Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

“Mas Langitmu sudah sampe mana?”
Bumi terdiam. Tangannya yang hendak membuka tirai terhenti ketika Mama yang baru membuka  matanya justru menanyakan keberadaan kakak sulungnya alih-alih bertanya bagaimana kabarnya hari ini. Sudah terbuka setengah sebenarnya, tapi kamar Mama sungguh gelap dan pengap. Kamar Mama memang selalu pengap sejak Mama sakit. Mungkin karena jarang dibuka tirainya sebab Mama selalu menolak dibuka tirai kamarnya kecuali di pagi hari. Bumi sudah terbiasa dengan bau pengap dan gelap kamar Mama. Tapi entah kenapa pengap kamar Mama pagi ini seakan mencekik Bumi yang kini berdiri di depan tirai yang sedaritadi urungterbuka.
“Mungkin sebentar lagi Ma,” jawab Bumi singkat sambil melanjutkan membuka tirai hingga terlihat Bara yang basah kuyup sedang mencak-mencak di halaman rumah depan kandang anaconda (itu nama ayam Bapak) dan Fajar yang tertawa sambil gelendotan di kaki kursi bamboo di teras rumah. Entah karena apa, mungkin karena selang yang dipakai Bara menyiram tanaman depan rumah tak sengaja terinjak oleh Fajar sehingga airnya macet lalu tak lama kemudian keluar ketika Bara memeriksa bibir selangnya. Bumi hafal sekali sebab mereka sering sekali bertengkar karena hal seperti ini. Sampai akhirnya netranya tak sengaja menangkap sebuah seragam putih abu-abu yang bertengger apik di teras rumah. tidak mungkin milik Guntur, karena baru tadi pagi Guntur pamit padanya untuk berangkat sekolah.
Diam-diam Bumi memikirkan Gala yang masih mengurung dirinya di kamar sejak kejadian semalam. Bumi ingat sekali betapa marahnya ia semalam. Waktu itu Bumi yang baru mau menyalakan mesin motor tiba-tiba mendapat telepon dari kantor polisi atas nama Gala. Bumi tau benar bagaimana watak Gala. Si nomor lima itu memang cukup nekat dan brutal. Tapi sampai masuk penjara, bukankah itu keterlaluan?
Bumi marah. Tapi jauh dari balik kata marah itu, Bumi hanya khawatir.
Bumi berbalik, dilihatnya Mama yang sedang meneguk habis air putih yang ia letakkan di atas nakas. Jaga-jaga jika seandainya Mama tiba-tiba terbangun dan merasa haus. Langkahnya ia bawa menuju kursi di samping kanan ranjang Mama. Tangannya mulai mengambil semangkuk bubur di atas nakas dan mulai memberi suapan pertama.
“Mas Langit beneran pulang kan?”
Gatau Ma… Bumi menjerit dalam hati. Bumi sungguh tak tau Ma, Mas Langit ada dimana saja Bumi gatau, kabarnya saja Bumi gatau Ma. Bumi menatap nanar mangkuk kaca berwarna biru pemberian Bintang hasil tukar undian jalan sehat. Menatap nanar pantulan keruh dirinya dari cermin kumuh di atas meja rias Mama. Menatap nanar usahanya selama 4 tahun ini. Beberapa hari yang lalu, Bumi kembali ke Jakarta. Menyisir setiap tempat yang belum ia injakkan kakinya disana. Bertanya pada satu orang ke orang yang lain. Berjalan tanpa arah sambil membawa secarik foto lusuh Mas Langit yang diambil ketika wisuda SMA beberapa tahun yang lalu. Bumi sudah seberjuang ini, tapi Mas Langit tak juga kembali.
Mama sudah lama sakit. Kira-kira sejak Bumi baru bisa berjalan. Berbeda dengan Bintang, Mama tidak memliki cukup keberanian untuk membawa dirinya pergi ke rumah sakit dan melakukan tes di laboratorium. Mama punya banyak impian yang ingin Mama wujudkan, dan pura-pura tidak tau dengan adanya penyakit itu adalah salah satu langkah-nya. Entah apa yang terjadi setelahnya, tapi ketika Bumi baru naik kelas 2 SD, Bumi baru menyadari satu hal. Mama menjadi sedikit pelupa. Saat itu Bumi meminta kacang hijau dan kapas kepada Mama untuk tugas prakarya di sekolahnya. Padahal Bumi sudah mengatakannya sepanjang perjalanan pulang dari sekolah. 
