Pertengkaran itu membuat hubungan Annika dan Kiara semakin merenggang. Bahkan, lebih renggang dari sebelumnya. Setiap bertemu, Kiara bahkan tak menutupi ekspresi tidak sukanya berada satu ruangan dengan Annika. Membuat Annika merasa sedih bercampur kesal. Benar, mereka mungkin hanya mantan teman sekamar—bukan sahabat, sesuatu yang dikhawatirkan Annika dua minggu lalu.
Katanya, persahabatan membutuhkan pertengkaran untuk semakin dekat—tapi, pertengkaran semacam ini hanya akan mengarah pada kebencian. Kiara berbicara dengan penuh sarkasme, dan Annika merasa semakin kesal dan kesal dan kesal dan berakhir menganggap Kiara menyebalkan.
Sheila sudah memperingatkannya, supaya ia segera berbaikan dengan Kiara, seraya memberikan dalil tentang tidak bolehnya seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Tapi ia sudah berusaha meminta maaf, dan tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali menunggu amarah Kiara mereda.
Makrab yang dinanti-nantikan telah tiba. Satu bus telah disewa untuk berangkat ke Kecialu. Bukan perjalanan yang jauh—tapi semua anak sangat semangat menyambutnya. Obrolan para murid yang ceria memberikan suasana yang menyenangkan di dalam bus. Meskipun ada Sheila di sampingnya, Annika tetap tak bisa menghilangkan perasaan kalau ia bagaikan anak hilang di sini. Tapi ia bersyukur juga, untungnya ada Sheila.
Annika mendapat banyak jajan dari teman-temannya—permen, keripik kentang, atau kacang bawang, yang sedikit demi sedikit, rasa lezat itu membuat mood-nya naik, dan membuatnya menikmati perjalanan. Oh, tapi siapa yang tak akan menikmati perjalanan dengan suasana ini? Hari masih tergolong pagi, sehingga matahari masih bersinar dengan ramah. Musik mengalun di speaker bus, bahkan ‘Roadside Yellow Butterflies’ pun termasuk dalam playlist. Bangunan-bangunan yang mereka lewati sepanjang jalan—sesimpel apapun, sangat menarik, setelah hanya melihat Aqiela Ru’ya selama berminggu-minggu, bahkan mengingatkan Annika pada rumah.
Mereka tiba di bumi perkemahan pada jam sembilan pagi. Udara sangat dingin—dan Annika tak bisa membayangkan kalau udara akan memanas ketika siang hari. Pastinya tidak akan memanas. Kak Regina yang memimpin upacara menyampaikan beberapa acara yang akan mereka lalui, dari mendirikan tenda sampai menyalakan api unggun.
Annika berpisah dengan Sheila. Ia menghampiri ketiga kakak kelasnya untuk membangun tenda bersama. Ia sudah berkenalan dengan mereka sebelumnya. Kak Airis memiliki tubuh yang paling tinggi. Ia memiliki kulit yang pucat. Tulang-tulang jarinya menonjol di tangannya. Ia memiliki wajah paling dingin yang bisa dibayangkan seseorang, tapi sebenarnya ia suka tertawa. Sementara itu, Kak Clara adalah kebalikannya, ia memiliki tubuh yang lebih pendek, bahkan lebih pendek dari Kiara. Ia mengenakan jilbab berwarna pink dan tas rajut stroberi yang manis. Di kepalanya bertengger topi putih untuk menghalau silaunya sinar matahari. Terakhir adalah Kak Katya. Sepengamatan Annika, ia adalah tipe orang yang lebih serius. (Meskipun tidak separah Ashna). Ia sudah menjadi prefek kebudayaan dari tahun sebelumnya, yang menunjukkan kalau para guru puas dengan kinerjanya sehingga ia bisa terpilih lagi di tahun keduanya. Ia tak terlalu tinggi, namun ia selalu mengenakan loafers dengan heel tinggi, hingga membuatnya hampir mencapai tinggi Kak Airis. Kelihatannya ia menyukai warna warm earth tone, karena warna pakaiannya tak jauh-jauh dari warna cokelat, sienna, atau tanah liat.
“Arina, ya, nama kamu?” tanya Kak Clara sambil meletakkan tasnya di bawah pohon bersama tas-tas lain. Mereka harus mendirikan tenda untuk berteduh, beristirahat, dan bersembunyi.
“Annika, Kak,” kata Annika membenarkan.
“Oh, iyaaaa! Aku kenapa bisa lupa, ya? Kamu kelas berapa?”
