Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 8) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

Bintang menatap jengah tumpukan sampah tisu bekas mimisannya. Tangannya dengan malas meraih tisu yang baru ia beli tadi di toko Pak Sanusi sebelum berangkat ke sekolah. Tangan kanannya meraih cutter di nakas lalu membuka tisu baru itu, sedangkan tangan kirinya menahan darah yang mengalir dari hidnungnya. Mulutnya bedecak kesal ketika tisu baru itu bukannya terbuka tapi malah jatuh ke bawah. Kepalanya mendongak guna menahan derasnya darah yang keluar dari hidungnya sedangkan tangannya meraba-raba lantai untuk mencari tisu yang diluar jangkauan pandangannya.


“Nih.” Bintang sedikit merendahkan kepalanya ketika seorang lelaki menyodorkan tisu tepat di depan wajahnya. Bara tampak menghela nafasnya ketika melirik sekilas ke arah tempat sampah kecil yang penuh dengan tisu berwarna merah.


“Makasih,” ucap Bintang setelah menyeka darah di hidungnya. “Gercep amat, sayang banget gapunya pacar,” goda Bintang sambil tertawa kecil.


“Lo di baikin makin-makin ye,” ucap Bara dengan muka super sewot. Laki-laki itu lalu duduk di atas ranjang UKS sambil melempar pandang ke sekeliling ruangan dan berujung menatap dalam wajah adiknya. Laki-laki itu kini menatap nanar wajah Bintang yang benar-benar pucat. Seberapa lama ia mimisan? Seberapa deras darahnya keluar dari hidungnya sehingga tempat sampah penuh dengan tisu berwarna merah? 


Seberapa kuat Bintang bertahan?


“Katanya lo pingsan?” tanya Bara sambil menyingkap anak rambut Bintang dan menyentuh dahinya dengan punggung telapak tangannya. Sedangkan Bintang tertawa kecil. “Tau dari Guntur pasti,” ucapnya.


Bara mengangguk, masih menatap adiknya. “Gue juga gatau kok bisa. Padahal gue jarang sakit kan ya Mas?” tanya Bintang sambil tertawa kecil ke arah Bara. “Tiba-tiba aja tadi kepala gue sakit banget. Saking sakitnya sampe gue gabisa denger apa-apa tadi.”


Bara masih diam, mendengarkan apa yang adiknya coba keluarkan dari hatinya. Tak berniat membalas, karena ia tau bagiannya masih lama.


“Akhir-akhir ini kepala gue jadi sering banget sakit, gue juga jadi sering ga kedengeran kalo diajak ngobrol,” Bintang tersenyum lirih. Hela nafasnya tak sekuat biasanya. Kata-katanya tak seyakin biasanya. Bintang bergetar, mencoba menahan tangisnya. “Gue juga sering lupa naruh buku-buku atau ngerjain tugas. Yang paling parah, waktu itu gue sampe lupa kalo gue ada jadwal olimpiade atau lupa apa aja yang gue pelajari selama ini.” Bayang-bayang saudara-saudaranya hadir. Wajah bahagia mereka. Wajah Mas Langit ketika dinyatakan sebagai lulusan terbaik seangkatan. Wajah bahagia Guntur ketika dibolehkan tidur sekamar dengannya ketika ketakutan setelah nonton film hantu bersama-sama. Wajah Mas Fajar ketika baru bisa mengendarai motor. Wajah bahagia Mas Gala ketika Guntur akhirnya bersedia membelikannya cilok Pak Sumali (sebab Guntur sangat pelit kepada Mas Gala). Wajah bahagia Mas Bara ketika Mas Bumi mengizinkan Mas Bara untuk ikut perkemahan terakhirnya di kelas 12. Dan wajah Mas Bumi yang selalu terlihat bahagia ketika pada akhirnya berhasil membelikan adik-adiknya barang yang mereka inginkan.


“Gue ga peduli kalo nanti harus pergi,” ucap Bintang sambil menunduk. Isak tangisnya ia redam sedemikian rupa agar Bara tak khawatir padanya. Padahal di tempatnya Bara sudah mendongakkan kepalanya, menahan agar air matanya tak keluar di depan adiknya.


“Tapi gue gamau lupa sama kalian.”


+++


“Dek? Gapapa?”


Mas Bumi tampak langsung bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu begitu mendengar pagar rumah terbuka dan menampakkan Bara yang sedang membantu Bintang berjalan. Mas Bumi khawatir sekali. Terlihat dari wajahnya yang tak kunjung berpaling dari Bintang dan tangannya yang mengusap pipi sampai kening Bintang, memastikan bahwa Bintang tidak demam. Dan ini yang tidak Bintang suka. Membuat Mas Bumi khawatir.