Awalnya Bumi pikir itu hanya lupa biasa. Toh, dia juga sering lupa dimana ia terakhir kali meletakkan dasi dan sabuknya. Tapi lambat laun, semakin Bumi merasa tidak wajar. Mama bahkan melupakan dimana dia meletakkan remote tv yang baru saja dia letakkan di atas nakas beberapa menit yang lalu. Mama juga terkadang melupakan nama beberapa tetangga rumah. Bahkan Mama juga melupakan siapa nama ayam Bapak.
Sedikit sulit diterima, tapi nyatanya penyakit Mama yang membuat Mama menjadi pelupa. 
“Nanti kalo Mas Langit pulang, suruh ke kamar Mama ya?” ucap Mama sambil menyandarkan punggungnya ke bantal. Bumi mengangguk singkat. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.
+++
Guntur semakin mempercepat laju sepedanya. 
Hari ini sekolah dipulangkan lebih awal sebab guru-guru mau rapat soal ujian kelulusan untuk siswa kelas 12 yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi. Karena ini rapat besar, jadi semua guru harus ikut hadir. Sepedanya ia kayuh lebih cepat, bahkan ia hampir menabrak Upi yang sedang sibuk membawa tas merah mudanya di samping jalan. Kantong plastic bening berisi cilok Pak Sumali yang ia gantungkan di pergelangan tangannya bergoyang-goyang seiring kakinya mengayuh sepedanya.
Hari ini Guntur akan mengaku kepada Mas Bumi. Mengakui semua yang terjadi antara dirinya dan Mas Gala yang pagi ini tak pergi ke sekolah. 
Setibanya di rumah, Guntur cepat-cepat memarkirkan sepedanya di garasi dan berlari kecil menuju pintu depan. Guntur terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyentuh kenop pintu dan membukanya. Mengambil nafas dalam, Guntur sudah siap dengan segala yang akan terjadi kedepannya setelah ia mengakui segalanya. Ia sudah tidak takut dimarahi Mas Bumi karena ia kini sudah mengerti satu hal; menyembunyikan fakta bukan berarti menyelesaikan masalah. Mungkin setelah ini ia akan dimarahi sebab baru mengaku setelah satu tahun dirisak. Tapi mungkin saja Mas Bumi tidak memarahinya. Barangkali Mas Bumi paham mengapa Guntur begitu berambisi untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia dirisak; agar Mas Bumi tidak khawatir.
Pintu rumah terbuka hingga menampilkan sosok laki-laki jangkung dengan kaus berwarna putih dengan celana training berwarna biru sedang sibuk dengan tumpukan piring-piring kotor di depannya. Itu Mas Bumi. Posisi Mas Bumi yang membelakangi pintu masuk sedikit menguntungkan bagi Guntur (karena sekarang ini Guntur sedang nervous berat!). 
Guntur melangkahkan kakinya mendekat ke meja makan, membuatnya bisa melihat dengan jelas wajah Mas Bumi yang terlihat begitu serius mencuci bekas nasi di salah satu wajan.
“Udah pulang Tur?” Guntur sedikit melonjak ketika Mas Bumi tiba-tiba bertanya padanya tanpa menoleh sebelumnya. Guntur pikir Mas Bumi tidak menyadari kedatangan-nya. 
Guntur lalu mengangguk pelan. Langkahnya ia bawa menuju kulkas untuk mengambil sebotol air dingin. Diam-diam berdecak kagum sebab botol-botol yang seingatnya masih kosong sebelum ia berangkat sekolah tadi terisi penuh. Tangannya meraih salah satu botol yang terjejer di pintu kulkas dan membawanya menuju meja makan. Tasnya ia letakkan asal di atas meja makan sedangkan plastic bening berisi cilok Pak Sumali masih berada di pergelangan tangannya.
“Mas,” panggil Guntur.
“Apa?” tanya Mas Bumi sambil menoleh sebentar ke arahnya yang sedang duduk di meja makan. Tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil sesekali melirik plastic bening yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Ini Mas, cilok Pak Sumali,” jawabnya gugup, membuat tawa ringan Mas Bumi yang masih sibuk dengan cucian piring kotor di depannya.
“Kenapa ciloknya?” tanya Mas Bumi. Guntur terdiam sejenak. Sebenarnya bukan itu yang mau ia katakan. Memang benar Guntur akan memberikan cilok itu kepada Mas Bumi. Tapi bukan seperti ini dialognya. 
