Annika merasa kerudungnya miring setelah berulang kali mengusap kepalanya frustasi. “Aku ngga ngerti—kenapa ini bisa jadi lima belas akar dua? Bagian mana, Ra, yang aku salah?” tanyanya seraya menunjuk buku catatan Matematikanya.
Kiara mengerjakan soal dengan lebih tenang, ah, pada dasarnya ia memang selalu tenang. Ia berhenti menulis di bukunya untuk melihat buku Kiara. “Yang mana, Nik?”
“Eh, tunggu. Satu … dua … tiga.”
Tepat di hitungan ketiga, bel penanda akhir pelajaran berbunyi. Wajah Annika yang tadinya kusut berangsur-angsur mencerah. Senyum terulas di wajahnya. Ia menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. “Ngga jadi. Pelajarannya sudah selesai.”
“Oh,” kata Kiara seraya melihat jam. “Aku nggak sadar. Ayo ke kelas Sejarah,” katanya.
Bu Diana segera menutup kelas dengan salam begitu mendengar bel. Para murid menyusulnya keluar. Annika dan Kiara berjalan bersama menuju kelas Sejarah Dunia yang letaknya di lantai tiga. Sayangnya, begitu tiba di sana, sebuah pengumuman di papan tulis menghentikan langkah mereka.
Saya akan terlambat mengajar hari ini.
Silakan ke perpustakaan untuk mempersiapkan presentasi kalian.
Nanti saya datang untuk melihat progress kalian.
Pamela Ayalef.
Bagus sekali. Sementara mereka sudah naik dua lantai. Murid-murid lain segera keluar ruangan lagi menuju perpustakaan. Annika dan Kiara juga sama. Menuruni tangga yang baru saja mereka lalui dan menyeberangi taman menuju perpustakaan.
Perpustakaan Aqiela Ru’ya terletak di lantai dua gedung auditorium yang berdiri tepi jalan menuju kompleks asrama. Setelah dua minggu berada di sekolah, baru kali ini ia mengunjungi perpustakaan. Annika cukup kaget melihat tatanan yang sudah berbeda dari tahun lalu.
Koleksi buku kelihatannya sudah bertambah, karena ada dua rak tinggi yang ditambahkan. Sebuah air mancur mini dibangun di dekat meja petugas perpustakaan. Karpet biru yang menutupi lantai telah diganti dengan karpet abu-abu.
Annika meletakkan buku-bukunya ke salah satu meja. Ia sekelompok dengan Kiara, Danila, dan Ashna. Ashna adalah seorang gadis dengan lesung pipi manis, yang sayangnya, selalu tersembunyi dengan masker putihnya. Ia bersin beberapa kali, lalu berkata, “Ayo pilih beberapa buku tentang Pertempuran Royal Lotus. Supaya kita bisa merangkumnya sebelum Bu Pamela datang melihat.”
“Bukannya cukup satu buku saja?” tanya Kiara.
“Kalau hanya satu, kita nggak akan mendapatkan semua informasinya. Kalian pilih satu-satu buku, lalu garis bawahi yang penting, nanti aku yang memutuskan mana yang akan masuk ke dalam makalah kita.”
“Oh, jadi kamu yang menyusun makalahnya?” tanya Annika.
“Iya, Kiara bisa membantuku. Lalu kamu dan Danila akan membuat file presentasinya. Bagaimana?”
“Ummm, boleh, sih,” kata Annika. Ia tak keberatan dengan tugasnya, dan dengan Danila di sisinya, pasti pekerjaan mereka akan lancar.
“Baiklah. Yuk, cari bukunya sekarang,” kata Ashna sambil menggosokkan hand sanitizer di tangannya. Well, kamu nggak akan melihat Ashna tanpa benda itu di sekitarnya.
Mereka pun menuju rak sejarah. Banyak anak sekelas yang sudah berkumpul di sana. Di dekat rak buku sejarah terdapat pigura-pigura yang baru dipasang. Sepertinya mereka membicarakannya.
“Dulu seragamnya masih sederhana banget, ya? Kerudungnya juga masih selendang gitu.”
“Nggak kebayang deh, kalau sekarang pakai begitu. Hahaha.”
“Ini waktu pengangkatan prefek. Ini di auditorium, ya?”
“Masa, sih? Kok kosong banget.”
“Namanya juga jaman dulu.”
“Eh, kalau aku jadi prefek, fotoku bakal ada terus dong, sampai masa depan, hehehe.”
“Iyaa! Makanya daftar sanaa.”