“Gapapa Mas-“


“Gapapa gimana? Lo pucet banget ini,” ucap Mas Bumi sambil mengambil alih peran Bara dalam membantu Bintang berjalan menuju sofa. Sedangkan Bara kini beralih keluar rumah. Kalau tidak salah, mungkin saat ini Bara sedang memarkirkan motornya di garasi dengan benar.


“Duduk dulu,” ucap Mas Bumi sambil membantu Bintang duduk di sofa berawarna krem di depan televisi. Mas Bumi lalu dengan segera pergi menuju dispenser samping kulkas, mengambilkan segelas air putih untuk ia berikan pada Bintang yang kini duduk lemas sambil bersandar di sofa. Mas Bumi baru mematikan tombol dispenser ketika Fajar dan Gala yang melihat Bintang bersandar lemas di sofa dengan terburu-buru menghampiri si nomor enam. Hampir bersamaan, Fajar baru keluar dari kamar dan Gala yang baru keluar dari kamar mandi.


“Kok gini? Lo gapapa?” Fajar segera duduk di depan Bintang lalu menyingkap anak rambut Bintang, membuat wajah putih Bintang semakin terlihat pucat. Sedangkan Gala kini duduk di samping kanan sambil memperhatikan dengan seksama wajah Bintang.


“Minum dulu,” ucap Mas Bumi sambil menyodorkan segelas air putih. Bintang lalu menyambut segelas air dari Mas Bumi dengan seluruh sisa tenaga yang ia punya. Di tempatnya, Gala mengambil gelas yang sudah kosong dari genggaman Bintang dan meletakkannya di nakas, tanpa melepas pandangannya dari Bintang.


“Bintang lemes banget gini, lo gimana tadi boncengnya?” tanya Fajar sambil menoleh ke arah Bara yang kini sedang menggantungkan kunci motor di tempatnya. Bara tampak berpikir, seperti mengingat sesuatu.


“Bonceng depen,” jawab Guntur yang entah sejak kapan sudah duduk di karpet tepat di depan Mas Bumi sambil menahan tawanya.


“Yeu… emang lo, masih bonceng depen sampe kelas 6,” ucap Fajar dengan wajah sewot. Sedangkan Bara hanya mengangguk sambil tertawa ringan. Laki-laki itu lalu duduk di sofa sebelah kiri sambil memainkan ponselnya. 


“Tidur dulu aja deh Bintang, istirahat,” ucap Mas Bumi diikuti anggukan dari Fajar dan Guntur. Si nomor dua itu tampak benar-benar khawatir, yang membuat Bintang semakin tak enak. Sedangkan di tempatnya, Gala masih diam. Menatap adik beda setahunnya itu dengan tatapan yang tak bisa diartikan.


“Ayo ke kamar, gue bantu,” ucap Gala tiba-tiba. Laki-laki itu bangkit, membantu Bintang juga bangkit dari duduknya lalu perlahan membopongnya naik ke lantai dua, ke kamarnya. 


Mas Bumi menyandarkan punggungnya di sofa. Laki-laki itu tampak melamun memperhatikan jam dinding yang di pasang Bara tempo hari tepat di atas televisi di bawah foto keluarga mereka 10 tahun yang lalu. Ketika Guntur baru berumur 6 tahun. Barangkali bukan jam dinding yang ia lamunkan, melainkan figura berukuran sedang yang terpajang apik di atas jam dinding yang ia lamunkan. Foto keluarga mereka yang lengkap. Sebelum Bapak meninggal sebab kecelakaan ketika perjalanan pulang ke rumah. Sebelum Mas Langit hilang ketika memutuskan untuk merantau ke ibu kota. Sebelum Mama sakit sebab beban pikiran yang tak kunjung reda.
Mas Bumi rindu momen itu. Mas Bumi rindu Bapak. Mas Bumi rindu Mama. Mas Bumi rindu Mas Langit.


Lamunan Mas Bumi buyar ketika Guntur yang semula duduk anteng di depannya tiba-tiba saja berlari menuju kamar mandi dan menutupnya kasar hingga membuat debuman keras dan menggema. Membuat semua orang di ruangan terkejut dengan tingkah Guntur yang tiba-tiba.


Belum selesai acara bingung mereka, seruan Fajar seakan menjadi jawaban atas pertanyaan tak terlontar mereka, sekaligus membuat gerutu seisi ruangan.


“GUNTUR BAU ANJIR! KECIRIT LO YA?!”