‘Iya ya, ciloknya kenapa?’
“Enak Mas,” jawab Guntur sekenanya. Karena jujur, Guntur tidak tau harus menjawab apa.
Mas Bumi tampak tertawa. Tangannya ia cuci dengan air bersih yang mengalir dari kran air di depannya lalu mengelapnya dengan kain bersih yang menggantung di depannya. Mas Bumi belum selesai dengan cucian piring kotornya, namun sepertinya keinginan untuk mendengarkan cerita si bungsu yang kini membawanya duduk di meja makan, berhadapan dengan Guntur yang deg-degan setengah mati.
“Mau ngomong apa sih?” tanya Mas Bumi sambil memposisikan dirinya di depan Guntur dengan tawa ringan yang belum selesai. Guntur menggigit bibirnya. Dilihatnya wajah Mas Bumi yang masih terlihat tampan walau belum mandi sejak tadi pagi. Padahal rambutnya berantakan, tapi sepertinya itu menjadi daya tarik tersendiri untuk Mas Bumi. Ah, tau apa Guntur tentang daya tarik. PR IPS kemarin saja remedi.
“Ini Mas,” ucap Guntur pelan sambil menyodorkan cilok Pak Sumali. “Buat Mas, sengaja beli lima ribu, sambelnya ga banyak, pake kecap,” lanjut Guntur. Mas Bumi sendiri terkekeh melihat cilok yang dibungkus dengan plastic bening yang ada di depannya. Semua orang –bahkan Fajar yang biasanya lupa meletakkan pensilnya padahal terselip di telinga kanannya– juga hapal bagaimana kebiasaan Mas Bumi ketika membeli jajanan; beli lima ribu, sambelnya ga banyak pake kecap. Diraihnya sebungkus cilok yang ada di depannya sambil tertawa kecil melihat tingkah adik bungsunya.
“Iya… makasih ciloknya, jadi sekarang Guntur mau ngomong apa?” tanya Mas Bumi. Matanya sedikit menyipit lantaran senyumnya yang tak kunjung luntur ia berikan kepada Guntur. Mas Bumi tau sekali maksud Guntur. Ah, tak hanya Mas Bumi sepertinya, Pak kholis saja sepertinya tau kebiasaan Guntur yang seperti ini. Kalau Guntur memberi sesuatu tanpa diminta, biasanya si bontot ini punya maksud tersendiri; mau minta sesuatu sih biasanya. Sebelas duabelas lah sama Fajar walau tidak separah Fajar –karena dulu Fajar pernah tiba-tiba membelikan Mas Bumi martabak telur, ternyata Fajar minta dibelikan pulsa. 
“Anu Mas… Guntur mau minta maaf,” Guntur menunduk dalam. Mencoba mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya. “Kejadian semalem bukan salahnya Mas Gala,” lanjut Guntur masih sambil menunduk, tak berani menatap wajah Mas Bumi yang senyumnya perlahan meluntur.
“Semalem Guntur dipukulin temen Guntur soalnya uang Guntur kurang buat bayar jajan mereka, terus Mas Gala marah.” Netra Mas Bumi melunak. Laki-laki itu terdiam cukup lama mendengar penuturan adik bungsunya sebab ia yakin, masih ada banyak yang ingin Guntur sampaikan tanpa ditanya. Di tempatnya, kejadian semalam tampak kembali berputar seperti layar rekaman di depan Mas Bumi. Diam-diam menyesali kemarahan yang meledak-ledak tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Mas Bumi tau benar adik-adiknya bukannya dididik untuk menjadi pembangkang dan pemberontak. Mas Bumi yakin Gala pasti punya alasan tersendiri. Tapi entah apa yang terjadi pada Mas Bumi semalam, bahkan untuk menanyakan luka memar Gala saja Mas Bumi tidak mau.
“Mas Gala berantem sama temen Guntur, soalnya temen Guntur gamau ga ganggu Guntur. Gabisa dipisahin Mas.” Mas Bumi terlihat susah payah mengambil nafas. Rupanya, rasa sesal itu perlahan mencekiknya. “Selama ini juga Mas Gala berantem gara-gara Guntur digangguin terus.”
“Guntur yang nyuruh Mas Gala biar ga cerita ke Mas Bumi, soalnya Guntur takut bebanin Mas Bumi. Mas Gala jangan di marahin lagi ya Mas?”
