Selepas shalat Isya, para murid tidak langsung naik ke kamar masing-masing. Seperti biasa, ustazah murabbiyah akan menyampaikan hal-hal yang perlu diketahui oleh para murid yang baru datang. Mereka masih di duduk di shaf-shaf shalat sambil mendengarkan Ustazah Medina.
“Nanti yang terlambat datang di sini dulu ya, setelah selesai. Nah, alhamdulillah semuanya sudah datang. Berarti peraturan asrama sudah berlaku, ya. Jangan ada yang keluar asrama setelah magrib. Saya harap semuanya sudah tidak bawa hp, kalau masih ada yang bawa malam ini saya beri keringanan untuk diserahin ke saya nanti setelah pertemuan ini. Saya simpankan sampai jadwal perpulangan nanti.”
Kehidupan asrama dimulai lagi. Tanpa internet, tanpa uang jajan, dan dikurung di dalam tembok asrama. Tahun pertama dan tahun kedua masih ada anak yang bandel dengan menyelinapkan hp. Tapi tahun ketiga kemarin sudah tidak ada. Tahun keempat ini, kelihatannya semuanya sudah cukup mengerti untuk menaati peraturan. Para prefek tak pernah bercanda dalam memberikan hukuman bagi yang melanggar.
“Jujur aja, bawa hp meskipun kedengeran menyenangkan, tapi sebenarnya malah ganggu banget karena deg-degannya,” kata Kiara yang berada di samping Annika. Gadis itu masih mengenakan mukenanya, seperti anak-anak yang lain.
“Kapok, ya, Ra?” goda Annika, mengingat saat kelas satu dulu, Kiara ketahuan membawa hp dengan santri-santri lain saat penggeledahan mendadak. Hp mahal Kiara tak pernah kelihatan wujudnya sampai sekarang. Sudah disita oleh prefek asrama.
“Kapok. Dimarahin Kak Regina juga waktu itu,” kata Kiara. Regina adalah kakak kedua Kiara. Saat ini duduk di kelas lima. Sejak kelas empat ia sudah menjadi prefek kedisiplinan. “Kalau Kak Alissa sih, hanya ketawa-ketawa. Tapi tahu, kan, sebenarnya kalau diketawain Kak Alissa tuh lebih bikin kena mental,” sambungnya. Kalau Regina adalah kakak kedua yang tegas, Alissa adalah kakak pertama yang santai. Keduanya saat ini bersekolah di Aqiela Ru’ya. Alissa berada di kelas enam, yang merupakan tahun terakhirnya di sekolah ini.
“Iya. Kak Alissa kayak ingat semuanya. Dia aja ingat kelas tiga kemarin kalau dulu aku yang mau jatuh dari balkon gara-gara lupa jalan ke kamar.”
“Iya, kan? Mengerikan sebenarnya dia. Dan ngga akan buang-buang kesempatan kalau mempermalukanku.”
Percakapan mereka terhenti untuk mendengarkan Ustazah Medina kembali. Kali ini beliau membagikan buku-buku bagi para murid. Ini adalah salah satu budaya bagi murid-murid Aqiela Ru’ya. Setiap murid diwajibkan untuk menulis planner setiap hari. Planner itu memiliki ukuran yang tidak terlalu besar. Sampulnya berwarna putih polos dengan sebuah logo Aqiela Ru’ya berwarna emas di tepinya. Di setiap halaman, sisi kirinya adalah barisan angka jam untuk mengatur waktu. Sementara itu di bagian yang tersisa, murid-murid bisa menuliskan peristiwa yang mengesankan yang terjadi di hari itu. Awalnya Annika malas-malasan menulisnya. Tapi menyenangkan juga setelah ia membaca kembali planner miliknya dari tahun-tahun sebelumnya. Oh iya, dulu bertemu Kiara pertama kali saat MOS. Oh iya, dulu ia dan Kiara pernah sama-sama dapat hadiah dari guru Biologi. Dan … ya ampun, mereka pernah hampir kabur dari asrama.
