“Ma… “
Bumi mendorong pelan pintu kamar Mamanya. Tangan kananya membawa nampan dengan semangkuk bubur di atas nya. Sedikit pengap, memangnya apa yang bisa di harapkan dari kamar orang sakit? Perlahan, Bumi meletakkan nampan di atas nakas lalu perlahan menyibak gorden yang menghalangi masuknya cahaya matahari. Bumi terdiam sebentar melihat keluar jendela. Terenyuh, berusaha mati-matian menahan sesak yang kini semakin memenuhi dadanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Adik-adiknya sudah berngkat sejak tadi –kecuali Bara yang memang tidak ada jadwal kelas dan Fajar yang dengan syahdunya mencuci motor di teras rumah dengan alunan lagu galau (karena Fajar baru menemukan gebetannya jalan dengan don juan fakultas sebelah.)
“Ma…” panggil Bumi sekali lagi sambil menepuk pelan lengan wanita paruh baya di depannya. Diperhatikannya wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Kantung mata yang menghitam, tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya yang pucat dan nafasnya yang semakin berat. Bumi menatap setiap inci wajah Mamanya yang masih cantik walau sudah dimakan usia. Menatapnya dengan tatapan paling menyakitkan. Entah penyakit apa yang bersarang sehingga Mamanya yang baik ini tersiksa siang dan malam. Mama tak pernah mengizinkan mereka untuk membawanya ke rumah sakit atau sekedar mendatangkan dokter ke rumah. Selain takut merepotkan, Mama sendiri yakit itu akan memakan biaya yang besar.
“Makan Ma…” Bumi kembali menepuk lengan Mama sampai akhirnya Mama membuka matanya perlahan. Butuh beberapa menit sampai akhirnya wanita itu mengukir senyum di bibirnya.
Bumi lalu membantu Mamanya duduk bersandar pada bantal yang Bumi siapkan. Tanpa banyak bicara, Bumi menyendokkan bubur dan menyuapkan pada Mamanya. Bukan Bumi tak mau bicara, Bumi hanya tak ingin pertahanannya roboh dan pada akhirnya menangis di tengah pembicaraan ringan mereka. Laki-laki itu bukan lagi anak kecil sehingga dirinya tidak menyadari bahwa Mamanya semakin melemah dari hari ke hari.
“Mas Langit sudah pulang?” Tanya Mama pelan.
“Sebentar lagi pulang, Ma…” jawab Bumi setelah terdiam sejenak.
Bohong. Bumi bahkan tidak tau dimana kakak tertuanya sekarang. 4 tahun yang lalu. Tepat 5 bulan setelah Bapak meninggal, Langit, kakak tertuanya memutuskan untuk merantau. Saat itu memang hanya Langit yang sudah lulus sekolah. Langit merasa, sebagai anak sulung, ia bertanggung jawab atas pendidikan dan kebutuhan Mama dan adik-adiknya. Bumi masih ingat perdebatan di meja makan waktu itu. Mama yang menentang keputusan Langit, karena wajar saja itu terjadi. Mama belum selesai dengan duka setelah berpulangnya Bapak, jelas untuk melepaskan Langit bukan hal yang mudah.
“Ma… Langit akan pulang pulang setahun sekali, Langit juga akan sering-sering menelpon Mama… Langit ga kemana-mana Ma… Langit mau kerja…”
Semua orang tau Mas Langit bukan orang yang suka mengumbar janji. Mas Langit juga bukan orang yang suka berbohong. Jika Mas Langit melakukan kesalahan, Mas Langit akan langsung mengaku tanpa mencari pembelaan. Karakter yang sangat melekat dengan Langit dan sangat dikagumi oleh Bumi, seketika hilang entah kemana. Baru kali ini Bumi menemukan Langit berbohong padanya. Pada Mama dan adik-adiknya. Jangankan setahun sekali, bahkan sudah 4 tahun Mas Langitnya tak kembali. Jangankan menelpon Mama, sekedar memberitahu bagaimana kabarnya saja tak pernah.