“Udah berapa lama Guntur diganggu?”
Guntur terlihat ragu menjawab. Namun sepersekian detik kemudian, dengan penuh keyakinan Guntur menjawab, “Udah setahun ini, Mas”
Empat tahun lamanya Mas Bumi berjuang menghidupi lima adiknya yang masih sekolah dan Mama yang sedang sakit setelah berpulangnya Bapak. Empat tahun  lamanya Mas Bumi hidup dengan dua peran; orangtua dan kakak bagi adik-adiknya. Empat tahun lamanya Mas Bumi bekerja banting tulang demi pendidikan adik-adiknya. Mas Bumi kira usahanya sudah cukup. Namun setelah mendengar fakta bahwa Guntur ternyata diganggu teman-temannya selama satu tahun ini dan Gala yang menjadi tameng justru ia anggap berandalan cukup membuatnya merasa gagal. Gagal sebagai orangtua dan sebagai kakak.
Suara dentingan piring kaca dan sendok terdengar, mengalihkan konsentrasi Mas Bumi yang sebelumnya menatap sendu Guntur –atau dirinya sendiri. Itu Gala, yang baru keluar dari kamarnya setelah semalaman mengurung dirinya. Rupanya Gala belum mengganti bajunya sejak semalam. Terbukti dengan kemeja flannel yang sudah kusut dan celana jeans yang masih setia melekat di badannya. Laki-laki itu kini sedang menyibukkan dirinya dengan tumpukan piring yang belum dibilas Mas Bumi tadi.
“Tur! Ambilkan baju dong di lemari! Kaos sama celana!” terdengar teriakan Bara dari teras rumah yang disahut oleh Fajar dan tawa recehnya. “Sekalian celana dalam Tur! Yang warna pink!-”
“Mangap dikit lagi gue tampol lo!” bentak Bara yang disambung dengan tawa Fajar yang semakin menggelegar.
Guntur lalu mulai melangkah menuju kamar Bara dengan berlari kecil, meninggalkan Mas Bumi yang masih termenung di meja makan. Mas Bumi melirik sebentar ke arah wastafel di belakangnya. Gala hampir selesai dengan piring-piring di depannya. Rasa bersalah itu ada, dan Mas Bumi akan semakin tercekik dengan perasaan itu jika tidak segera membunuhnya.
Gala menghentikan langkahnya ketika dirinya yang baru selesai mengelap tangannya tidak sengaja berpapasan dengan Mas Bumi yang sedang mencabut colokan kabel magic jar. Gala seketika canggung ketika pandangannya tiba-tiba saja bertemu dengan pandangan Mas Bumi yang tidak sengaja juga melihat ke arahnya. Mas Bumi ini, walau wajahnya luar biasa sangar, tapi percaya atau tidak, saat ini Mas Bumi benar-benar canggung dan salah tingkah.
“Gue mau masak mie soto pake telor dua,” ucap Mas Bumi sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa tangannya kali ini malah mencolokkan kembali kabel magic jar yang baru saja ia cabut. 
“Iya…” jawab Gala canggung.
“Ini gue gapernah ngasih-ngasih kalo mau bikin, tapi kali ini gue lagi baik hati,” Mas Bumi semakin melantur. Bahkan saat ini entah kenapa tangannya malah membuka magic jar lalu kembali menutupnya. “Jadi gue bagi buat lo,” lanjut Mas Bumi.
Gala terdiam sebentar. Sebenarnya Gala sudah tau Mas Bumi ini sedang gugup. Gala hapal sekali kebiasaan Mas Bumi satu ini; melantur ketika gugup. Kebiasaan Mas Bumi ini sudah ada sejak Mas Bumi masih kecil. For your information, Mas Bumi ini dulu sewaktu kecil benar-benar pemalu. Saking pemalunya, sampai-sampai ketika Mas Bumi kelas 5 SD dan Gala kelas 2 SD, Mas Bumi rela menunggu Gala keluar dari kelasnya hanya untuk menemaninya beli telur gulung cihuy. Pernah suatu kali Gala bersembunyi di kamar mandi supaya Mas Bumi belajar beli telur gulung cihuy sendiri. Dan kalian tau apa yang terjadi selanjutnya?
“Beli apa le?” ucap penjual telur gulung cihuy itu setelah menyadari keberadaan Mas Bumi yang sedari tadi hanya diam di samping gerobak terlepas dari ramainya antrian.