+++


Fajar menyeruput kopinya dengan wajah masam semasam mangga muda yang biasa dibuat rujak oleh Bara. Tangannya sibuk menggulir laman aplikasi burung putih di ponsel-nya. Niat awal ia menggulir laman beranda bahkan sampai pindah-pindah dari tiktok, insta, sampai twitter jelas untuk membenahi suasana hatinya yang tak karuan saat ini. Namun berujung tangannya mematikan ponselnya sambil melempar ringan ponselnya ke depan sebab bukan moodbooster yang ia temui, tapi malah iklan peninggi badan dan iklan kecantikan yang terpampang di laman berandanya.
Sedangkan Hendery, laki-laki yang sudah menjabat sebagai temannya sejak Negara wakanda merdeka hanya bisa menghela nafas sambil menatap malas sahabatnya itu. 


Sudah 2 jam mereka duduk di sini. Di café kopi kenangan dekat pertamina di daerah Kenjeran. Awalnya Hendery mau mengajak Fajar duduk di warung Bu Supinah saja lantaran lebih murah. Lagipula Hendery memang sudah menjadi langganan di warung Bu Supinah. Tapi melihat wajah Fajar yang sudah sangat suram, bahkan lebih suram daripada awan di sekitar gunung merapi ketika mau meletus, Hendery urung mengajaknya kesana. Bukannya apa-apa,  Hendery hanya takut Fajar tiba-tiba saja tantrum dan merobohkan warung dengan dinding kayu itu. Kalau rubuh, Hendery pasti repot nanti. Selain harus mengganti rugi, Hendery takut jika ia tak lagi diterima sebagai pelanggan setia setiap pagi. Kalau sudah begitu, pihak yang dirugikan pastilah Hendery bukan?


Hendery juga berniat mengajak Fajar duduk di warung bakso Pak Toh langganan mereka. Tapi Hendery takut jika tiba-tiba saja Fajar berubah menjadi siluman macan tutul lalu menggulingkan gerobak bakso Pak Toh. Fajar ini benar-benar bahaya jika sudah tantrum.


Belajar dari pengalaman tentunya. Pernah suatu kali, Hendery mengajak Fajar dengan wajah super suram untuk duduk di kursi depan indomaret. Hendery ingat sekali waktu itu Fajar menemuinya di ruang secretariat setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Nau, gebetannya selama 2 tahun ini dibonceng Gentala yang notabenenya seorang bintang di fakultasnya. Awalnya semua berjalan lancar. Fajar yang sedang kesal hanya diam meminum susu coklatnya sambil memperhatikan ramainya jalan raya. Namun ketika ia melihat seorang perempuan yang memakai cardigan sama persis seperti milik Nau sang gebetan, tiba-tiba Fajar melempar susu coklatnya yang masih tersisa setengah sambil bangkit dari duduknya. Laki-laki itu lalu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk perempuan itu, yang jelas mengundang atensi semua orang yang ada disana. 


Hendery malu sekali. Jadi hendery berinisiatif untuk membawanya ke café yang bagus dengan harapan, Fajar akan mengurangi aksi tantrum konyolnya karena sadar bahwa bisa saja ia masuk ke konten tiktok sebab aksi tantrumnya itu.


“Lo gaada niatan mau nanyain gue kenapa gitu?” tanya Fajar sambil menatapnya nyalang. Sedangkan Hendery lalu menopang dagu, dengan malas lelaki itu lalu bertanya, “Yaudah, lo kenapa?”


“Mbuh,” jawab Fajar singkat.


“Salah mulu gue anjir,” balas Hendery sambil kembli menyeruput kopinya. 
Fajar menyandarkan punggungnya. Hela nafasnya terdengar begitu lelah. Tangannya lalu mulai merogoh ransel yang ada di belakangnya. Sepersekian menit kemudian mengeluarkan plastic bening dengan lembaran-lembaran yang penuh coretan bolpen merah. Tanpa Hendery lihat dengan seksama saja, ia sudah tau kalau itu adalah kertas skripsi Fajar.


“Revisi lagi?” tanya Hendery yang dibalas deheman dari Fajar. Laki-laki itu terdiam. Diam-diam merasa iba dengan sosok di depannya. Hendery bukannya tidak tau seberapa berjuangnya Fajar untuk bisa menyelesaikan skripsinya. Hendery juga bukannya tidak tau berapa kali dosen mengembalikan skripsi Fajar dengan keadaan yang –ah sudahlah. Hendery pikir justru kertas itu lebih layak untuk jadi alas tempe menjes buatan Ibunya.


“Ini yang ke dua puluh,” ucap Fajar.

Laki-laki itu tampak putus asa sekali. Terlihat dari bagaimana Fajar mengusap wajahnya.