Annika mengelus sampul halus buku itu, dan diam-diam bertekad, tahun ini, ia akan menyimpan lebih banyak memori menyenangkan, sebelum …
“Dan saya harap kalian lebih disiplin, ya, supaya bisa bersiap-siap untuk kelas lima nanti. Manfaatkan waktu kalian sebaik-baiknya. Kalau sudah tinggal di kompleks kabin nanti, nggak akan ada banyak waktu luang. Dua hari sekali mencuci baju, jangan ditunda-tunda. Sedikit-sedikit belajar masak juga. Nanti insyaallah kalau ada waktu luang kita belajar sama-sama, ya,” kata Ustazah Medina.
Yup. Satu alasan mengapa gedung di kompleks asrama hanya lima adalah … karena murid-murid tingkat kelima tinggal di kompleks kabin di dalam hutan. Aqiela Ru’ya memang dibangun di tepi hutan. Anak-anak kelas lima sudah tidak lagi mendapat jatah makan dari sekolah, sehingga benar-benar harus mengandalkan kemampuan sendiri untuk makan. Belum lagi jadwal pelajarannya akan semakin padat. Pastinya tak akan banyak waktu untuk bermain dengan teman.
“Nah, setelah ini silakan lanjut bersih-bersih, ya. Untuk malam ini anak-anak yang terlambat yang akan membersihkan asrama. Tapi besok harus sudah ada jadwalnya, ya. Setelah ini setiap kamar harus sudah punya ketua kamar, jadi akan mudah membaginya.”
Setelah memastikan tak ada yang ingin bertanya, Ustazah Medina pun mengakhiri forum dengan salam. Satu-persatu para santri keluar dari mushola. Termasuk Annika dan Kiara. Mereka naik tangga bersisian. Lengan Kiara memeluk lengan Annika.
“Nanti habis kumpul kamar naik yuk, ke atas. Minum susu,” ajak Kiara saat mereka hampir tiba di pintu masuk kamar satu. Ini adalah salah satu kebiasaan mereka, menikmati susu berdua lalu mengobrol sampai malam.
“Okee, semoga engga lama-lama selesainya,” kata Annika.
Mereka berpisah. Annika berjalan menuju kamarnya, yang letaknya lebih jauh dari tangga. Sederhana, tapi rasanya aneh sekali bahwa mereka benar-benar berpisah. Annika jadi sadar, kegiatan-kegiatan yang biasanya mereka lakukan bersamaan tahun ini tak akan bisa lagi.
Annika melipat mukenanya begitu sampai di kamar. Setelah semua anak datang, mereka berkumpul melingkar di lantai. Musyawarah menentukan struktur pengurus kamar dimulai. Setelah melalui penentuan, akhirnya semua bagian telah ditentukan, kecuali ketua kamar. Sheila bagian sekretaris. Anya bagian bendahara. Gladys bagian kebersihan. Annika selalu menghindar saat ditawarkan. Ya ampun, pasti melelahkan kalau harus mengerahkan tenaga mengurus kamar. Ia mau jadi anggota saja.
“Kalau semua engga mau gini, gimana kalau kita voting aja? Nama yang pingin kita jadiin ketua kamar kita tulis di kertas, nanti yang paling banyak langsung jadi ketua kamar,” usul Gladys. “Tapi yang kepilih engga boleh protes sama sekali.”
Annika melihat wajah keberatan teman-temannya, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena tak ada saran yang lebih baik lagi. Annika sih tenang-tenang saja, namanya pasti tidak akan muncul dalam satu kertas pun!
“Boleh, pakai kertas aku ajaaa,” kata Annika. Ia berjalan menuju rak buku dan mengambil salah satu buku tulis. Ia menyobek kertas itu menjadi bagian kecil-kecil dan memberikannya satu-satu pada teman-temannya.
“Sebenarnya bagus loh, jadi ketua kamar, nanti bisa dapat tambahan poin,” kata Gladys, mengingatkan Annika soal sistem poin di Aqiela Ru’ya. Prestasi dan jabatan akan menambah poin, sementara pelanggaran akan mengurangi poin. Setiap anak diberikan 250 poin pada awal masuk Aqiela Ru’ya saat kelas satu. Kalau sampai minus, artinya akan dikeluarkan.
‘Tapi terlalu merepotkan,’ pikir Annika. Dengan banyaknya pertemuan yang dilakukan setiap minggu, waktu luangnya akan berkurang. Ia melihat teman-temannya yang lain, dan nampaknya, mereka juga berpikir hal yang sama dengan dirinya.