“Anu… beli cihuy digulung pak.”
Kalimat itu keluar begitu saja bersamaan dengan Mas Bumi yang sontak memejamkan matanya setelah menyadari apa yang ia katakan barusan. Gala ingat sekali, waktu itu ia menahan mati-matian tawanya hanya agar Mas Bumi berani membeli jajanan yang ia suka. Tapi kabar baiknya, setelah kejadian itu, Mas Bumi perlahan-lahan mulai memberanikan diri untuk membeli jajanan tanpa bantuan Gala atau Fajar atau Bara lagi. Yah, walau masih sering melantur.
“Iya Mas…” jawab Gala yang semakin canggung. Gala menahan kedutan di bibirnya agar tidak tersenyum saat ini.
Mas Bumi mengangguk. “Terus nanti gue mau make nasi,” lanjutnya setelah terdiam cukup lama. “Kalo lo mau pake nasi juga ambil aja di magic jar,” Mas Bumi mengerjap.
“Tapi di magic jar udah gaada nasinya Mas,” ucap Gala semakin menahan senyum.
“Iya gue tau kok, habis ini gue masak.” Bohong. Sebenarnya tadi Mas Bumi baru sadar setelah membuka tutup magic jar untuk yang kesekian kalinya. 
Cukup lama hening mengisi ruang di antara mereka. Mas Bumi sudah tidak tau harus mengatakan apa lagi. Entah kenapa bibirnya seperti terkunci rapat ketika ia merasa akan mengatakan maksudnya kali ini.
“Mau ngomong apa Mas?” tanya Gala sambil menunduk. Tangannya memainkan ujung kemeja flannel yang sedikit kusut itu. Sejujurnya Gala cukup takut jika Mas Bumi akan memarahinya seperti semalam. Semalaman penuh si nomor lima itu tidak bisa tidur karena menyesali perkataan kasar yang ia lempar penuh amarah kepada Mas Bumi. Padahal ia juga menjadi saksi betapa berjuangnya Mas Bumi untuk mereka.
“Gue minta maaf buat semalem,” ucap Mas Bumi akhirnya setelah menghela nafas panjang. Terlihat bagaimana maniknya mengatakan bahwa Mas Bumi sungguh menyesal atas tuduhan tak beralasan yang ia lakukan kepada Gala semalam. Masih hitungan menit ketika Guntur menjelaskan semuanya, dan Mas Bumi sudah tau benar bahwa ia telah salah menilai adik keempatnya itu. 
“Gue gatau kalo lo tawuran kek gitu gara-gara Guntur digebukin temennya,” ucap Mas Bumi tanpa memberi Gala kesempatan berbicara. “Tadi Guntur udah cerita semuanya. Lo selama ini berantem buat bela Guntur, tapi gue malah ngatain lo berandal.”
Mas Bumi menatap dalam manik adiknya. Dalam sekali, seakan lewat tatapan itu, Gala bisa merasakan sakitnya hatinya sebab tatapan merasa bersalah itu semakin menikamnya serta beratnya beban Mas Bumi saat ini. “Maaf Gala, harusnya gue nanyain lo baik-baik alasan lo berantem, bukannya marahain lo setiap habis panggilan orangtua.”
Masih hitungan menit ketika Guntur menjelaskan segalanya pada Mas Bumi, dan Mas Bumi sudah tau benar bahwa ia salah. Mas Bumi sadar bahwa dirinya tak punya cukup waktu untuk adik-adiknya. Ia pikitr ia telah memberikan yang terbaik bagi adik-adiknya. Ia rela begadang berhari-hari hanya agar adik-adiknya bisa belajar di sekolah yang bagus. Namun mengetahui Guntur yang selama ini dirundung temannya, Mas Bumi sadar, bahwa sapaan walau hanya sekedar pertanyaan ‘bagaimana hari ini’ saja cukup berharga bagi adik-adiknya. Bahkan lebih berharga daripada seluruh fasilitas pendidikan yang ia berikan pada mereka. Mas Bumi sadar, bahwa ia tak cukup baik bagi adik-adiknya.
“Maaf Gala, Mas belum bisa jadi kakak yang baik-“
“Gue lebih suka lo marahin gue kayak semalem daripada lo minta maaf kayak gini Mas.”