“Serius deh, lo kenapa sih pake masuk jurusan akutansi? Lo bukannya suka seni music?” tanya Hendery sambil mengernyit tak habis pikir. Ia ingat sekali bagaimana Fajar sering mengeluh tentang matematika. Hendery bahkan ingat dulu sewaktu mereka masih SMA, Fajar selalu mendumel tiap Pak Nugroho menjelaskan rumus baru kepada mereka. Fajar bahkan rela menembus hujan habis sholat isya di masjid menggunakan sepeda Guntur hanya demi menyontek PR matematika miliknya. Hendery juga ingat betapa Fajar sangat menyukai music. Sahabatnya itu bahkan berkali-kali memenangkan lomba menyanyi dan yang berhubungan dengan music. Mendengar Fajar tiba-tiba memutuskan untuk masuk jurusan akutansi jelas membuat Hendery bingung.


Fajar menatapnya sendu. Lelaki itu lalu menghela nafas panjang. “Gue pernah denger kalo Bapak pengen salah satu anaknya masuk akutansi,” ucap Fajar. Pandangannya terlempar tak tau arah. Sedangkan Hendery di tempatnya hanya diam mendengar cerita Fajar. “Mas Bumi udah masuk seni, Mas Bara masuk teknik, gue yakin banget Gala bakal milih buat masuk kedokteran, Bintang bakal milih buat masuk IT. Guntur masih lama. dia juga gasuka matematika,” ucap Fajar. Jeda sebentar, Fajar meneguk habis kopi di cangkir-nya. Sedangkan Hendery menyodorkan cangkir berisi kopi miliknya yang baru ia minum sedikit yang disambut tawa hambar dari Fajar.

“Bapak udah gaada Nder, pake cara apa lagi gue bikin Bapak bangga kalo ga nurutin maunya Bapak?”


Hendery kenal benar dengan keluarga Fajar. Sewaktu kecil, Hendery pernah menjadi tetangga keluarga Pak Surya. Barangkali itu yang membuat mereka menjadi dekat –sebab Hendery sering sekali main ke rumah. Bahkan Hendery sering sekali menginap di rumah Fajar karena orangtua Hendery yang jarang sekali punya waktu walau sekedar untuk berleha-leha di rumahnya. Saking dekatnya, sampai-sampai Hendery lebih dekat dengan Pak Surya daripada ayahnya sendiri. Pak Surya baik sekali. Hendery yang bukan anaknya saja sangat mengagumi sosok Pak Surya, apalagi Fajar dan saudara-saudaranya.  


Ingatannya seakan kembali ke masa lalu. Ada beberapa saat ketika Hendery menjadi sedikit emosional ketika mengungkit tentang Pak Surya. Hendery tidak lebih dari anak tetangga, tapi Hendery sungguh rindu dengan Pak Surya. Dia saja serindu ini, apalagi anak-anaknya.


“Gue ngerti,” apa lagi yang bisa Hendery katakan selain fakta bahwa ia sungguh mengerti perasaan temannya?


“Tapi Jar, kalo menurut gue, mending lo berhenti aja,” ucap Hendery. Ia tau benar apa yang ia katakan barusan. Memang beresiko, tapi hanya ini yang bisa ia katakan. Membuat Fajar sadar bahwa jika ia melakukan sesuatu yang tidak ia suka walau dengan niat baik tidak selamanya berakhir baik juga.


“Maksud lo?”


“Ya, berhenti. Lo gabisa terus-terusan maksa diri lo kayak gitu-“


“Tapi ini impian Bapak Nder, kalo bukan ini apalagi yang bisa gue lakuin?”
Fajar mengusap wajahnya frustasi. Perasaannya sungguh kacau saat ini. Walau jauh di lubuh hatinya, Fajar benar-benar ingin berhenti. Bohong jika Fajar berkata bahwa ia pasti bisa berjalan sampai akhir. Fajar bahkan tidak tau apa yang akan ia tulis di skripsinya. Fajar tau jika seandainya ia bisa lulus sekalipun, tidak menampik fakta bahwa ia tidak tau apa yang akan ia lakukan setelah itu. Fajar tau, Fajar sadar. Tapi bayang-bayang Bapak seakan memaksanya untuk terus berjalan. Seakan memaksanya untuk pura-pura tak tau apa-apa.


“Bapak udah gaada Nder, gue gatau mau berbakti pake cara apa lagi…” ucapnya sambil menutup wajahnya. Hendery menyandarkan punggungnya sambil menatap nanar Fajar yang kini menatap hampa jalanan padat sore hari.


“Gue ngerti Jar. Gue ngerti banget apa yang lo rasain. Tapi Bapak gaakan seneng kalo liat lo ga ngelakuin apa yang lo suka. Bapak gaakan seneng liat lo ga bahagia Jar,” ucap Hendery pelan. Sedangkan Fajar masih menatap jalan raya, mengusap kasar pipinya tanpa menoleh sedikitpun pada lawan bicaranya. Menyembunyikan apa yang memang seharusnya diungkapkan.
Hening. Bahkan perasaan Hendery kini ikut kacau ketika melihat Fajar kini mulai mengusap kasar pipinya berkali-kali. Fajar menangis. 