Airis melihat Clara dan memutar mata. “Ya kelas empat, dong, Rel. Gimana, sih.”
Clara diam sejenak seakan memikirkan sesuatu, lalu matanya bersinar. “Ah, yang suka main sama Kiara, yaaa?”
“Iyaa, Kak,” kata Annika mengiyakan. Kak Clara lumayan akrab juga dengan beberapa anak di angkatannya, ia benar-benar social butterfly. Salah satunya dengan Kiara, yang secara natural terkenal di anak-anak kelas lima simply karena ia adalah adik Regina, gadis sempurna yang lahir satu kali setiap empat ribu tahun, bercanda. Tapi Kak Clara pasti melihatnya saat ia mengobrol dengan Kiara.
Tenda mereka akhirnya tegak. Annika sebenarnya punya kenangan buruk soal tenda. Saat SD, sekolah Annika mengadakan perkemahan di halaman gedung yang disewa. Awalnya, tenda berdiri dengan sempurna. Namun semakin sore, tenda semakin condong, tapi Annika dan teman-temannya sudah terlalu lelah untuk membenarkan. Saat malam tiba, hujan turun dengan deras. Tenda yang menaungi mereka hampir rubuh. Baru kali itu Annika terbangun karena air mengucur di wajahnya, sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan.
Tapi tenda yang disediakan sekolah untungnya punya kualitas yang lebih baik. Kerangkanya pun lebih kokoh. Ada atap sisa yang akhirnya mereka gunakan untuk menggelar tikar dan bersantai di sana.
“Kiara masih suka main kasti, Nik?” tanya Kak Airis membuka obrolan saat mereka berkumpul sambil menikmati jajanan. Kiara dan kastinya memang lumayan terkenal—atau Kiara dan tenisnya, dan olahraga-olahraga lain. Ia berulang kali dipilih sebagai perwakilan asrama atau kelas, dan merupakan monster bagi para lawannya. Tak heran kalau Kak Airis sampai tahu hal itu.
“Masih. Cuma akhir-akhir ini udah jarang, karena banyak tugas,” kata Annika.
“Iya, sih. Kalau awal kelas empat biasanya langsung kaget. Habis kelas tiga yang santai tiba-tiba langsung semua guru hobi banget ngasih tugas. Mana mapelnya lebih banyak dari waktu SMP,” kata Clara sambil melahap camilan keju berbentuk cincin.
“Kelas tiga engga santai deh, Rel,” kata Kak Airis tidak setuju.
“Maksudku kan dibanding kalau kelas tiga. Waktu itu kita malahan masih sempat jogging tiap sore. Inget, nggak? Kalau sekarang udah capek duluan.”
“Oh iya, hahahaha. Aku inget kamu ngide jogging ke asrama anak kelas lima waktu itu lalu dimarahin karna nginjak kubis orang, hahaha,” tawa Airis.
“Iya, hehehe. Waktu itu aku kesel banget masa disuruh ganti pakai uang. Tapi sekarang aku jadi tahu kenapa. Numbuhin kubis susah banget …” keluh Clara.
Pembicaraan yang sudah tidak melibatkan Annika lagi kini membuat gadis itu tenggelam dalam lamunannya. Udara Kecialu yang segar ini membuatnya mengingat Kiara. Pasti menyenangkan kalau ia ada di sini. Annika tiba-tiba jadi sadar dengan posisi awkward-nya. Ia merasa seperti batu besar di antara kerikil. Para kakak kelas ini jelas-jelas sudah saling akrab, dan ia merasa menjadi bagian ganjil yang merusak dinamika mereka. Kalau Kiara yang berada di posisinya, ia pasti akan lebih cepat menyatu dengan mereka.
Makrab hari itu berjalan dengan lancar. Annika bersenang-senang. Tawanya meledak saat para gadis diminta untuk bekerja sama menangkap ikan per kelompok. Clara memujinya saat ia berhasil menangkap dua ikan besar, “Oh, keren juga kamu, Nik! Udah pernah nangkap ikan sebelumnya?”
“Belum pernah, Kak. Kayaknya ini hari aku nemuin bakatku,” tawa Annika.
Malam harinya, api unggun dinyalakan. Annika merapatkan lengan dalam jaket merah mudanya. Udaranya sangat dingin! Tapi bintang-bintang di langit yang terlihat jelas telah membayar semuanya. Annika menatapnya sampai puas, dan menghindari melihat siluet pucuk-pucuk pepohonan yang menyeramkan. Hidup di asrama membuatnya mendengar banyak versi cerita menyeramkan, termasuk perkemahan di hutan seperti ini!