Tapi sayangnya Gala tidak berpikir demikian. Gala tau, mereka semua tau. Betapa berat Mas Bumi memikul beban di pundaknya sendirian. Betapa berat menjadi Mas Bumi. Mencari Mas Langit, merawat Mama, menafkahi adik-adiknya. Belum lagi urusan kampus yang tidak ada habisnya. Gala dan saudara-saudaranya tau benar betapa Mas Bumi menyayangi mereka. Mas Bumi pernah rela pulang dari tempat kerjanya dan dipotong gajinya hanya untuk membersihkan muntahan Fajar yang ketika itu sedang sakit muntaber. Mas Bumi pernah tidak tidur semalaman hanya untuk merawat Gala yang demam tinggi. Mas Bumi juga pernah menerobos hujan di tengah malam hanya untuk membawa Guntur yang saat itu sedang sakit demam berdarah ke rumah sakit. Padahal saat itu Mas Bumi juga demam tinggi. Bahkan setelah membawa Guntur ke rumah sakit, Mas Bumi sempat pingsan di ruang tunggu, Mas Bumi masih sempat menjemput Bara yang habis nugas karena motornya yang tiba-tiba mogok di tengah jalan.
Apa yang dilakukan Mas Bumi sudah lebih dari cukup bagi mereka. Menurut Gala, wajar saja Mas Bumi tidak bertanya kepadanya apa yang terjadi sebenarnya. Mas Bumi baru pulang setelah seharian ngampus dan kerja. Jika Gala jadi Mas Bumi, Gala pasti akan lebih marah daripada Mas Bumi. 
Mas Bumi memang salah, tapi kesalahan sekecil ini, menurut Gala bukan apa-apa dibanding pengorbanan Mas Bumi selama ini.
Bibir Mas Bumi terkunci rapat ketika Gala menyelesaikan kalimatnya tadi. Tentu saja membuat hening kembali mengisi jeda di antara mereka. Mas Bumi yang tidak tau harus membalas apa walau jauh di lubuk hatinya ia sungguh merasa lega.seperti ada desiran hangat di dadanya ketika adiknya itu mengatakan bahwa ia sungguh mengerti bagaimana dirinya. Sedangkan Gala masih berdiri di tempatnya tanpa tau harus bagaimana cara merangkai kata-kata selanjutnya.
“Gue juga minta maaf, kemaren ngomongnya kasar sama lo,” ucap Gala sambil menunduk. Sepersekian menit kemudian, setelah meyakinkan dirinya, Gala mengambil nafas dalam-dalam lalu menyelesaikan kalimatnya. “Biar gue aja yang minta maaf Mas, lo ga berhak minta maaf setelah apa yang lo usahain buat kita selama ini.”
+++
“Jadi, lo pulang cepet gara-gara sekolah lo ngadain rapat?”
Guntur mengangguk ketika Fajar mengulang penjelasannya barusan. Mulutnya yang penuh dengan mie soto pake telur pake nasi buatan Mas Bumi masih sibuk mengunyah makanan yang ada di dalamnya. Pipinya bahkan sampai menggembung saking penuhnya.
“Rapat apaan anjir sampe satu sekolah di liburin?” ucap Bara setelah memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya, setelah itu mulai mengunyahnya. Sedangkan Fajar hanya mengangguk menyetujui sambil mengaduk-aduk ringan mie soto pake telur yang ada di panci besar di depannya –mencari kuning telur yang setengah matang. Wajahnya yang terlihat serius seketika sumringah setelah menemukan satu kuning telur yang setengah matang dan tidak pecah. Dengan segera, si nomor empat itu mengambil kuning telur itu lalu mencampurnya dengan nasi di piringnya dan mulai melahapnya. Sedangkan Gala di tempatnya meringis melihat     Fajar dengan syahdu menikmati kuning telurnya.
“Kalo firasat gue nih ya,” ucapan Fajar menggantung sedangkan dirinya masih sibuk mengunyah makanan di mulutnya. Semua orang di meja makan mulai memusatkan atensinya pada Fajar (kecuali Gala, karena dia sudah tau bahwa Fajar adalah orang terkonyol yang pernah ia temui.)
“Rapatnya tuh,”
“Cepet elah, ini gue sampe berhenti ngunyah nih,” ucap Mas Bumi yang benar-benar berhenti mengunyah makanannya. Sedangkan Fajar di tempatnya mengulurkan kedua tangannya. Berlagak seperti orang penting yang dimintai penjelasannya oleh wartawan lokal.
