi. Melihat keadaan semakin membaik seperti ini saja sudah cukup meredakan sakit kepalanya. Si nomor enam itu lalu merangkul si bontot dengan senyum lebar. “Nggak usah takut nggak diterima sama orang lain Tur. Kalo nggak ada yang mau nerima lo, lo masih punya kita di rumah Tur.”
Guntur rasanya ingin menangis saat ini. Ia pikir Mas Bumi akan memarahinya karena tidak mengatakan bahwa selama ini ia dirisak. Atau Mas Bumi akan memojokkannya seperti yang dilakukan guru-gurunya ketika ia melapor bahwa dirinya dirisak. Guntur kira, saudara-saudaranya akan mengatakan bahwa ia memang pantas dirisak sebab tak berani melawan. Tapi yang ia lihat saat ini adalah senyum penuh dukungan dari kakak-kakaknya. Bahkan kalimat menenangkan dari Bintang yang biasanya bertengkar dengannya. Ah, betapa beruntungnya Guntur menjadi salah satu dari mereka. Menjadikan mereka rumah untuk ia pulang. Untuk ia beristirahat. Apa pula arti rumah? Guntur mana tau kosakata serumit itu. Yang Guntur tau, rumah tak selalu berbentuk bangunan. Karena saudara-saudaranyalah tempat ia beristirahat, lebih nyaman daripada kasurnya.
“Inget Tur, jangan maksain diri sendiri lagi. Kalo emang nggak cocok yaudah, jangan malah nurutin jadi apa yang dia mau. Lo mungkin aja temenan sama dia, tapi lo bakal lupa siapa lo kalo kelamaan nurutin maunya orang lain,” ucap Fajar sambil menyodorkan sebotol air dingin yang baru ia ambil dari kulkas, barangkali untuk menebus perbuatannya beberapa menit yang lalu. “Inget, untuk bisa diterima orang lain, cukup jadi diri sendiri.”
Guntur mengangguk mengerti. Sangat mengerti. “Karena walaupun lo diterima di tengah orang-orang tanpa jadi diri sendiri, lo bukannya seneng, tapi kosong. Betewe itu cepet diminum, gue juga mau,” ucap Fajar sambil mengulurkan tangannya.
“Wih! Udah jam tujuh seperempat! Waktunya berangkat nih!” seru Gala ketika melihat Bara yang baru saja keluar dari kamarnya sedang menuruni tangga. Wajahnya benar-benar khas orang bangun tidur. Kucel abis.
Serentak, setelah seruan Gala barusan, semua orang yang ada di meja makan seketika langsung bangkit dan membawa piring-piring kotor mereka ke wastafel. Bahkan Fajar langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa piring-piring kotor ini akan menjadi tanggung jawabnya pagi ini. Bintang, Gala dan Guntur langsung bersiap memakai sepatu dan mencangklong ranselnya. Membuat Bara bingung melihatnya.
Di tempatnya, Bintang yang baru selesai mengikat tali sepatunya sedikit termenung melihat pesan pengingat yang membuat ponselnya menyala. Hari ini jadwal kontrolnya ke rumah sakit. Sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Bintang memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Jarak rumah sakit dengan sekolahnya jauh, dan Mas Bara sudah berjanji akan mengantarnya control. Sekalian jadi wali katanya. Tapi barusan ia lihat Mas Baranya baru saja turun dari kamarnya dengan kaus sangsang dan celana pendek. Rambutnya sudah bukan lagi berantakan, tapi acak-acakan. Ah, pasti Mas Bara lupa janji pagi ini.
Bintang segera berbalik, niat hati mau meneriaki Mas Bara yang saat ini bukannya siap-siap, tapi malah duduk di depan kulkas sambil mengantuk.
