“Jam berapa ini Aldebaran?”
Sedari kecil, Bara sangat suka bermain game. Dulu, saat Bara masih kelas 5 SD, Bara sering sekali, bahkan hampir tiap hari ia pulang sore untuk bermain game di warnet Mas Irwan. Dia bahkan rela tidak jajan hanya agar bias bermain plant vs zombie di komputer. Biasanya dia baru akan pulang sekitar jam 4 sore. Itupun kalau waktu bermainnya sudah habis. Kalau waktu bermainnya masih ada, biasanya Bara akan terus bermain sampai nanti Mas Langit yang menjemputnya lantaran Gus Dur sudah angkat bicara.
Tapi, Bara yang menganut sekte ‘pantang pulang sebelum sapu Mama menyerang’ tentu tidak akan menyerah. Biasanya nanti di tengah jalan Bara akan beralasan bukunya tertinggal di warnet lalu kembali dan melanjutkan permainannya. Kalau sudah begitu, biasanya Mama akan datang bersama sapu saktinya.
Lebih lagi saat Mas Bumi membolehkan Bara punya laptop sendiri. Bara jadi sering tidur terlambat karenanya. Biasanya Bara akan tidur sekitar jam 2 pagi. Dan sekali lagi, itupun jika Mas Bumi tidak memergokinya. Namun kali ini, bukan sapu Mama yang menjadi ancaman, melainkan potongan uang jajan dari Mas Bumi yang menakutkan. Seperti malam ini.
Bara masih menutup matanya, berpura-pura tidur. Mas Bumi memutar bola matanya malas, lalu menyalakan lampu kamar. Terlihat jelas kabel panjang yang menghubungkan antara laptop dan stopkontak dekat kipas angin di atas nakas.
“Emangnya gue gatau lo pura-pura tidur?” tentu saja Mas Bumi tau. Bara tidak akan tidur sebelum mencabut charger laptopnya. Adiknya itu (walau tampangnya seperti preman pasar sore) sangat telaten jika menyangkut barang-barangnya disbanding Guntur –si bungsu– yang berangkat beli santan pakai sepeda, ketika pulang jalan kaki. Bara tau benar bahwa mencari uang tak semudah mencari koin di game Subway Surf. Maka dari itu, saat Bara tau bahwa membiarkan laptopnya di charge semalaman bisa merusaknya, dia membiasakan mengecek laptopnya sebelum ia tidur.
Bara membuka matanya perlahan, diam-diam menyiapkan mentalnya untuk menatap wajah kakak keduanya uang kini menatapnya nyalang. Bara bukannya tidak tau bahwa dari intonasinya saja, Mas Bumi sudah kesal setengah mati. “Habis nugas mas, hehe…” ucapnya mencoba meluluhkan Mas Bumi yang sepertinya sudah siap menjadi macan tutul.
“Nugas kok tidur,” ketus Mas Bumi sambil berkacak pinggang.
“Ketiduran mas,” jawaban yang selalu dilontarkan Bara ketika kepergok, yang sebenarnya Bara sendiri tau bahwa Mas Bumi tentu jengah dengan jawabannya.
Bumi mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam amarah yang sudah siap meledak kapan saja. “Tidur, kalo sampe besok telat bangun, gue loakin laptop lo,” ancam Mas Bumi sambil melangkah keluar ruangan bercat hijau –yang sangat ditentang oleh Bintang karena menurutnya sangat norak– itu. Bumi bahkan masih ingat dengan sangat jelas perdebatan antara Bara dan Bintang tentang cat kamar mereka berdua itu. Saat Bintang mencak-mencak karena menurutnya warna hijau yang dipilih Bara sangat norak, dengan santainya Bara menjawab, “biar ga usah beli green screen.”
Kejadian yang terus berulang. Persis. Bahkan untuk malam-malam sebelumnya. Bara yang terlambat tidur dan Mas Bumi yang memergokinya. Lalu setelah itu Bara akan telat bangun, telat sarapan, telat kuliah, telat pulang dan telat tidur. Pola yang sama yang cukup membuat Mas Bumi frustasi karenanya.
“Mas Bara mana, mas?”