“Kira-kira sampainya kapan?” tanyanya sekali lagi.
Bumi terdiam. Matanya menatap teduh wajah wajah ayu Mamanya. Dadanya sesak. Seperti ada sesuatu yang memenuhinya, menyesakinya, mengambil hampir seluruh nafasnya. Sakit sekali. Sejak Mas Langit menghilang, yang Mama tanyakan hanya Mas Langit. Kapan datangnya, sedang apa, bagaimana kabarnya. Hanya tentang Mas Langit.
‘Bumi juga gatau Ma…’
“Sebentar lagi sepertinya…” jawabnya dengan senyum paling sederhananya. Seakan mencoba merangkul dirinya. Menahan agara serpihan yang tersisa darinya tak lebur lebih cepat.
“Yasudah, kalo Mas Langit dateng, bangunin Mama ya…” ucap wanita itu pada akhirnya, mendorong pelan sesendok bubur yang sedaritadi melayang di udara. Akan selalu seperti ini. Mama akan menolak makan setelah beberapa suat saat tau bahwa Mas Langit akan pulang. Tanpa tau bagaimana hancurnya hati Bumi. Tanpa tau betapa lelahnya Bumi.
Kira-kira, apa Bumi masih bisa melalui hari-hari dengan sesak yang sama setiap hari?
***
Bumi termenung di depan panci dengan air mendidih untuk membuat mie instan. Nasi pagi ini habis lebih cepat sebab Bintang yang ngotot minta dibuatkan bekel karena uang sakunya mau ditabung untuk beli robot Optimus Prime yang katanya terbatas dan mehong abis. Padahal biasanya, Bintang paling sensi jika di pagi hari yang indah ini Guntur mengoloknya ‘tidak modal’ (karena biasanya Bintang yang mengejek Guntur tidak modal). Tapi pagi ini, kontras dengan ocehan berisiknya yang mirip lumba-lumba, Bintang justru tetap kekeh minta dibuatkan bekel sambil menatap Guntur dengan death glare paling mematikan yang ia punya.
“Awas ya, kalo gue beli beneran, gausah pegang-pegang!” ancamnya pagi itu.
Pikiran Bumi masih melayang entah kemana. Mengabaikan air yang sudah mendidih di dalam panic –hampir menguap setengahnya. Netranya memburam. Masih teringat jelas olehnya semua pertanyaan yang Mama lontarkan padanya. Mas Langit sedang apa? Mas Langit lagi dimana? Mas Langit bagaimana kabarnya? Mas Langit sudah makan apa belum? Mas Langit, Mas Langit. Seakan-akan Bumi dan adik-adiknya sudah tergantikan dengan Mas Langit yang keberadaannya saja masih abu-abu.
Jika boleh jujur, Bumi muak. Muak sekali. Setiap kali Mama bertanya padanya tentang Mas Langit, Bumi ingin sekali menjawab jujur. Bahwa Bumi tidak tau. Bahwa Bumi tidak pernah berkabar dengan Mas Langit. Bahwa Bumi sudah lelah dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Bahwa Bumi dan lainnya juga ingin diperhatikan seperti Mas Langit.
Tapi tetap saja. Bumi tak akan bisa mengungkanpak sepatah katapun kecuali menjejali Mama dengan kebohongankebohongan yang Bumi sendiri muak memikirkannya.
“Ngerebus apaan Mas?”
Suara Fajar yang baru selesai mencuci motornya seakan menarik paksa Bumi dari lamunannya. Dilihatnya adik keduanya –dengan wajah penuh keringat seperti habis nguli– masih menenteng seember kecil berisi kain basah dan sabun. Bumi mengambil nafas rendah, lalu menjawab sekenanya, “air, mau bikin mie.”
Fajar tampak menggaruk tengkuknya. Ekspresinya tak terbaca. Laki-laki itu meringis tanpa arti. “Air?”
“Ho’oh,” jawab Bumi yang entah kenapa ikut bingung.
“Kok… pancinya kosong?”
“Hah?”