“Duh, tapi tanggung jawabnya yang bikin berat,” celetuk Talya. “Apalagi kalau ada kasus.”
Akhirnya, sistem voting dilakukan. Annika menuliskan nama Danila tanpa ragu. Ia lumayan tertarik dengannya. Danila punya tatapan lembut nan baik yang menandakan bahwa ia akan bijaksana dalam memimpin. Lalu, Annika mengumpulkan kertasnya ke tengah-tengah lingkaran bersama kertas-kertas lain.
Gladys yang membuka kertas-kertas itu. Annika tertawa saat mendengar Danila bergumam, “Ya Allah …” dengan wajah pasrah saat mendengar namanya disebut. Danila melihatnya curiga. “Annika, kamuuuu yaa yang nulis nama aku?”
“Hehehe. Menurutku kamu bakal keren jadi ketua kamar, Dan.”
“Ih, enggaaaaa,” kata Danila dengan kecemasan mewarnai suaranya.
Untungnya, nama Danila hanya disebut satu kali. Untungnya juga, tidak ada yang menyebut Annika di dalamnya. Tapi nama Talya yang mendapatkan voting paling banyak.
“Makasih ya teman-teman, hadiah beratnya. Semoga aku bisa jalanin amanah ini dengan baik. Kalau aku ada salah, tolong dikasih tahu, yaaa,” katanya.
Akhirnya, proses pemilihan ketua kamar selesai. Gladys mengambil sesuatu dari kolong ranjangnya yang hanya ada di belakangnya. “Eh eh, jangan bubar dulu, yaaaa. Nih, aku bawa kue. Kalau ada yang mau ambil ajaaa,” katanya sambil meletakkan sekotak kue di tengah-tengah lingkaran.
Tiba-tiba saja, semua orang menawarkan makanan mereka. Tengah kamar empat jadi penuh dengan makanan. Buah-buahan dari Sheila, kue muffin dari Danila, gorengan dari Talya, donat dari Anya, dan menu-menu lain. Annika jadi ingat pesan mama sore tadi. “Jangan lupa loh, di saku koper kamu ada cakwenya. Dibagi sama teman-temannya nanti. Kalau besok pagi udah nggak enak soalnya.”
Ditambah cakwe dari Annika, malam itu jadi semacam pesta mendadak. Obrolan di kamar juga jadi meluas. Talya bercerita soal pengalamannya kursus memasak. Karena tahun depan mereka harus memasak sendiri, semua jadi tertarik mendengarnya.
Sayangnya, Annika tidak bisa mendengarnya karena ia sudah ada janji dengan Kiara. “Dimakan aja ya, teman-teman. Aku mau keluar dulu,” katanya sambil beranjak berdiri menuju ranjangnya.
“Oh, ngga apa-apa nih, Nik?” tanya Gladys.
“Iyaaa,” kata Annika meyakinkan.
“Mau main sama Kiara, ya? Kasihannya yang tiba-tiba harus pisah,” kata Talya menunda ceritanya.
Annika hanya tertawa. Ia mengambil gelasnya di atas nakas, lalu menuangkan susu buku ke dalamnya. Ia juga memgambil sebungkus snack miliknya, kemudian pergi meninggalkan kamar.
Dispenser di semua asrama selalu diletakkan di lantai satu. Ia bertanya pada seseorang di kamar satu tentang Kiara, dan ia mendapat jawaban bahwa Kiara sudah naik ke rooftop. Setelah mengucapkan terima kasih, ia turun ke lantai satu untuk mengisi gelasnya dengan air hangat, lalu naik langsung ke lantai paling atas.
Lantai paling atas setiap asrama berisi ruang rekreasi dan rooftop. Ruang rekreasi adalah ruangan yang diperuntukkan bagi para siswi untuk bersantai. Di dalamnya terdapat rak buku, proyektor, dua komputer, dan sofa yang nyaman. Sementara itu, rooftop sebenarnya sebagian besar adalah tempat jemuran. Kalau awal tahun seperti ini memang kelihatan indah, namun sehari dua hari lagi pemandangannya akan tertutup oleh lambaian pakaian dan hanger-hanger yang bergantungan.