“Kenapa harus kek gini sih?” keluh Fajar. “Seenggaknya kalo gabisa banggain Bapak, seenggaknya ga jadi beban buat Mas Bumi.”


Hendery menghela nafasnya. Semua curahan hati Fajar tak pernah gagal mengacaukan perasaannya. Terlalu menyakitkan. Tentang ia, tentang impian Bapak, tentang Mas Bumi. Fajar bukan tipe orang yang suka menceritakan masalahnya. Ada banyak saat ketika Fajar benar-benar menjadi sosok yang penuh warna. Namun ada juga beberapa saat ketika Fajar menjadi sosok penuh luka. Luka tak kasat mata yang hanya bisa dirasa ia seorang. 


“Sodara-sodara gue pinter-pinter. Pada bisa banggain Mas Bumi.” Fajar mengambil nafasnya dalam-dalam. “Gue sendiri yang pas-pasan kayak gini. Sekarang malah mau minta berenti kuliah gara-gara ternyata itu bukan bidang gue.”


“Mas Bumi baru selesai bayar tunggakan Nder, gue ga tega kalo harus bebanin Mas Bumi lagi.”


+++


Fajar termenung di meja belajarnya. Mengabaikan suara bising Guntur yang sibuk berebut remote tv antara sepak bola dan film astronot yang kebanyakan membahas alien dan hal-hal diluar nalar dengan Bintang. Ya, Bintang sudah merasa baikan sejak tadi sore. Terbukti dengan melengkingnya suara tawa Bintang yang seperti lumba-lumba yang memenuhi seisi rumah. Bocah tengik itu benar-benar mengkhawatirkan ketika sedang sakit, namun sangat menyebalkan ketika sudah kembali sehat. Ramai sekali, bahkan sekarang Guntur berteriak histeris, bersamaan dengan suara tawa yang lainnya. Sepertinya ada kecoak di ruang tengah.


Laptop di depannya masih menyala. Menampilkan sederetan tulisan yang entah apa dan bagaimana cara membacanya, Fajar sendiri sejujurnya tidak mengerti. Laki-laki itu memandangi layar laptop itu tanpa menyentuhnya sama sekali. Bahkan tangannya ia biarkan menjuntai begitu saja seiringan dengan punggungnya yang bersandar di sandaran kursi. Otaknya penuh dengan rumus-rumus dan apa-apa yang harus ia tulis di skripsinya. Sesekali melirik ke arah buku tebal yang ada di samping kanan dan kirinya. Memaksakan otaknya untuk terus memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis itu. Apa dan bagaimana cara menganalisa rumus-rumus yang melihatnya saja Fajar seperti ingin muntah pelangi saat ini.
Fajar masih terdiam. Dengan dahi berkerut, masih memandangi laptop yang kini layarnya mati karena kehabisan baterai. Melihat layar laptop yang gelap, laki-laki itu lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 


“Apa gue benerin revision yang gampang dulu ya?” gumamnya. Lalu dengan setengah niat, Fajar menggapai kertas di atas map plastic berwarna hijau yang terletak tak jauh darinya. Membolak-balik lembarannya, mencoba mencari bab yang sekiranya lebih mudah untuk ia kerjakan lebih dulu.


“Gaada yang gampang ini mah!” ucapnya sambil meletakkan kembali kertas-kertas itu asal. Fajar lalu meletakkan dahinya di atas meja. Diam-diam melirik gitar coklat gelap yang ada di ujung kamarnya. Yang kebetulan sekali berada di samping rak buku-buku matematikanya. Mengingatkannya pada mimpinya. Mengingatkannya pada Bapak.


“Bapak dulu kuliah ngga?” tanya Fajar di sebuah warung STMJ Pak Nur ketika menemani Bapak. Fajar tidak minum STMJ, saat itu ia hanya menemani Bapak yang memang sudah biasa minum STMJ setiap Minggu pagi disana. Bapak punya kebiasaan minum STMJ setiap Minggu pagi, dan selalu Fajar yang menjadi teman minumnya, walau Fajar ujung-ujungnya minta dibelikan susu.


“Kuliah,” jawab Bapak sebelum meminum habis STMJ-nya.”Tapi habis itu mandeg soalnya simbahmu sakit.” Fajar mengangguk mengerti. Sedangkan Bapak terkekeh melihat Fajar dengan mata bulatnya menatap seksama Bapak yang kini menenggak air putih yang dibawanya dari rumah. Sebenarnya Fajar juga tidak mengerti kenapa Bapak minum STMJ padahal Bapak lebih suka jamu beras kencur. Setiap Bapak menghabiskan STMJ-nya, Bapak langsung menenggak habis air putih yang dibawanya dari rumah.