Bumi menoleh. Dan benar saja. Panci yang awalnya berisi seperempat air habis menguap. Bahkan sampai ada bunyi ‘nyes’ saat tetesan terakhir ikut menguap. Dengan cepat Bumi mematikan kompor dan menoleh ke arah Fajar dengan senyum pepsodentnya. Sedangkan Fajar, dengan wajah yang tak bisa diartikan, menatap aneh ke arah Bumi sambil berjalan menuju wastafel. Lelaki itu –masih menatap Bumi dengan aneh– meletakkan ember kecil itu di bawah wastafel di sudut ruangan. Sementara Bumi buru-buru menuangkan kembali air dan kali ini Bumi benar-benar akan konsentrasi dengan mie instannya.
“Berangkat jam berapa?”
“Hah?” Bumi mendongak hanya untuk menemukan Fajar yang kini duduk di meja makan –menatapnya jengah.
“Makanya jangan mikirin Mbak Sri mulu, gak konsen kan,” celetuk Fajar.
Bumi yang merasa tak punya hubungan apapun dengan Sri –anak pemilik warkop 77 langganan si Bara– jelas tidak terima. “Gausah aneh aneh mulutmu, tak staples loh ya!” hardik Bumi.
“Lah, kalo gaada apa-apa, kok Mas Bumi ngasih nomer telepon ke Mbak Sri?” Tanya Fajar dengan wajah polos yang membuat Bumi ingin melempar mangkuk ayam jago ke wajahnya.
Mendengar ucapan ngelantur adiknya itu, sontak Bumi langsung memukulkan sendok di tangannya ke kepala Fajar.
“Itu gue beli pulsa o’on!” balas Bumi tak kalah menye-menye. Sedangkan Fajar hanya ber’oh’ ria saat Bumi membawa semangkuk –ehm ralat, sebaskom kecil indomie soto dengan arak-arakan telur yang menyatu dengannya. Fajar yang melihat sebaskom mie indomie soto (karena yang ia tau 1 mangkuk berarti 1 porsi) tersenyum dramatis.
“Senyum-senyum, kesambet Mbak Sri lo?” celetuk Bumi sambil mengaduk mie kebanggaannya. Namun bukannya marah atau mendumel seperti biasanya, Fajar justru tetap tersenyum berbanding dengan Bumi yang kini menatapnya jijik.
“Gue gak nyangka aja… lo bisa sebaik ini…” ucap Fajar dengan kedua tangan disatukan di dadanya. Yang entah kenapa Bumi seakan melihat cahay dan sepasang sayap di belakang punggung Fajar.
“Apaan sih anjir, lo mirip om-om pedofil tau gak sih?” Bumi kelihatannya mulai eneg, apalagi saat Fajar mangut-mangut saat dibilang pedofil. Deteksi otomatis dalam tubuh Bumi seakan menggaungkan kata ‘tidak beres’ karena sejujurnya pagi ini Fajar memang seaneh itu.
Dengan langkah perlahan seakan diiringi music orchestra yang mengalun dramatis, Fajar mulai mengambil sendok yang ada disana. Namun gerak dramatisnya tu jelas kalah dengan gerak reflek Bumi yang kini sudah mengangkat tinggi sebaskom mie sotonya. Lalu dengan wajah melongo penuh luka, Fajar menatap tak percaya kakak keduanya itu.
“Kok lo tega gitu sih…” Fajar menggeleng pelan sambil menutup mulutnya. Sedangkan Bumi kini menatap nyalang Fajar yang keberadaannya mengancam sarapan paginya.
“Iyalah, orang gue laper,” jawab Bumi sewot.
“Lah, bukannya lo bikin sebaskom soalnya ada gue?”
“Pede, buat gue sendiri kali,” Bumi kembali menurunkan sebaskom kecil mie sotonya sambil menatap tajam Fajar. Takut-takut kalau mie-nya habis saat dia sedang lengah.