Mas Bumi mengendikkan bahu, menjawab pertanyaan Guntur yang baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk biru yang tersampir di kepalanya seakan memperjelas bahwa si bungsu baru selesai mandi. Mas Bumi sendiri masih fokus mengutak-atik LPG yang sepertinya sudah habis gasnya.
“Mas Bara mana?” tak mendapat jawaban dari Mas Bumi, rupanya tak membuat Guntur menyerah. Matanya menatap Bintang yang sudah memakai seragamnya berjalan menuruni tangga.
“Molor noh,” jawab Bintang setelah memberi isyarat dengan dagunya ke arah pintu kamarnya. Guntur mangut-mangut, lalu membuka pintu kulkas dan mengambil satu botol air dingin untuk ia bawa ke meja makan.
“Guntur, Guntur, pagi-pagi jangan minum air es,” tegur Mas Bumi, menerbitkan rasa dongkol di hati si bungsu.
“Tau tuh, si beldek. Nanti pilek, ngeluh pengen mati,” celetuk Gala yang baru turun dari tangga. Alih-alih pergi mandi, rupanya si nomor lima ini lebih tertarik untuk ikut menggoda si bungsu.
“Mas ih!” seru Guntur dengan muka masam menahan malu. Ingatannya melayang pada kejadian 2 tahun yang lalu saat dirinya jatuh sakit setelah kehujanan saat pulang dari kegiatan pramuka. Tak tanggung-tanggung, waktu itu bahkan Guntur hampir dilarikan ke rumah sakit karena demamnya yang di atas batas normal. Padahal awalnya hanya sakit pilek karena kebanyakan es.
Awalnya Guntur merasa berterimakasih kepada Gala yang rela tak tidur hanya untuk mengompres dirinya yang demam tinggi. Tapi saat semua orang mentertawakannya di meja makan dan menyebut kalimat ‘pengen mati’ berkali-kali di depannya, Guntur merasa ada yang tidak beres.
Dan benar saja. Setelah menyogok Mas Fajar –yang tidak tau dirinya memanfaatkan kegundahan Guntur– dengan 2 bungkus nasi bebek, Guntur akhirnya mengetahui sebuah fakta bahwa ia mengigau selama tertidur saat sakit demam waktu itu. Dan tanpa diberitahu-pun, Guntur sudah tau siapa dalang di balik tersebarnya aibnya itu.
Ya, siapa lagi kalau bukan Gala?
“HAHAHA!!! Pengen mati katanya!” Bintang tergelak, menemukan wajah Guntur yang semakin memerah.
Tak mau lebih ternistakan, Guntur lalu bangkit dari duduknya. Dengan cepat ia menyambar tas ranselnya lalu melangkahkan kaki keluar ruangan, berniat berangkat lebih awal.
“Guntur, Guntur, balik! Sarapan dulu,” panggil Bumi masih berkutat dengan karet selang LPG. Berbeda dengan Bintang dan Gala yang masih tertawa terbahak-bahak. Bintang bahkan harus berpegangan pada permukaan meja untuk menopang tubuhnya –hanya untuk membuat Guntur gondok setengah mati. Namun tentu saja, Guntur dan saudara-saudaranya tidak pernah diajarkan untuk melawan yang lebih tua. Jadi walau dengan wajah kusut, Guntur tetap kembali duduk di kursi meja makan demi menuruti titah Mas Bumi-nya.
“Ketinggalan apa nih gue?”
“Huuu banyaaak!!” cibir Bintang (sebab yang biasa nyinyir seperti itu pada Bara adalah Guntur dan ia sedang gondok) saat melihat Bara turun dari tangga dengan kaos sangsang yang di bagian bawahnya sedikit hangus sebab pernah terbakar obat nyamuk dan kolor hijau lumut.
“Eh eh eh,” panggil Gala sepersekian detik kemudian sambil menyenggol lengan Bintang yang masih sibuk menyewoti kakak ketiganya itu.
“Tumbenan Mas Bara bangun pagi? Gue jadi curiga deh,” lanjutnya.
“Eh, ho’oh. Biasanya dia molor kan ya?” bisik Bintang mengiyakan, yang dibalas anggukan oleh Gala.