“Makanya, Bapak pengen kalian semua bisa kuliah.”


“Ngapain toh pak kuliah itu?” tanya Fajar yang dijawab sedikit terlambat sebab Bapak yang belum selesai menenggak air putihnya. 


“Ya biar pinter toh Le!” celetuk Bapak sambil tertawa yang justru membuat Fajar bingung karenanya. 


“SMA aja ngga cukup toh pak?” 


“Yo ndak toh, kalo kamu kuliah, nanti kamu tambah pinter,” jawab Bapak. Tidak mungkin Bapak menjelaskan tentang sulitnya mencari pekerjaan saat ini jika tidak memiliki gelar di belakang namanya. Fajar masih kelas 5 SD. Fajar tidak akan mengerti hal serumit ini. Bahkan penjelasan tentang pemakan daging, sayur dan segalanya saja dia masih sering kebalik. 


“Jar, sekolah itu nggak ada ruginya. Mau kamu belajar ilmu apa saja, itu nggak akan ada ruginya,” ucap Bapak sambil memegang lembut bahu putra keempatnya. 


“Apa aja? Ilmu menghilang kayak Naruto juga?”


“Emang ada ilmu kayak gitu?” tanya Bapak sambil tertawa yang segera dijawab dengan anggukan oleh Fajar.

“Loh, nggak ada toh pak? Di tv ada tuh?”


Sak karepmu lah Jar,” ucap Bapak sambil tertawa melihat betapa polosnya Fajar yang saat ini sedang menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Putranya tu terlihat bingung sekali sekarang. 


“Terus, Bapak dulu kuliah apa?” tanya Fajar.


“Akutansi, yang matematika itu loh,” ucap Bapak yang membuat Fajar meringis. Bapak itu pintar sekali matematika, berbeda dengan Fajar yang benar-benar alergi rumus. “Bapak dulu nggak sampai selesai, jadi Bapak pengen anak Bapak ada yang masuk akutansi besok,” Masih teringat jelas oleh Fajar ketika Bapak mengatakan hal itu. Jeda beberapa menit ketika Fajar yang masih kecil itu mengerjap entah memikirkan apa. Entah mencoba mengingat keinginan Bapak atau masih memikirkan jurus menghilang Naruto.


“Kamu tau, kenapa kok nggak ada ruginya?” tanya Bapak.


Fajar menggeleng. Otaknya justru saat ini dipenuhi oleh bagaimana bisa Naruto meng-hilang di tv, sedangkan dirinya tidak bisa.


“Fajar, ada beberapa alasan kenapa manusia bisa dihormati. Satu, karena adabnya. Dua, karena lisannya. Tiga, karena ilmunya.”


“Wajahnya?”


Bapak menggeleng. “Wajah bukan segalanya Jar. Nggak semua yang ganteng itu baik, nggak semua yang jelek itu jahat. Coba dipikir, kalo wajah itu segalanya, kenapa manusia kalo meninggal, cuma nyawanya yang dicabut? Kenapa nggak hilang aja badannya?” jawab Bapak. Fajar mengangguk mengerti, kembali teringat dengan Ucup –anak tetangga yang sukanya naik sepeda pake kaos sangsang dan kancut warna-warni– yang wajahnya tidak seberapa ganteng, tapi suka berbagi es krim dengannya. Teringat juga ia degan Hendery, yang wajahnya ganteng bukan main, tapi tidak mau membagi salak dengannya. Padahal waktu itu, Hendery tidak mau membagi karena kata Mamanya, salaknya karena sudah busuk. Fajar mana tau mana salak yang busuk dan mana yang tidak.


“Ibaratnya gini, kamu kalo Bapak belikan hot wheels, kamu jaga baik-baik nggak?” tanya Bapak. Fajar lalu mengangguk dengan semangat, teringat dengan hot wheels-nya yang minggu lalu tidak sengaja terinjak oleh Mas Langit yang baru keluar dari kamar mandi ketika hot wheelsnya melintas tepat di depannya. Namun, menggeleng ketika Bapak kembali melempar pertanyaan. “Tapi apa bisa hot wheels-mu jaga kamu?”


“Hot wheels-mu itu kamu jagain bener-bener, tapi dia nggak akan bisa jagain kamu Fajar. Tapi kalo kamu punya ilmu, kalian bisa saling jaga. Fajar jaga ilmunya biar nggak hilang, nanti ilmunya juga jagain Fajar biar Fajar nggak di ganggu sama orang jahat,” ucap Bapak. fajar mengangguk mengerti. Memaksakan diri untuk mengerti lebih tepatnya. Karena saat ini, Fajar justru membayangkan jika ada yang menggangunya, ilmunya akan muncul entah dalam bentuk apa untuk melindunginya. “Tapi bukan berarti kamu bisa sombong kalo punya ilmu. Inget, yang paling penting itu adab sesama manusia. Kalo kamu pinter tapi jahat, orang-orang tetep nggak suka sama kamu,” ucap Bapak mengakhiri pembicaraan pagi itu sebab Bapak langsung bangkit dari duduknya untuk membayar STMJ-nya.