“Serius lo? Bukannya itu mienya 3?” sewot Fajar sambil menunjuk-nunjuk baskom merah hati bergambar kelinci berisi mie soto di depannya. Dirinya merasa dikhianati. Padahal Fajar kira Bumi membuat satu baskom karena Bumi melihat ada Fajar datang dan ikut duduk di meja makan.
“Ya terus?” Tanya Bumi balik tanpa mengalihkan pandangan dari mie sotonya. Fajar mendengus. Laki-laki itu lalu menyandarkan punggungnya frustasi. Mulutnya bahkan terus mendumel melihat Bumi makan tanpa memedulikan Fajar yang SEBENERNYA PENGEN JUGA!
Tapi tak bertahan lama, Fajar perlahan terdiam saat netranya tanpa sengaja mengarah ke pintu berhias kelambu dari rangkaian kerang. Pintu kamar Mamanya. Fajar menghela nafas panjang. Diantara Surya bersaudara, Fajar adalah yang paling jarang bersua dengan Mama. Jangankan mengobrol dengan Mama, sekedar menyapa saja Fajar tak mau.
Sebenarnya, kalau boleh jujur, Fajar adalah yang paling terluka ketika Langit tak lagi berkabar. Bagi Fajar, Langit adalah superheronya. Kekuatannya mengalahkan superman, ironman dan spiderman jika digabungkan menjadi satu melawan Godzilla. Bagi Fajar, Mas Langit adalah segalanya. Pernah suatu ketika, Fajar menolak berangkat sekolah hanya karena bukan Langit yang mengantarkannya. Bahkan waktu itu, Bara rela menyembelih anaconda –celengan ayam punya Bara– hanya demi membelikan bocah tengik itu jaket yang katanya pernah dipake jekicen di film karate kid. Tapi siapapun tau, bahwa semahal apapun jaket jekicen, bagi Fajar Mas Langit tak akan tergantikan.
“Mama gimana, Mas?” Tanya Fajar akhirnya setelah berperang dengan keraguannya. Bumi terdiam. Sendoknya ia letakkan begitu saja ketika mendengar pertanyaan yang di lontarkan si nomor 4. Padahal mienya masih banyak, tapi entah kenapa selera makannya hilang entah kemana.
“Baik,” bahkan Bumi saja ragu menjawab pertanyaan adiknya. Bumi bukan tidak tau adiknya ini jarang menanyakan Mamanya. Semenjak Mas Langit hilang dan Mama tidak pernah menanyakan hal selain Mas Langit, Fajar memilih utnuk tidak ikut campur dengan urusan Mama. Apapun itu. Terkadang keputusan Fajar terkesan kurang ajar, karena Fajar bahkan menolak hanya untuk sekedar menyapa Mamanya sebelum kuliah.
Padahal Fajar hanya terluka.
Fajar masih menatap pintu kamar Mamanya ketika Bumi mulai menatap nanar wajah adiknya. “Kira-kira, Mas Langit kemana ya, Mas?”
Bumi terdiam. Melihat Fajar yang seperti ini benar-benar membuat Bumi tidak terbiasa. Bumi akui, Fajar memang sangat menyebalkan. Tapi Bumi lebih tidak suka lagi saat Fajar yang terbiasa menyebalkan kini diam dengan sorot mata yang penuh luka.
“Mas juga gatau, Jar.”
Lengang memenuhi ruang diantara mereka. Baik Bumi maupun Fajar, dua-duanya seperti tenggelam dengan apa yang ada di kepala mereka. Hanya suara Bara yang bermain game yang terdengar. “Minggu depan, Mas mau ngajuin laporan-“
“Gausah Mas.”
Bumi mendongak, memastikan bahwa barusan memang Fajar yang mengatakannya. “Gausah di cari lagi. Biarin aja Mas Langit. Kalo dia pulang ya gapapa, kalo nggak pulang ya kita bisa apa?” ucap Fajar serius. Sepasang nayanikanya menatap lurus tepat ke arah Bumi juga menatapnya. “Gue tau lo sering bolak-balik Surabaya-Jakarta buat nyari Mas Langit. Dan hasilnya? Tetep ga ketemu.” Fajar tertawa lirih sementara Bumi masih diam. Sadar bahwa belum bagiannya untuk bicara.
