Matahari sudah hampir tenggelam dan Annika baru berjalan menyusuri taman untuk kembali ke asrama. Ia melihat anak-anak yang telah berganti pakaian dengan jilbab yang lebih santai, sementara ia masih berseragam lengkap. Kak Katya memutuskan kalau mereka harus memulai rapat soal festival kebudayaan mendatang. Ada banyak sekali hal yang harus dilakukan. Tak heran kalau gadis itu pulang dengan wajah lelah.
Hari Kamis sore saat matahari sudah tak mengerahkan kekuatan penuhnya untuk bersinar adalah waktu paling menyenangkan di Aqiela Ru’ya. Sekolah sudah berakhir jam sebelas siang, dan besok adalah hari libur, mereka bermain dengan puas. Annika berpapasan dengan sekelompok orang yang membawa tongkat kasti, ada juga yang kelihatannya habis berenang di kolam renang melihat wajah mereka yang segar. Ya ampun, sudah berapa lama ia tidak berenang?
“Annika! Baru pulang?” sapa Danila saat Annika melewati kebun. Gadis itu tengah sibuk menyirami kentangnya. Setelah Annika sering pulang hampir Magrib, mereka membuat kesepakatan, Annika menyiram tanaman mereka di pagi hari dan Danila di sore hari.
“Iyaaaa, huhu, capek banget …” keluh Annika dengan bahu melemas.
“Uh, kasihannya,” tawa Danila, kemudian ia buru-buru mencuci tangan dan menghampiri Annika. “Sini aku bawain yang ini. Kertas-kertasnya banyak banget. Ini kertas apa aja?” katanya sambil meraih tumpukan kertas dan map yang ada di tangan kanan Annika.
“Ini … rancangan proposal buat ekskul desain grafis. Huft. Makan malam apa, ya?”
“Nggak tahu. Tapi wanginya kecium sampai atas, loh, tadi. Kayaknya sih, udang saus tiram.”
Mata Annika melebar. Setitik cahaya memberikan kehidupan di mata gadis itu yang tadinya lesu. “Beneran? Oh, ayo mandi, shalat, habis itu makan. Aku lapar banget—yang laparnya tuh lapar banget. Aku ngga bisa berhenti bicara kalau aku lapar sampai aku makan.”
“Hahaha. Tapi jangan berharap dulu. Tahu kan, wangi masakan tuh suka nipu. Kayak yang kita kira ayam taunya tempe …”
“Humm, bener juga,” kata Annika seraya memasukkan sepatunya ke dalam loker. Setiap anak mendapatkan satu buah loker mungil di lorong depan, biasanya berisi sepatu dan sandal. “Ah, tapi masakan apa aja aku bakal bersyukur banget.”
Mereka naik ke atas. Dari sudut mata Annika, ia melihat Kiara yang tengah berkumpul dengan teman-temannya di mushola, tengah menghafalkan Alquran. Mereka sudah benar-benar menjauh. Keduanya telah menemukan pola hidup masing-masing. Annika dengan aktivitas prefek dan anak kamar empat, sementara Kiara dengan klub sastra dan olimpiadenya. Kiara sudah tak melayangkan tatapan kesal padanya. Alih-alih, ia bersikap seakan-akan Annika tak ada. Dan Annika tak bisa banyak menyalahkannya, karena sikapnya pun demikian pada Kiara.
Namun, mereka bukanlah teman yang baru mengenal. Annika merasa banyak sekali kekosongan dalam hidupnya setelah Kiara mulai menjauh. Saat berpikir tentang penyebab kerenggangan ini, ia menyesali kesalahan pengambilan keputusannya. Tapi tak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
Annika langsung mandi begitu sampai kamar. Aqiela Ru’ya juga mempunyai peraturan soal mandi—bahwa para murid tak boleh mandi malam-malam. Setelah mandi, Annika merasa lebih segar. Ia berencana akan melupakan amanah prefeknya sementara malam ini dan akan langsung tidur selepas Isya. Kamis malam merupakan satu-satunya hari dalam seminggu tanpa belajar malam!
“Loh, nanti malam mau nonton film, ya? Film apa?” tanya Annika ketika mendengar percakapan anak-anak kamar. Loh iya, ini kan malam Jumat, ya? Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam otaknya sehingga tak bisa menghubungkan langsung malam Jumat dengan movie night.
“Iyaaaa, Annika. Sekarang kan malam Jumat. Kalau dari hasil voting sih, ‘Paws and Paws’ sama … apa deh, satunya?” jawab Gladys, yang ternyata melupakan salah satu film yang akan mereka tonton.
“The Flower Railway,” kata Anya.
“Paws and Paws? Itu kan film buat anak kecil …” kata Annika.
“… Iya sih, tapi bukannya kamu belum lama bilang mau nonton, ya?” kata Gladys mengingat-ingat.
“Oh iya, hehehe,” tawa Annika. ‘Paws and Paws’ adalah film tentang petualangan kucing dan tupai terbang, salah satu film yang sangat ingin ia tonton sebelumnya. Well, Annika merasa ia sudah banyak berubah dari dua minggu yang lalu. Ia sudah dewasa sekarang. Ketertarikannya untuk menonton film kekanak-kanakan sudah berkurang. Dan menjadi prefek adalah penyebabnya.