Saat itu Fajar benar-benar masih kecil. Ia belum cukup pintar untuk bisa memahami penjelasan Bapak. Tapi sekarang ia sudah sebesar ini. Ia sudah lebih dari cukup untuk memahami apa yang Bapak katakan waktu itu. Bahwa kuliah itu penting, tak hanya untuk melindungi dirinya ketika ada orang jahat yang menggangunya. Tapi juga untuk mencari pekerjaan yang layak. Bahwa tidak harus sempurna untuk bisa dibilang manusia yang baik, cukup mengerti bagaimana cara memanusiakan manusia. Dan yang paling penting, bahwa ada keinginan Bapak yang belum terkabulkan, bahkan ketika Bapak sudah berpulang.


Apa yang harus ia lakukan? Fajar sudah lebih dari kata sabar untuk bisa bertahan sejauh ini. Rumus-rumus di bukunya seakan meneriakinya untuk berhenti. Deretan tulisan yang ada laptopnya seakan mentertawakannya. 
Namun bukan itu poinnya. Fajar ada di antara dua pilihan. Berhenti memaksakan diri-nya atau terus berjalan menuju ketidak pastian?


“Jar, gue masuk boleh?”


Jam 22.30 ketika suara Mas Bumi mengejutkan Fajar yang kini tenggelam dalam lamunannya, yang bahkan tidak sadar bahwa rumah ini sudah sangat sepi bermenit-menit yang lalu. Fajar menoleh cepat ketika ia melihat pintu kamarnya sedikit terbuka dengan seorang laki-laki yang sedikit mengintip ke dalam. Oh, itu Mas Bumi, pikirnya. Lalu dengan cepat, Fajar mengangguk sambil sedikit memundurkan kursi belajarnya.


Mas Bumi lalu melangkahkan kakinya memasuki ruangan bercat abu-abu putih sambil menutup kembali pintu kamar Fajar. Sedikit tertegun melihat kamar Fajar yang sedikit berantakan oleh banyaknya kertas yang tersebar di kamar Fajar. Ada yang masih berupa kertas kosong, ada yang penuh coretan, ada pula yang berbentuk bola kertas. Tangannya menenteng keresek hitam yang entah isinya apa. Fajar yakin sekali bahwa kakaknya itu pasti baru pulang dari kerja. Selain karena wajahnya yang berminyak (tapi tetap terlihat tampan sampai Fajar iri dengki), kakaknya itu  masih memakai jaket zipper hoodie berwarna krem dan kaos putih yang dipakainya ketika berangkat tadi selepas sholat ashar.


Belum ada yang mau memulai pembicaraan ketika Mas Bumi mulai memposisikan dirinya duduk di tepi ranjang, tepat di belakang Fajar yang kini kembali menghidupkan laptopnya yang langsung menampilkan deretan tulisan dan angka yang tidak ia tau bagaimana membacanya. Terlalu jauh bagi Mas Bumi untuk membacanya. Sampai suara serak Fajar memulai. 


“Baru pulang?” tanya Fajar tanpa menoleh. Mas Bumi mengangguk, walau ia tau Fajar tidak bisa melihatnya. Sedangkan Fajar kini duduk bersandar sambil meregangkan otot tangannya. 


“Tugas lo kelarin besok aja, nih, tak bawakan terang bulan,” ujar Mas Bumi sambil me-makan satu potong terang bulan coklat keju. Fajar menoleh ke arah Mas Bumi yang pipinya kini sedikit menggembung karena terang bulan yang ia paksa masuk satu buah. Entah kenapa terlihat menggemaskan baginya, lantas Fajar tertawa kecil.

“Enteng banget omongan lo,” jawab Fajar masih di tempatnya. Sedangkan Mas Bumi, melihat Fajar yang sepertinya belum mau beranjak dari kursi meja belajarnya, kini si semi sulung itu sedang menatap nyalang adiknya. secara tidak langsung memberi ultimatum lewat tatapan matanya.