“Heh! Ghibah dosa loh!” sia-sia. Tidak aka nada yang bias menghentikan 3 bungsu jika sedang dalam mode julid. Bahkan Pak RT sekalipun.
“Jangan-jangan…”
Dengan gerakan cepat, Bintang mengacungkan sendok di depan Bara, sedangkan Gala melompat menghalangi Fajar yang baru saja keluar dari kamar mandi. Fajar yang awalnya ingin protes pada Gala yang menahan langkahnya, tergelak dengan seruan Bintang yang tiba-tiba.
“Siapa kamu! Mas Bara ga mungkin bangun pagi!” teriak Bintang yang semakin membuat Bara bingung.
Sedangkan Fajar yang awalnya tertawa karena seruan Bintang semakin tergelak sebab melihat wajah Bara yang sudah seperti maling yang trtangkap basah mencuri mangga. Bahkan Guntur yang awalnya gondok-pun ikut tergelak, melupakan segala dendamnya pada Gala.
“Apaan sih? Minggir ah!” ucap Bara sambil berjalan ke arah meja makan, berniat untuk bergabung dengan Gala yang tertawa melihatnya. Namun sayangnya, langkahnya terhenti oleh sapu yang melintang di depannya. “Nggak! Kembalikan Mas Bara yang sukanya molor!” teriak Gala yang semakin membuat Fajar dan Guntur tergelak.
“Kalian- Mas Bumi! Kok Mas Bumi diem aja sih! Lihat nih!” adu Bara yang sayangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Daripada membela Bara, rupanya Mas Bumi lebih tertarik dengan LPG di depannya. Bintang dan Gala terus menyerang Bara. Bahkan saat ini, Bintang sudah membawa segelas air putih dan membacakan ayat kursi untuk ia cipratkan pada Bara dan Gala yang komat-kamit entah membaca apa.
Sementara di tempatnya, Mas Bumi terkekeh menikmati rutinitas setiap pagi mereka; menggoda Guntur sampai gondok dan menistakan Bara. Entah sejak kapan hal itu menjadi rutinitas yang tidak boleh di lewatkan setiap pagi. Biasanya yang menjadi langganan korban memang Guntur, tapi entah sejak kapan Bara masuk ke daftar target selanjutnya setelah Guntur gondok (karena jika Guntur sudah gondok berarti sudah finish). Alasannya karena Bara sangat jarang ikut sarapan bersama. Biasanya Bara akan bangun ketika orang-orang sudah bersiap-siap untuk berangkat; Mas Langit yang berangkat bekerja, Mas Bumi, dan Fajar yang berangkat kuliah dan 3 bungsu yang berangkat sekolah. Jadi ketika Bara bangun pagi dan ikut sarapan bersama, maka mereka jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.
Adik-adiknya masih saling melempar candaan ketika Bumi yang sudah selesai dengan LPG-nya diam-diam menatap nanar pintu dengan hiasan rangkaian kerang di dekat ruang tamu. Kepalanya saat ini benar-benar berisik dengan gaungan kata “seandainya” yang membuat dadanya semakin sakit.
“Seandainya Mama bisa hadir di sini,“ lirihnya dalam hati. Laki-laki itu lalu berganti melihat Bara yang sudah memiting kepala Gala dan Bintang sementara Fajar sudah bersimpuh di lantai sambil berusaha menghentikan tawanya. lalu Guntur? Ah, tidak jauh beda lah dengan Fajar.
Bumi tersenyum. Laki-laki lalu membawa wajan berisi nasi goreng ke atas meja makan. “Udah udah, ayo makan. Nanti telat,” ucap Bumi menengahi dan diamini oleh yang lain.
Dengan bersungut-sungut, Bara duduk dan mulai mengambil 3 centong nasi goreng di wajan sedangkan yang lainnya masih berusaha meredam tawanya. Namun rupanya sia-sia saat Bara dengan sekonyong-konyong melahap nasi goreng yang bahkan orang lain tau bahwa itu masih sangat panas hanya dengan melihat uapnya.
Setidaknya mereka adalah alasan Bumi masih bertahan.
Ya, karna dunia harus tetap berjalan.