“Tapi Kak Regina galak ngga, ya? Aku agak takut loh lihat mukanya.”
“Kok bisa jadi Kak Regina? Kan belum ditentuin kepala prefek tahun ini.”
“Iiih, tapi kalau dilihat kan, Kak Regina kemungkinan besar bakal menang. Dia berkali-kali dapat penghargaan murid teladan, kehadiran sempurna, bahkan penghargaan direktur sekolah.”
“I-iya, sih. Kemungkinannya … 60% nggak, sih?”
“88% kalau menurutku.”
“99.99%, sih, pasti.”
“Ugh, tanyain aja ke adeknya. Bisa jadi perasaan kamu aja kalau Kak Regina galak. Kiara! Kak Regina galak ngga, sih? Ini ada yang mau jadi prefek. Tapi ngga punya mental buat dimarahin,” tanya Lumi.
Kiara menoleh. Ia diam sebentar, lalu menjawab, “Galak, sih,” kemudian saat teman-temannya mengambil napas, ia tertawa, “Dikit. Selebihnya, dia cuma orang aneh.”
“Aneh dari mananya?”
“Aneh, pokoknya. Kalau udah dekat, kalian pasti tahu. Semangat ya, kalau mau daftar jadi prefek. Jangan terlalu khawatir, calon lainnya juga nggak kalah keren, bisa jadi Kak Regina yang kalah.”
Percakapan itu terhenti saat Lumi dan dua orang temannya mengobrol lagi, sementara Annika dan Kiara lanjut mencari buku. Annika sudah menemukan dua buku, dengan judul yang sungguh tepat, yaitu ‘Sejarah Singkat Pertempuran Royal Lotus’ dan ‘Ringkasan Perang Irelia-Xuile.’
“Kiara, mau buku ini, nggak? Ini nggak terlalu tebal,” kata Annika menawarkan, namun setelah tak ada jawaban, ia menyikutnya. “Kiara.”
“Oh, bukunya—aku udah dapat,” kata Kiara.
Mata Annika melebar melihat buku setebal kamus di tangan Kiara. “Itu tebal sekali. Kamu beneran mau baca yang itu?”
“Ah, iya juga … ya udah, aku pinjam dua,” kata Kiara seraya mengambil buku yang ditawarkan Annika. “Ayo duduk, nanti dicari Ashna.”
Kiara sungguh aneh. Annika mengerutkan alis. Kiara selalu memilih buku paling tipis saat ada tugas dari kelas Sastra Kirania. Annika mengangkat bahu. Well, mungkin Kiara ada ketertarikan tersendiri soal topiknya. Apalagi Perang Royal Lotus sudah beberapa kali diangkat menjadi film. Kiara adalah seorang penikmat film sejati. Mungkin bagi Kiara menyenangkan untuk melihat bagaimana kejadian dalam sejarah digambarkan dalam film. Menarik juga.
“Oh, Kiara, kita ambil buku yang sama,” kata Ashna sambil menunjukkan bukunya. “Kalau begitu, aku ambil yang volume dua.”
“Huh? Buku setebal itu masih bervolume?” tanya Annika.
Kiara memiringkan kepala, mengingat-ingat, lalu menutup bukunya. Pada punggung buku itu terdapat tulisan volume satu. “Iyaa? Oh, aku nggak lihat tadi.”
“Kamu beneran mau baca ini?”
“Iya, aku mau coba—”
“Bagus, Kiara,” sela Ashna dengan suara lebih cerah. “Presentasi kita masih lama, jadi masih ada banyak waktu untuk selesai membaca. Aku nggak memaksa kamu mengambil buku itu. Tapi karena kamu sudah ambil, kamu harus menyelesaikannya. Sebenarnya tadi aku berniat aku sendiri yang akan membaca semuanya. Bagus sekali, Kiara. Kalau seperti ini, akan banyak yang kita ketahui tentang Perang Royal Lotus. Public speaking-mu juga bagus. Insya Allah presentasi kita akan lancar. Ada yang membutuhkan sticky notes? Ambil saja ya, kalau mau pakai,” kata Ashna. Ia memperbaiki posisi maskernya, kemudian mulai membaca.
Annika menggelengkan kepala. Hari ini aneh sekali.