Namun urung ketika belum selangkah kakinya maju kedepan, ia merasa seseorang menarik tasnya dari belakang. Dengan segera, Bintang menoleh ke belakang, berniat menyentil jidatnya kalau-kalau pelakunya adalah Guntur. Tapi sekali lagi, belum sempat terangkat tangannya, Bintang hanya bisa mengerjap bingung ketika melihat yang menarik tasnya saat ini adalah Mas Bumi.
“Berangkat bareng gue,” entah berapa kali Bintang terkejut pagi ini. Ucapan Mas Bumi yang meluncur dengan mulusnya bahkan menghentikan Gala yang sedang berjalan keluar pintu sambil mengacak rambutnya setelah selesai mengikat tali sepatunya. Guntur tetap jalan saja. Toh, dia berangkat naik sepedanya sendiri.
“Kunci motor?” tanya Mas Bumi sambil mengulurkan tangannya, membuat Bintang mau tak mau mengambil kunci motornya yang tergantung di atas etalase sepatu di urutan ke lima. Gala yang masih berdiri di tempatnya semakin bingung. Biasanya dia dan Bintang akan berangkat boncengan dengan motor Fajar atau Bara. Atau jika mereka sedang ada kelas, mereka akan memakai motor Bintang. Tapi pagi ini Fajar bilang akan pergi ke rumah Mas Aheng untuk urusan tugas kampusnya, dan Bara ada kelas jam 8 nanti. Motor Mas Bumi terlalu berat.
“Lah, gue?” tanya Gala setelah sadar bahwa tidak ada motor di rumah.
“Mandiri.” Jawab Mas Bumi sambil memakai helm dan melangkah keluar rumah diikuti Bintang yang berjalan terburu-buru sambil menenteng helm. Meninggalkan Gala yang menatap nelangsa kedua saudaranya.
+++
Entah berapa kali Bintang bingung pagi ini. Setelah Mas Bumi yang tiba-tiba mengajak-nya berangkat bersama, kali ini Mas Bumi malah tidak menurunkannya di sekolah, tapi malah di rumah sakit yang seharusnya ia datangi bersama Mas Bara.
“Kok kesini…” tanya Bintang pelan sambil memperhatikan rumah sakit yang ada di depannya.
“Lo jadwalnya control kan hari ini?” tanya Mas Bumi yang dijawab anggukan pelan dari Bintang. “Yaudah, ayo.” Bintang mengikuti langkah Mas Bumi dari belakang. Memandang punggung Mas Bumi yang berjalan di depannya dengan tatapan yang entah apa artinya.
Disinilah Bintang, duduk di ruangan bernuansa putih yang terakhir kali ia datangi dengan perasaan cemas dan takut. Bau obat-obatan dan alcohol tak lagi menggangu indra penciumannya sebab Bintang akan sering-sering mencium bau-bauan ini. Setelah satu bulan lamanya Bintang memikirkan bagaimana cara menceritakan apa yang selama ini terjadi padanya, pada akhirnya Bintang bisa sedikit bernapas lega. Memang benar kata orang; kemudahan selalu membersamai kesulitan. Pada akhirnya, Mas Bumi yang selama ini menjadi kekhawatiran terbesarnya mengetahui rahasia terbesarnya. Dan hebatnya, semuanya berjalan begitu saja. Bahkan sebelum Bintang mengucapkan sepatah katapun.
Ruangan bernuansa putih itu masih menjadi saksi betapa takutnya Bintang hari itu. Bahkan kursi yang ia duduki saat ini adalah kursi yang sama yang ia duduki saat pertama kali datang kemari. Namun suasana kali ini berbeda. Suasana baru. Karena kali ini Bintang duduk bersama Mas Bumi.
Bintang tak hentinya memilin ujung dasinya. Bintang merasa gugup sekali.
Entah gugup karena hari ini ia akan mengetahui perkembangan penyakitnya, atau gugup karena kali ini ia tak lagi memikirkan penyakit itu sendiri. Bintang takut, tapi rasa takut kali ini tak sebesar ketika pertama kali datang kemari. Mungkin karena Bintang tau, kali ini tak lagi menanggung beban itu sendiri. Ada Mas Bumi disini.