“Annie, sini!” suara Kiara terdengar.
Annika menoleh dan mendapati Kiara yang sedang duduk di kursi di bawah kanopi depan ruang rekreasi. Segelas susu mengepul di depannya. Annika tersenyum. Ia meletakkan gelas oranyenya di dekat gelas keramik putih Kiara. Lalu duduk samping Kiara.
“Di luar sini?” tanya Annika.
“Hum. Di dalam lagi pada nonton film ‘Winglewish’s Journey.’ Kamu kan udah nonton. Kecuali kamu mau nonton ulang, kita di dalam.”
“Hah, nggak, deh, makasih. Danau yang mengendalikan seluruh lautan? Itu nggak masuk akal,” kata Annika, mengingat pengalamannya menonton film itu yang tak menyenangkan. “Dan juga, engga mau dapat tugas review, kita kan baru masuk,” sambungnya. Proyektor di ruang rekreasi memang tidak boleh dinyalakan sembarangan. Hanya saat libur mereka bisa menonton dengan memakai laptop asrama yang disimpan oleh ustazah murabbiyah di kamarnya. Setelah menonton pun harus menulis review sebagai bayarannya. Dan Annika merasa otaknya masih berhenti setelah liburan selama satu bulan.
“Nah, makanya itu. Kita di sini aja.”
“Iya. Sambil makan jajan, yuk,” kata Annika sambil membuka bungkus tortilla chips-nya.
“Hmmm, enak, nih! Aku bawa meringue. Kalau dimasukkan dalam susu pasti enak,” kata Kiara sambil menggeser piring kecil dengan tumpukan meringue di atasnya. Bentuknya macam-macam dan penuh warna. Jamur, kelinci, tikus, ayam, bahkan kaki hijau yang kelihatannya baru dilepas dari seekor kodok.
Memang enak sekali. Manisnya meleleh di mulut Annika. Ia mengambil kaki kodok berantakan itu, dan mengamatinya, “Kiara, kamu buat sendiri?”
Kiara tertawa. “Iya, hahaha! Lihat deh, semua wajah hewan-hewan malang ini konyol sekali. Aku membuatnya dengan saudari-saudariku. Yang paling bagus ini—kelinci dan jamur, itu yang buat Frida. Kaki kodok yang kamu pegang itu, aku yang buat.”
“Bisa-bisanya kamu kepikiran buat kaki kodok, Ra,” tawa Annika.
“Awalnya aku buat kodok utuh. Tapi Regina bilang, kalau sebesar itu nggak akan matang dalamnya! Lalu memaksaku hanya menyertakan kakinya dalam panggangan. Perfeksionis sekali, sungguh membuat orang lain tersiksa,” ujar Kiara sambil geleng-geleng kepala.
“Lalu mana buatanmu yang lain?”
“Hanya kaki ini. Adonan badannya sudah diambil oleh Regina,” kata Kiara. “Oh iya, aku bawa sesuatu. Mau lihat, ngga?” tanya Kiara. Tangan kirinya sembunyi di balik pantatnya. Berlagak rahasia.
“Bawa apa, Ra?”
“Tapi janji jangan teriak, ya?”
“Kiara … aku harap kamu udah taubat.”
“… Hah?”
“Jangan bawa hp lagi!”
Kiara tertawa. “Astaga, aku enggak sekuat itu untuk dimarahi Kak Regina dua kali. Nih, lihat.”
Sebuah buku. Deception and Daisy. Serial terbaru Aquatrix Little Sleuth Society. Buku yang dinanti-nantikan banyak penggemar, termasuk Kiara dan Annika. Sayang sekali, tanggal masuk asrama lebih cepat daripada tanggal buku itu dijual di toko buku.
“Kyaaa! Kok kamu bisa dapat bukunyaaa?!”
“Sssst, aku udah bilang jangan teriak!”
Mereka menghabiskan malam di bawah kanopi rooftop itu dengan ceria, tak sadar kalau waktu begitu cepat berlalu. Ustazah Medina sampai sudah naik dan ‘mengusir’ anak-anak di rooftop. Dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, mereka berpisah saat sudah mencapai lantai dua.
“Besok berangkat sama-sama, ya!” kata Annika dari pintu kamarnya.
“Tentu!”