“Kalo firasat gue nih ya, rapatnya tuh bahas- eh bentar dong, minta minum,” ucap Fajar dengan watados (wajah tanpa dosa) sambil menyambar minuman Guntur yang kini sedang ditatap nelangsa oleh pemiliknya.
“CEPET!!” teriak Mas Bumi dan Bara yang sepertinya sudah tidak sabar lagi, membuat Fajar sedikit tersedak sebab terkejut dengan teriakan mereka.
“Iya iya, sabar dikit dong.” Fajar berdehem sok penting, kemudian menyelesaikan kalimatnya yang sedaritadi terpotong. “Kalo firasat gue nih ya, rapatnya tuh penting banget,” ucap Fajar yang disambut anggukan pelan oleh Mas Bumi, Bara dan Guntur.
“Soalnya mereka lagi bahas bagaimana cara melindungi bumi dari serangan adudu,” ucap Fajar dengan senyum kemenangannya sambil bersilang dada. 
Hening. Benar-benar tak ada pembicaraan di antara mereka setelah Fajar menyelsaikan kalimatnya. Terutama Mas Bumi yang kini menatap nasi di atas piringnya yang tinggal sedikit –mencoba mencerna perkataan Fajar barusan. Lalu, hitungan detik kemudian, Mas Bumi dan Bara berdiri. Mas Bumi dengan segera –dengan wajah yang kesal setengah mati– mengambil piring Fajar yang masih berisi campuran nasi dan teur setengah matang di atasnya lalu membawanya ke wastafel. Sedangkan Bara dengan segera membersihkan permukaan meja di depan Fajar dan Guntur yang langsung menjauhkan panci berisi mie soto pake telur buatan Mas Bumi dari Fajar. Fajar yang kebingungan mulai paham apa yang mereka lakukan. 
Apa lagi jika tidak dibolehkan makan?
Sedangkan Gala di tempatnya masih menikmati mie soto pake telur dua pake nasi (Mas Bumi bilang punya Gala special sebagai permintaan maaf dan tanda baikan) dengan syahdu. “Mau aja di goblog-in sama si goblog,” ucapnya sambil geleng-geleng.
“Lo ngomong apa tadi? Si goblog?” Fajar seketika menatap adik beda satu tahunnya itu dengan dramatis. Sedangkan Gala sepertinya tidak peduli, “Napa? Bener kan?”
“Wah, bener-bener lu ye La, ga nyangka gue,” ucap Fajar sambil memegang dadanya dengan intonasi yang dramatis abiez. Sedangkan Gala hanya menlihatnya sekilas sambil meneruskan makan mie soto spesialnya.
“Kukira hubungan kita istimewa.” Ah, rupanya Fajar belum selesai.
Sedangkan di tempatnya, Bara yang sedang gondok gara-gara Fajar tadi terkekeh sebentar, lalu mulai mengangkat sendoknya untuk kembali menambahkan mie soto pake telur buatan Mas Bumi di atas piringnya. Namun, belum sampai sendoknya menyentuh permukaan kuahnya, Bara justru meringis ketika sendoknya di pukul oleh Mas Bumi menggunakan sendok yang seketika mengurungkan niatnya untuk kembali melahap mie soto pake telur pake nasi buatan Mas Bumi.
“Nyisain Bintang,” ucap Mas Bumi singkat.
Bara yang awalnya bersungut-sungut sebab sendoknya dipukul Mas Bumi seketika terdiam. Pikirannya menerawang kepada Bintang yang belum pulang sampai sekarang. Guntur, Gala dan Bintang satu sekolah, dan sekolah sedang ada rapat sehingga semua siswa dipulangkan. Jika Guntur sudah sampai rumah sekarang, bukankah harusnya Bintang juga sudah pulang?
“Tur, Masmu mana?” tanya Fajar setelah meyadari ketidakberadaan Bintang. Matanya menatap ke arah pintu, tepatnya ke arah etalase sepatu, mencari-cari sepatu Bintang. Siapa tau Bintang sudah pulang lebih dulu lalu tertidur di kamarnya.
“Ga ketemu tuh, daritadi,” jawab Guntur ikut bingung.