“Tegang amat. Biasa aja kali,” celetuk Mas Bumi sambil terkekeh melihat wajah Bintang yang sungguh tegang saat ini. Sedangkan Bintang hanya membalas dengan anggukan. Entah apa yang ia iyakan.
“Gapapa Bintang, gapapa dek,” ucap Mas Bumi sambil tersenyum kepadanya. Bintang hanya diam menatap senyuman Mas Bumi. Seakan ada beberapa potongan kenangan yang kembali terputar di hadapannya. Saat itu, Bintang baru naik kelas satu, Mas Bumi kelas lima. Siang itu, Bintang yang tidak bisa tidur siang mendatangi Mas Bumi yang baru mau memejamkan matanya di atas ranjang. Bintang tidak mengatakan apapun, hanya berdiri memandangi wajah Mas Bumi yang sudah terpejam matanya tiba-tiba terbuka, membuat Bintang kecil sedikit terlonjak. Setelah mendapat jawaban kenapa adiknya datang ke kamarnya, Mas Bumi lalu mengusulkan untuk mengajari Bintang membuat pesawat kertas di ruang tamu. Bintang yang terlalu semangat mengejar pesawat Mas Bumi yang terbang, tidak menyadari keberadaan vas bunga Mama yang baru dibeli minggu lalu. Dan benar saja, Mama yang sedang tidur siang waktu itu langsung berlari ketika mendengar suara pecahan kaca yang amat keras dari ruang tamu. Padahal jelas-jelas Bintang yang memecahkannya, Mama malah memarahi Mas Bumi yang berdiri tak jauh dari pecahan vas itu. Mas Bumi tak banyak bicara, hanya mengiyakan apa yang dikatakan Mama.
“Gapapa Bintang, gapapa dek.”
Mas Bumi juga mengatakannya waktu itu. Ia tak marah pada Bintang yang karena kecerobohannya membuat Mas Bumi dimarahi Mama. Ia hanya mengatakan ‘tidak apa-apa’. Ia tak kecewa dengan Bintang yang tak membela Mas Buminya padahal ia tau apa yang terjadi sebenarya.
Sama persis dengan kejadian hari ini.
Entah sejak kapan dan dari mana Mas Bumi tau tentang penyakitnya.
Sejujurnya Bintang memang takut dengan reaksi Mas Bumi. Jujur ia takut dimarahi. Ia takut Mas Bumi akan marah karena merahasiakan hal sepenting ini darinya. Ia takut Mas Bumi akan menganggapnya tak lagi butuh dirinya. Tapi bukankah itu reaksi yang wajar? Walau bukan sepenuhnya salah Bintang, tapi menyembunyikan fakta nyatanya tidak menyelesaikan masalah. Tapi melihat reaksi Mas Bumi yang malah mengantarnya control alih-alih memarahinya, entah kenapa membuat Bintang sedikit kecewa.
Mas Bumi, tak bisakah kau sedikit egois untuk dirimu sendiri? Kau terlalu banyak mengalah. Kau terlalu banyak menekan emosimu. Tak bisakah kau marah saja atau mengataiku tak tau diri? Katakan kau marah Mas, sehingga aku tak perlu susah payah memerangi rasa bersalah ini sendiri.
+++
Tidak ada pembicaraan selama Mas Bumi melajukan motornya. Bintang hanya menunduk sambil mengulang-ulang dialognya dengan dokter beberapa saat yang lalu. Tumor yang ada di otaknya tidak berada di tempat yang bisa di operasi. Karena jika tumornya diambil sekalipun, ia akan mengalami kelumpuhan pernapasan. Dokter bilang yang bisa mereka lakukan hanya menghambat pertumbuhan tumor itu dengan obat.