“Iya iya, ini gue bangun,” ucap Fajar sambil tertawa, pada akhirnya mengalah dan mulai beranjak untuk kembali duduk di tepi kasurnya, tepat di hadapan Mas Bumi yang mulai menggigit potongan kedua.
Fajar tersenyum melihat terang bulan yang ada di hadapannya. Kakaknya ini tau sekali bagaimana menghibur adik-adiknya. Mas Bumi tau benar saat ini Fajar sedang dalam proses mengerjakan skripsi yang rumitnya tidak masuk akal. Fajar bukannya tidak tau bahwa Mas Buminya ini sedang lelah. Bisa saja sekotak terang bulan ini hanya diletakkan di atas meja belajar Fajar jika memang itu untuknya lalu pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Atau bisa saja Mas Bumi meletakkan sekotak terang bulan itu di kulkas untuk dimakan bersama-sama keesokan harinya. Tapi Mas Bumi tidak melakukan itu. Kakaknya itu justru mengalahkan rasa lelahnya dan duduk di tepi ranjang bersamanya untuk memberikan sekotak terang bulan itu padanya.


“Lagi rame?” tanya Fajar sambil melahap terang bulannya.


“Banget, gue sampe pengen membelah diri,” keluh Mas Bumi yang dijawab kekehan dari adiknya. Sesekali Mas Bumi memegang bahunya dan meregangkan ototnya. Namun di tempat-nya, Fajar melihat sesuatu yang lain. Netranya menangkap warna biru di lengan atas Mas Bumi. Fajar bukan lagi anak kecil sehingga tidak tau bahwa itu adalah memar.


“Itu kenapa Mas?” tanya Fajar sambil menunjuk ke arah lengan Mas Bumi yang memar. Sedangkan Mas Bumi ber’oh’ ria sambil menutupi lengannya dengan hoodie yang sempat ia tanggalkan sesaat setelah duduk di tepi ranjang Fajar. “Kena ujung meja tadi,” jawabnya asal.


Mas Bumi selalu begitu. Entah apa yang terjadi padanya, tapi Mas Bumi tak pernah membiarkan adik-adiknya mengkhawatirkannya. Jika bukan karena Guntur yang diam-diam bercerita bahwa Mas Bumi kecelakaan, pasti sampai sekarang Fajar akan percaya bahwa luka kering di lengannya karena tergores pagar kayu tetangga. 


Mas Bumi selalu bisa menyimpan rapi lukanya. Tanpa ia sadari, bahwa ia telah menciptakan luka tak kasat mata bagi adik-adiknya.


Fajar lalu kembali mengambil potongan terang bulan yang entah keberapa, mencoba mempercayai Mas Bumi yang entah itu benar atau tidak. Pikirannya kembai menerawang. Kembali teringat kata-kata Hendery tadi sore.


Bapak gaakan seneng kalo liat lo ga ngelakuin apa yang lo suka. Bapak gaakan seneng liat lo ga bahagia Jar”


Mas Bumi sedang ada di hadapannya saat ini. Dengan wajah lelah, membawakannya terang bulan sehabis pulang kerja. Entah berapa mimpi yang digugurkan oleh Mas Bumi untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga. Ia benar-benar tidak tega jika harus membicarakan hal ini dengan Mas Bumi yang sudah susah payah membiayainya untuk kuliah. Tapi jika terus-terusan begini, Fajar juga tidak tahan. Fajar tidak bisa lagi melakukan hal seperti ini. Ia tidak bisa menyelesaikan skripsinya. Bahkan jika selesai dan wisudapun, Fajar tidak akan tau apa yang akan ia lakukan kedepannya. Karena sejatinya, bukan Fajar yang melakukan segalanya, tapi egonya untuk membanggakan Bapak yang melakukannya.


“Mas, lo keberatan nggak, kalo gue berhenti kuliah?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My World
586      389     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Premium
SHADOW
4826      1583     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
Acropolis Athens
4455      1829     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
2378      1148     2     
Romance
Tentang sebuah petualangan mencari Keberanian, ke-ikhlasan juga arti dari sebuah cinta dan persahabatan yang tulus. 3 Orang yang saling mencintai dengan cara yang berbeda di tempat dan situasi yang berbeda pula. mereka hanya seorang manusia yang memiliki hati besar untuk menerima. Kiara, seorang perempuan jawa ayu yang menjalin persahabatan sejak kecil dengan Ardy dan klisenya mereka saling me...
Kembali Bersama Rintik
2960      1479     5     
Romance
Mendung tidak selamanya membawa duka, mendung ini tidak hanya membawa rintik hujan yang menyejukkan, namun juga kebahagiaan dan kisah yang mengejutkan. Seperti yang terjadi pada Yara Alenka, gadis SMA biasa dengan segala kekurangan dalam dirinya yang telah dipertemukan dengan seseorang yang akan mengisi hari-harinya. Al, pemuda misterius yang berhati dingin dengan segala kesempurnaan yang ada, ya...
Premium
MARIA
6460      2084     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
A Freedom
117      101     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Premium
Titik Kembali
4763      1537     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...
EPHEMERAL
115      103     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
4340      1674     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...