Bara mengernyit. Seingat Bara, hari ini tidak ada jadwal kontrol ke rumah sakit. Diam-diam berpikir keras, memikirkan kemungkinan-kemungkinan kemana Bintang dan apa yang ia lakukan. Tanpa banyak bicara, Bara mulai membuka ponselnya, mengecek apakah ada pesan masuk dari Bintang. Setelah memastikan bahwa tidak ada pesan masuk, Bara mulai mengetikkan pesan-pesan singkat kepada adiknya itu, menanyakan ada dimana dan apa yang ia lakukan sekarang.
“Semuanya diliburin kan? Lo yakin gaada agenda buat kelas 11?” tanya Gala. Sedangkan Guntur di tempatnya tampak berpikir, seperti mengingat apakah ada yang ia lewatkan dari pengumuman lepas upacara tadi pagi. Setelah yakin bahwa tidak ada yang ia lewatkan tadi, Guntur mengangguk yakin. Namun kembali mengernyit setelah mengingat sesuatu.
“Gue sih yakin kalo semua siswa dipulangkan, tapi gue kayaknya liat Mas bintang gitu tadi pas upacara,” ucap Guntur sambil mengetuk-ketuk pipinya dengan sendok, tanda bahwa ia sungguh berpikir keras.
“Ya jelas lo liat lah, kan upacara-“
“Mas Bintang tadi… kalo gue ga salah liat, Mas Bintang tadi pingsan pas upacara,” ucapan Guntur sontak membuat semua yang ada di meja makan terkejut. Bintang? Anak Bapak yang jarang sakit itu? Seperti sesuatu yang aneh di telinga mereka ketika mendengar Bintang pingsan. Memang benar bahwa anak Bapak yang paling jarang sakit adalah Bintang. Paling mentok, Bintang hanya akan mimisan ketika kelelahan. Bahkan Mas Bumi bisa menghitung berapa kali dia sakit selama satu tahun. Mungkin dua atau tiga kali?
Bara lalu membuka ponselnya ketika dirasa ponselnya bergetar. Pesan dari Bintang yang mengatakan bahwa ia berada di UKS membuat Bara menghela nafasnya.
“Yaudah kalo gitu, gue mau jemput Bintang dulu-“
“Gue aja Mas, sekalian gue mau beli lakban,” ucap Bara sambil bangkit dari duduknya. Fajar yang merasa aneh dengan alibi Bara untuk membeli lakban jelas membuat dahinya mengernyit seketika.
“Buat apa lakban?” tanya Fajar.
“Buat ngelakban congormu, kakean cangkem,” ucap Bara sambil tersenyum jumawa yang membuat gelak tawa seisi ruangan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Maiden from Doomsday
10312      2263     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Tulus Paling Serius
2165      874     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Hyeong!
150      129     1     
Fan Fiction
Seok Matthew X Sung Han Bin | Bromance/Brothership | Zerobaseone "Hyeong!" "Aku bukan hyeongmu!" "Tapi—" "Seok Matthew, bisakah kau bersikap seolah tak mengenalku di sekolah? Satu lagi, berhentilah terus berada di sekitarku!" ____ Matthew tak mengerti, mengapa Hanbin bersikap seolah tak mengenalnya di sekolah, padahal mereka tinggal satu rumah. Matthew mulai berpikir, apakah H...
Jelek? Siapa takut!
2828      1274     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
Claudia
5176      1477     1     
Fan Fiction
Claudia Renase Ardhitalko, anak angkat dari pasangan Ciandra Louise Ardhitalko dan Reyno Andika Ardhitalko. Berawal dari Ciandra yang menemukan bayi dari semak-semak lalu ia bawa pulang. Atas persetujuan sang suami, Reyno Ardhitalko bayi tersebut diberi nama Claudia Renase Ardhitalko dan diangkat menjadi anaknya. Claudia tumbuh besar menjadi anak yang cantik dan berprestasi dibidang akade...
My World
586      389     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Cinta dalam Impian
101      80     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
1'
3171      1188     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
My Soulmate Coco & Koko
4994      1739     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...
Prakerin
6746      1860     14     
Romance
Siapa sih yang nggak kesel kalo gebetan yang udah nempel kaya ketombe —kayanya Anja lupa kalo ketombe bisa aja rontok— dan udah yakin seratus persen sebentar lagi jadi pacar, malah jadian sama orang lain? Kesel kan? Kesel lah! Nah, hal miris inilah yang terjadi sama Anja, si rajin —telat dan bolos— yang nggak mau berangkat prakerin. Alasannya klise, karena takut dapet pembimbing ya...