‘Apa gue habis ini mati?’
“Gue mau beli cilok Pak Sumali, lo juga mau nggak?”
Bintang terdiam sejenak. Melirik ke arah Mas Bumi yang kini menoleh kebelakang. Motornya sudah ia berhetikan beberapa menit yang lalu.
“Lo nggak marah Mas?” tanya Bintang ragu.
Mas Bumi tampak diam, memikirkan apa yang akan katakan untuk menjawab pertanyaan adiknya itu. “Ya, ngapain marah? Bukan maunya lo kan?”
“Bukan gitu,” ucap Bintang menggantung. Pandangannya ia lempar sembarang arah. Entah apa yang harus ia katakan saat ini. “Lo nggak marah gue nggak bilang ke lo?”
Mas Bumi mengangguk samar setelah terdiam cukup lama. “Marah sebenernya. Tapi kalo gue marah, apa itu bakal bikin tumornya ilang? Enggak kan? Jadi ya ngapain marah,” jelas Mas Bumi sambil kembali menyalakan mesin motornya.
Bintang terdiam, membuat hening di antara mereka semakin nyata terasa. Jalan raya sedang ramai-ramainya. Pukul 10 pagi adalah waktu dimana kendaraan banyak beroperasi. Terbukti dengan padatnya jalan raya yang sedikit menghambat perjalanan mereka. Truk-truk seakan melahap jalan hanya untuk mereka sendiri. Tak memberi cela bagi siapapun untuk mendahului mereka. Suara berisik klakson motor para pekerja yang hampir terlambat terdengar nyaring ramainya. Namun tetap sepi bagi Bintang yang ramai suara kepalanya melebihi ramainya jalan raya.
“Mas-“
“Bintang, Mas minta maaf ya.” Mas Bumi tak menoleh. Tetap fokus memperhatikan truk yang perlahan maju memberi akses kendaraan di belakangnya. Sedangkan Bintang yang ucapannya terpotong diam mendengar penuturan Mas Bumi.
“Mas minta maaf, gara-gara Mas nggak peka sama Bintang, Bintang jadi harus ngelawan penyakit Bintang sendirian.”
Mas Bumi, tidak bisakah kau tidak menyalahkan dirimu sendiri? Tidak bisakah sekali saja kau membela dirimu dan mengatakan bahwa semua itu bukanlah salahmu? Sebab orang bilang, seseorang yang sering menyalakan dirinya, dia akan selalu merasakan sesak di dadanya. Rasa sesal itu ada dan begitupula sakitnya. Namun bukankah lebih sakit jika rasa sesal itu datang hanya karena kita yang memintanya? Karena bukan hanya dirimu yang merasa sakit Mas, kita juga.
“Gara-gara Mas nggak peka sama kalian, kalian jadi harus nanggung beban sendirian. Maaf ya Mas suka marah-marah, makanya kalian nggak berani cerita apa-apa sama Mas.”
Mas Bumi, bukankah marah itu wajar? Bapak bilang, marah saja jika ingin marah. Karena marah itu racun yang harus dikeluarkan, sama halnya dengan menangis. Bapak bilang, menangis bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa kita manusia. Marah juga bukan tanda jahat dan egois, tapi tanda bahwa kita manusia. Bapak bilang menahan marah itu boleh, tapi jika ditahan terus-terusan, itu hanya akan mengancurkan diri sendiri Mas. Mas Bumi, seberapa hancurnya dirimu sekarang?
“Bintang jangan nyerah ya dek? Kita jalan bareng-bareng.”
Mas Bumi, bertahanlah sebentar lagi ya Mas? Bertahanlah sampai kita bisa membuat Mas Bumi merasa tidak sia-sia mengerahkan tenaga Mas buat kita. Bertahanlah sampai kita bisa membuat Mas Bumi merasa bahagia memiliki kita. Bertahanlah Mas. Karena kita sayang Mas.