“Pada akhirnya, gue ngerti kalo ternyata ga semua hal itu bisa diperjuangin. Ada beberapa yang emang harus di ikhlasin. Mas Langit contohnya.” Fajar menarik nafas panjang sebelum akhirnya menyelesaikan ucapannya. “Gue Cuma bisa doa, kalo emang pulangnya Mas Langit yang terbaik, ya semoga Mas Langit cepat pulang. Tapi kalo ga pulangnya Mas Langit itu yang terbaik, ya gimana lagi.”
Pikiran Bumi menerawang. Sejujurnya Bumi sendiri sangat setuju dengan pikiran dewasa Fajar. 4 tahun lamanya Mas Langit menghilang bagai ditelan Bumi, dan selama itulah Bumi diam-diam selalu menyempatkan diri untuk bolak-balik Surabaya-Jakarta hanya demi mencari Mas Langit.
Bumi sangat setuju, tapi bagaimana dengan Mama?
“Ah, udahlah lupain,” ucap Fajar benar-benar mengakhiri kata-katanya. Menimbulkan kekehan kecil dari bibir Bumi yang hampir kembali tenggelam dalam kegundahannya.
“Eh, btw lo berangkat jam berapa?” Nah, sepertinya suasana sudah mulai mencair.
“Masih jam 10, kenapa?” jawab Bumi sambil melihat ponselnya. Fajar sendiri hanya menggeleng ringan, namun tatapannya kembali berpusat pada mie soto yang sudah mulai dingin. “Lo bener-bener gamau bagi mie lo gitu?” Tanya Fajar nelangsa.
Bumi melirik Fajar bengis. “Nggak, gaada bagi-bagi.”
Fajar mencebik, kembali menatap mie yang kembali dilahap oleh Bumi. Setelah sekian lama terdiam, Fajar lalu bersidekap dengan senyum yang benar-benar aneh. “Mas, gue punya sulap,” ucap Fajar tiba-tiba. Sedangkan Bumi sendiri mendongak ke arah Fajar dengan selidik.
“Sulap?”
“Iya, nih ya coba itung dari 1 sampe 10,” titah yang lebih muda dengan mengibaskan kedua tangannya. Wajahnya kini menyeringai, persis seperti limbad ketika akan menunjukkan sulapnya. Bedanya Limbad irit bicara, sedangkan Fajar seperti keran bocor.
Bumi tertegun. Namun pada akhirnya laki-laki itu tetap menghitung 1 sampai 10 walau awalnya dia benar-benar ragu. Dan tepat di hitungan ke-9, dengan gerak cepat, Fajar menyambar sebaskom kecil mie soto yang isinya tinggal setengah itu. Dengan cepat Fajar berlari menuju kamarnya.
“FAJAR!” –DUAK!
Seharusnya saat ini, Fajar sudah memakan mie soto yang gurih hasil membegal Mas Bumi di dalam kamarnya sambil mendengarkan lagu patah hati. Namun ketika Fajar sibuk mentertawakan Mas Bumi yang bersiap-siap untuk mengejarnya, Fajar justru tidak konsentrasi dengan apa yang ada di depannya. Sebuah kejadian epic dimana Fajar sudah berlari dengan kecepatan angin, menabrak Bara yang kebetulan baru turun tangga dengan pakaian rapi, karena rencananya Bara akan keluar pagi ini.
Gurihnya bau mie soto dan matchonya bau parfum Casablanca Bara seakan menyatu. Perpaduan yang Bumi sendiri bersumpah tak akan merusak indra penciumannya dengan bau itu.
Sementara Bara dengan wajah memerah menahan marah (karena hampir semua mienya tumpah mengenai wajahnya) dan Fajar yang kini terkapar di lantai dengan tidak kerennya dan baskom yang sempurna menutupi wajahnya.
Lalu Bumi? Kabur tentu saja.
“FAJAR!!”