Ashna memang dikenal sebagai murid yang ambisius. Gadis itu berkali-kali meraih peringkat pertama paralel di beberapa mata pelajaran. Keseriusannya menular ke teman-temannya. Bahkan Annika, yang menunduk mendalami bukunya. Danila membaca dengan tenang di samping kirinya. Suasana yang amat berbeda dari meja lain, yang saling mengobrol dengan suara rendah, menikmati waktu saat tak ada Bu Pamela mengajar. Annika mengerjapkan mata, lalu berkonsentrasi untuk membaca beberapa paragraf dari buku yang ia ambil.
Dear, bukunya membosankan sekali. Dan mengapa banyak sekali kata yang asing baginya? Annika mengulangi membaca satu kalimat sampai empat kali. Frustasi, ia memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menelusuri lorong-lorong buku, hingga ia menemukan suatu bagian yang menarik di matanya.
Bagian ‘koleksi terbaru’ biasanya berisi novel-novel yang baru datang. Karena anak-anak Aqiela Ru’ya tidak punya banyak hiburan, biasanya mereka berebutan meminjam buku-buku koleksi terbaru. Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa saat jam istirahat tiba nanti, rak ini akan kosong. Beruntung sekali ia bisa belajar di perpustakaan saat jam pelajaran.
‘Wrath and Amaranth.’ Buku serial ‘Aquatrix Little Sleuth Society’ sebelum ‘Deceit and Daisy.’ Annika sudah membacanya di rumah. ‘The Moth Memoir.’ Terlalu tebal, dan bagi Annika, buku seperti itu hanya akan membuatnya tersiksa dengan mata merah dan hidung sakit. Lalu ‘Jejak Kaki Misterius di Kota Starmoon’ oleh Alissa Mauryn Amberlique.
Rupanya buku kedua kakak pertama Kiara sudah diterbitkan! Annika melihat covernya dengan antusias. Terdapat tampak depan pemandian air panas. Anehnya, ada sebuah tali yang mengikat pintu kayunya. Jejak-jejak kaki mengular di halaman. Begitu membuka buku itu, Annika langsung membaca beberapa halaman. Sampai bel berbunyi, dan tak ada tanda-tanda Bu Pamela akan datang dan mengecek pekerjaan mereka.
Annika kembali ke kursinya. Waktu istirahat. Perutnya akan senang kalau ia mau menyumbangkan satu porsi siomay untuknya. Ia menunggu Kiara selesai bersiap-siap, dan berkata, “Novel baru kakakmu. Aku mau pinjam.”
“Oh,” kata Kiara, melihat novel yang ditunjukkan Annika. Ia tersenyum, semacam bread smile. “Bagus. Aku sudah baca. Kamu nggak akan menyesal. Tulisannya membuatku penasaran dengan dunia yang ada di balik matanya.”
“Menakjubkan. Pasti.”
Mereka mengantre untuk meminjam buku. Annika melihat buku tebal ‘Catatan Sejarah Perang Royal Lotus’ di tangan Kiara, dan berusaha sekali lagi memastikan keputusan sahabatnya, “Kamu akan membacanya? Seluruh buku? Kurasa buku itu lebih tebal daripada jangka waktu dua minggu.”
Kiara tersenyum sembari meletakkan buku itu di meja resepsionis. Ia meraih kartu pelajar sambil menjawab, “Tenang saja, buku semengerikan ini punya hak istimewa, bisa dipinjam selama satu semester.”
“Oh, curang,” rutuk Annika. “Novel Kak Alissa juga mengerikan. Darah dan ayam mati. Tapi nggak dapat hak istimewa.”
“Well, realita memang selalu punya cara curang dibandingkan fiksi,” kata Kiara, “Terimakasih,” ucapnya pada sang petugas perpustakaan, Pak Malik, setelah mendapatkan kembali buku dan kartunya.
“Sama-sama,” kata Pak Malik, kini mengurus buku yang dipinjam Annika. “Kiara, ya? Kemarin adikmu ke sini. Dan memaksa—”
Tepi mata Kiara melebar. “Memaksa apa, Pak?”
Pak Malik tersenyum dengan mata yang jengah. Dagunya menunjuk ke air mancur. “Lihat di dalam air mancur.”
Kiara, dengan mata menduga-duganya, berbalik menuju air mancur. Annika menerima bukunya, lalu mengikuti Kiara. Kolam mini itu terlihat normal, tak ada yang aneh. Air yang mengalir dari air mancur menciptakan gelembung-gelembung kecil—dan di bawahnya …
“Ini Fariel! Astaga, aku ingat corak tempurungnya!”
“… Fariel. Maksudmu …”
“Iya, Annika. Ini kura-kura peliharaanku.”