Kiara mendekatkan sedotan smoothie ke bibirnya, namun belum sempat ia menyesapnya, gadis itu sudah mengangkat kepalanya, membuat Annika gemas. “Kalau engga enak, buat kamu, ya?”
Annika memutar mata. “Iya, iya. Sekarang minum. Kamu juga udah siapin stroberi kamu.”
Kiara akhirnya benar-benar meminumnya. Wajahnya mengernyit sebentar, lalu pupil matanya membesar, Ia menyedot lebih banyak lagi sebelum melepaskan sedotan dari bibirnya. “Seger banget, ternyata. Enak. Ngga seenak stroberi, tapi oke.”
“Enak, kan? Ternyata kamu beneran belum pernah coba …”
“Duh, aku kan kebayangnya wortel kayak dalam sayur sop, kalau dijus, rasanya … ga tau deh, gimana …”
Mereka tengah berada di kafetaria siang itu. Siang yang tak biasa, karena mereka menggunakan jilbab santai mereka. Di bawah meja mereka juga terdapat dua buah koper. Hari ini adalah hari perpulangan. Setiap tiga bulan sekali, murid-murid Aqiela Ru’ya diizinkan pulang. Kabar buruknya, hanya selama tiga hari. Namun sudah memuaskan kerinduan para santri dengan kampung halaman mereka.
Mereka melanjutkan makan sambil mengobrol. Ayam rica-rica terasa lebih lezat bila dimakan bersama teman. Kiara berbicara tentang pengalamannya saat mengikuti olimpiade nasional sains yang ia ikuti. Akhirnya ia dapat kesempatan mengikuti olimpiade lagi, meskipun ia tidak juara.
“Sebenarnya, kemarin itu … waktu aku sampai belajar malam-malam di perpustakaan, itu karena Bunda,” ucap Kiara tiba-tiba, raut wajahnya berubah sedih. “Aku mau cerita ke kamu dari lama, tapi aku rasanya engga siap.”
“Ngga apa-apa, kamu engga berhutang cerita ke aku kalau kamu engga mau. Semua orang pasti punya rahasia yang dia lebih nyaman kalau disimpan sendiri.”
“Oh, aku mau! Soalnya udah selesai masalahnya—hehe. Jadi, nenekku dari ayah tuh keras banget ke bunda, karena bunda cuma dari keluarga biasa. Nenek maunya engga hanya Kak Alyssa, Kak Regina, Frida, sama Fiona aja yang berprestasi. Tapi aku juga. Nenek selalu mengecek prestasi kita tiap sebulan sekali dengan telepon bunda. Waktu itu aku engga sengaja denger nenek marah-marah waktu bunda bilang kalau aku menang lomba olahraga antar asrama. Katanya, itu prestasi yang nggak pantas dibicarakan. Aku bodoh karena aku bawa gen bunda dari masyarakat kalangan bawah. Aku sedih banget dengernya. Aku cuma kepikiran gimana caranya aku secepatnya bisa punya prestasi kayak saudari-saudariku supaya bunda engga dimarahin. Jadi yah … aku ngelakuin hal-hal itu, termasuk ikutan klub sastra. Sebenarnya aku engga cocok ada di sana. Tapi mereka paling update sama lomba-lomba dan info sekolah, bahkan banyak yang engga keluar dari lingkaran mereka. Makanya itu, aku selalu usahain ikutan terus perkumpulan mereka,” jelas Kiara panjang lebar. Keluarga Kiara memang merupakan keluarga yang kaya raya, ayahnya pun masih mempunyai darah keturunan kerajaan di masa lalu. Keluarga mereka sering membintangi halaman depan koran lokal ibu kota.
“Ya ampun, aku ngga bisa bayangin gimana rasanya jadi bunda kamu …”
“Iya, kan? Aku kepikiran terus dan ngerasa bersalah banget. Annika, sebenarnya aku ngerasa insecure juga sama kamu, loh. Kayaknya impian kamu buat kelihatan jadi gadis keren tanpa usaha besar itu berhasil. Karena lagi kalut, aku jadi kayak … Annika kenapa selalu nilai-nilainya lebih bagus dari aku, ya, padahal dia engga serajin itu belajarnya? Annika kok bisa sekeren itu ya, main musik? Sementara aku engga ada talenta apa pun. Jadi, waktu kamu dipilih jadi prefek, aku kayak marah banget. Dan sebenarnya aku baca surat kamu habis kita di rooftop, oh, tapi aku kayak dikuasai amarah. Sekarang aku ngerti pikiran-pikiran itu salah banget. Aku bersyukur banget kamu yang pertama kali … memelukku di perpustakaan itu. Aku selalu ingin minta maaf, tapi, aku nggak punya cukup banyak keberanian.”
“Waktu itu kamu kelihatan kayak sedih banget, soalnya. Ah, banyak banget kesalahpahaman kita, terutama aku. Ck ck, aku kira kamu engga main sama aku lagi karena aku engga se’keren’ mereka. Mari kita janji, mulai sekarang, kalau ada sesuatu, kita harus sama-sama bicarakan,” kata Annika sembari menyodorkan tangan kanannya. Kedua gadis itu berjabat tangan.
Pembicaraan mengalir lagi. Rupanya, setelah Kiara sakit, ayahnya jadi tahu soal ibunya yang selalu merongrong istrinya soal prestasi putri-putrinya. Ia sudah mewanti-wanti ibunya supaya tidak lagi melakukannya. Sejauh ini, wanita itu sudah meminta maaf, dan hanya berani menelepon bunda Kiara ketika sang anak ada di rumah. Suasana menjadi lebih tenang. Kiara juga tidak terlalu stress saat tidak memenangkan olimpiade.
Rencana-rencana liburan juga menjadi topik pembicaraan. Libur tiga hari mungkin berlebihan bila dikatakan sebagai liburan, tapi mereka menyambutnya dengan senang seakan-akan libur Idul Fitri.
“Aku mungkin hanya keliling mall. Oh, aku kangen mall-mall di Kubai. Tapi Frida pasti punya ide lain. Dia selalu semangat ajak kita jalan-jalan ke tempat baru. Kalau kamu?”
Annika berpikir sejenak. “Kebun binatang? Ah, mungkin tahun ini engga ke kebun binatang lagi,” tawanya. “Nggak tahu, deh, tapi aku pasti bakal kasih tahu kamu nanti. Oh, Kiara, itu mobil ayah kamu, kan?”
“Iya! Dah, Annika. Sampai ketemu hari Senin nanti. Assalamualaikum!” kata Kiara sembari menarik kopernya. Ia melambaikan tangannya seraya jilbabnya berkibar terkena angin bulan Oktober.
“Waalaikumussalam.”
Tak lama setelah mobil ayah Kiara berlalu, mobil silver papa melambat saat melaju di lokasi parkir Aqiela Ru’ya. Annika menarik kopernya juga, meninggalkan kafetaria Aqiela Ru’ya yang pernah jadi saksi atas kisahnya dan Kiara. Ia berjanji akan melanjutkannya lagi dengan kisah yang jauh lebih tenang dan dewasa setelah tiga hari nanti.