Anak-anak kembali bersemangat membicarakan malam nanti. Mereka berencana akan mengambil posisi berdekatan. Gladys berkata kalau ia akan membawa sirupnya ke atas, jadi teman-temannya harus membawa gelas kalau mau minta. Anya berkata kalau akan bawa selimutnya, karena tahu kalau dia pasti akan ketiduran. Oh, film apa pun ia pasti akan ketiduran. Ia ikut menonton karena menikmati obrolan dan makanan di ruang rekreasi. Itulah kenapa Ustazah Medina selalu mengembalikan review-nya sambil tersenyum-senyum. “Kayaknya ada plot yang hilang, ya …” atau, “Amanat kamu beda banget dari temen-temen lain,” begitu katanya.
Makan malam berlangsung seperti biasa. Annika makan semeja dengan teman-teman sekamarnya. Ia tak melihat kalau Kiara tengah masuk ke dalam ruang makan juga. Gadis itu terlalu sibuk menjaga matanya tetap terbuka untuk melihat udangnya (beruntungnya, menu makan malam hari itu benar-benar udang saus tiram). “Aku ngantuk banget—kayaknya aku nggak bakal ikut nonton nanti malam.”
“Loh, nonton aja Nik, nanti kamu sendirian di kamar,” kata Talya, si ketua kamar, yang tiba-tiba merasa bertanggung jawab langsung tidak langsung dengan kesejahteraan perasaan anak-anaknya. “Seasrama pasti di ruang rekreasi nanti.”
“Kecuali Kiara, sih,” desis seseorang dengan jahil, entah siapa, tapi Annika mengabaikannya. Lagipula sudah disusul oleh desisan-desisan lain supaya gadis itu diam. Kiara memang telah berminggu-minggu tak menyentuhkan kaki ke ruang rekreasi.
“Iya. Kamu tidur aja di atas ngga apa-apa. Bawa selimut kayak Anyaa,” saran Danila.
“Oke sih, tapi nanti gimana aku nulis review-nyaa?”
“Kayak Anya juga, dia pernah nulis bagian awal doang. Iya, kan, Nya?” tanya Gladys.
“Iya, hehehe. Ngga apa-apa, tau. Ngga dinilai juga, kan?”
Annika mempertimbangkan usulan teman-temannya. Iya, sih, review film tidak dinilai secara langsung oleh Ustazah Medina, tapi ia pernah dengar kalau hasilnya mempengaruhi penilaian kedisiplinan, meskipun masih di antara banyak faktor-faktor lain. Tapi menonton film hanya ada satu kali kesempatan ini sebelum membiarkan dirinya diterpa badai tugas sekolah dan amanah prefek kebudayaan lagi. Selain itu, masih ada hari Jumat besok untuknya beristirahat.
Maka, Annika menapaki tangga-tangga ke rooftop dengan bergelung selimut seperti kepompong. Ruang rekreasi sudah ramai oleh anak-anak. Talya memanggilnya, dan menyuruh Annika duduk di tempat yang sudah ia sisakan. Ia melihat sekelilingnya, dan melihat anak-anak yang tengah menuangkan sirup markisa Gladys ke gelas-gelas mereka. Annika sebenarnya tak terlalu suka markisa, namun ia mendorong gelasnya dan akhirnya mendapatkan satu tuangan sirup markisa.
“Makasih, Dys,” kata Annika, lalu menyeruput sirupnya, ia sudah mengantisipasi kalau sirup markisa itu akan masam, namun ia tak tahu kalau rasanya akan semasam itu.
Layar televisi menyala untuk pertama kalinya di minggu terakhir September ini. Film pertama dimulai setelah hampir semua anak datang. ‘Paws and Paws’ memukau seluruh anak di ruang rekreasi itu. Annika sampai tidak jadi tidur. Plotnya seru sekali. “Kayaknya macan yang ini jahat, deh,” celetuknya. “Dia ngingetin aku sama Frederick Yearwood.”
“Kenapa, Nik?” tanya Danila di sela-sela merajutnya.
Annika mengerjap. Nostalgia menyergapnya di saat-saat ia sedang lengah. Tenggelam dalam plot film ‘Paws and Paws’ membuatnya melupakan sekeliling. Ia kira, ia masih berada di masa lalu, menonton film di samping Kiara dan berdiskusi sepanjang film berlangsung. Hatinya seakan tercabik. Ia dan Kiara sudah saling menjauh sekarang, dan ia menyadari bahwa persahabatan lebih berharga dari pada yang sebelumnya ia pikir. Tawa, canda dan luka telah mereka jalani bersama-sama selama tiga tahun—bukan waktu yang singkat untuk melupakan semuanya. Sungguh, ia tak mau berpisah dengan Kiara sebelum ‘perpisahan’ yang sesungguhnya. Ia masih ingin berbicara banyak hal tentang hal-hal random, menjalani ‘ritual’ minum susu mereka, dan memiliki seseorang yang ia tahu akan menerimanya saat ia dalam keadaan paling buruk sekali pun.
Sion si kucing dan Maverick si tupai terbang berhasil menguak kejahatan sang macan. Para gadis bertepuk tangan. Namun, setetes air mata jatuh ke pipi Annika.