Runcana, 2023
Hari pertama datangnya para murid setelah libur panjang selalu ramai. Annika melepas sepatu dan menaruhnya di rak, lalu menarik kopernya masuk ke dalam asrama barunya, asrama Manna.
Ia ikut bergabung dengan teman-temannya yang berkumpul di mushola. Mereka berdiri di depan papan pengumuman. Annika juga ingin melihat. Tapi tubuhnya yang tak terlalu tinggi membuatnya menyerah di awal. Jadi, ia hanya menyapa beberapa teman yang melihatnya.
“Annika! Kamu ke mana aja liburannya?”
“Di Shinriku kemarin seru nggak, sih?”
“Oh, Annika. Sayang banget kamu nggak sekamar lagi sama Kiara.”
Mereka mengobrol dengan ceria. Rona wajah teman-temannya benar-benar membaik setelah libur panjang. Senyum ramah terulas di wajah mereka. Kecuali satu perkataan terakhir dari Lumi yang membuat ekspresi Annika jadi cemberut.
“Beneran? Ya ampun … padahal mau buat rekor enam tahun satu kamar,” canda Annika, masih dengan bibir manyun.
Lumi tertawa. Ia adalah teman sekamar Annika dan Kiara dulu saat kelas tiga. “Ya ampun, Annie. Tiga tahun sekamar sama teman dekat itu udah keberuntungan tau, di sini,” kata Lumi. Menyebutkan peraturan menyebalkan Madrasah Aqiela Ru’ya yang mengharuskan setiap murid re-shuffle kamar setiap kenaikan kelas. Menyebabkan mereka harus lagi dan lagi melalui perpisahan berurai air mata di penghujung semester.
“Siapa tahu karena kasusnya aku dan Kiara bisa selamat dari mata para prefek …” kata Annika berangan-angan. “Oh, aku kamar berapa? Kamu lihat, ngga?”
“Kamar empat, kayaknya. Danila, kamu kamar empat, kan, ya?” tanya Lumi sembari bertanya pada seorang gadis yang tengah berjalan keluar mushola sambil menjinjing tasnya. Setelah gadis itu mengiyakan, Lumi berkata lagi, “Iya kamar empat. Seingatku namamu di bawahnya Danila.”
“Makasih. Ah, aku mau naik dulu, ya. Kalian engga naik?” tanya Annika.
“Mau naik. Tapi istirahat dulu deh, kakiku masih sakit.”
“Iya, kita mau istirahat dulu di sini. Naik dulu aja, Annie.”
Annika melambaikan tangan dan keluar dari mushola.
Asrama-asrama di Aqiela Ru’ya memiliki pola bangunan yang sama. Dua lantai. Lantai pertama berisi mushola, ruang tamu, kamar ustazah, dapur, dan ruang makan. Sementara itu lantai kedua berisi enam kamar. Oleh karena itu, Annika mudah merasa familiar meskipun berada di asrama yang baru baginya.
Annika tak sabar sekali bertemu Kiara. Ia adalah sahabatnya sejak kelas satu. Semasa liburan, mereka hanya bisa berkomunikasi melalui ponsel. Rasanya ia sudah kangen sekali dengan sifat ceria Kiara dan obrolan mereka yang tak akan ada habisnya. Saat kelas tiga kemarin, ia dan Kiara akan mengobrol sampai ketiduran. Sampai-sampai sering ketahuan oleh ustazah asrama yang sedang patroli karena kikikan mereka berdua yang tak bisa diredam oleh selimut.
Annika menepis rasa kecewanya dalam hati. Tahun ini, mereka tak akan bisa melakukan hal mendebarkan sekaligus menyenangkan itu lagi. Dipan di sampingnya bukan lagi milik Kiara. Namun benar kata Lumi, tiga tahun satu kamar dan selalu bersisian ranjang itu sudah keberuntungan besar di Aqiela Ru’ya.
Ia membuka pintu kamar empat. Sudah ada beberapa orang yang datang. Termasuk Danila, yang tadi ia lihat di mushola. Ia menyapa dan menyalami teman-temannya. Lalu menuju dipannya, yang lagi-lagi, sudah diatur oleh para prefek.
Ia berada di dipan nomor sembilan. Danila nomor delapan. Gadis itu sedang menata barang-barangnya, suatu keharusan yang siswi-siswi Aqiela Ru’ya harus lakukan begitu tiba di asrama. Tujuannya supaya saat malam tiba bisa langsung beristirahat. Namun Annika memutuskan untuk duduk-duduk sebentar. Perjalanan jauh yang baru saja ia lakukan benar-benar membuat punggungnya pegal!
Annika senang juga mendapatkan kamar di sini. Jendela lebar di dinding kiri barisan ranjang menghadap ke arah kebun. Dari kejauhan gedung-gedung sekolah terlihat. Selama tiga tahun, ia selalu mendapatkan kamar dengan pemandangan gedung asrama lain. Sungguh tidak menyenangkan mata.
“Itu kamu yang buat sendiri, Dan?” tanya Annika. Tak tahan untuk tidak berkomentar saat melihat bantal rajut berbentuk bintang yang tengah diletakkan oleh Danila di atas kasurnya. Danila terkenal sebagai murid yang senang merajut di angkatan mereka.
“Iya.”
“Lucu banget,” komentar Annika, yang tak lama kemudian berhasil memegang bantal rajut itu. Danila yang memberikannya karena melihat Annika yang tertarik. Bantal itu berwarna ungu-putih. Halus dan empuk sekali saat dipegang. Bertambah lagi satu kreasi rajut Danila di area ranjangnya.
Annika sebenarnya tak terlalu mengenal Danila. Mereka belum pernah sekamar dan sekelas sebelumnya. Ia hanya mengenalnya sebagai gadis kalem yang punya hobi merajut. Namun Annika yang supel berhasil membuat mereka tenggelam dalam obrolan menyenangkan. Sampai ada seseorang yang mengetuk pintu kamar empat. Kiara!
“Haloo, aku masuk, yaaa. Mau ke tempat Annie,” kata Kiara. Peraturan lain di asrama Aqiela Ru’ya, saat seorang murid masuk ke kamar lain, ia harus meminta izin.
Annika memasang senyum manisnya saat melihat Kiara. Mereka berpelukan. Annika bisa merasakan tubuh langsing Kiara yang semakin kencang di lengannya. Dan juga …
“Kiara, kamu kok tambah tinggi?” tanya Annika tak percaya. Habisnya, ia sudah berhenti tumbuh sejak kelas dua. Membuat tubuhnya terjebak di tinggi 157 cm.
“Iya. Sekarang tinggiku 165 cm. Nggak salah aku renang hampir setiap hari di rumah. Tapi Annika, kamu udah bagus segitu, kok. Pas banget.”
“Masa, sih? Tapi di sampingmu aku kayak kurcaci.”
Kiara tertawa. “Ngga, kok. Itu mah perasaan kamu aja. Jadi Annie—gimana perasaan kamu lihat bunga sakura kemarin?”
Shinriku adalah sebuah negeri yang jaraknya sekitar enam jam dari Kirania. Annika sempat mengunjunginya selama libur sekolah di bulan Juli. Ah, bukan untuk berlibur sebenarnya, tapi untuk mengantar Fadhlan, kakaknya, yang akan berkuliah di negeri itu.
“Waktu aku ke sana bunga sakuranya udah gugur. Sayang banget. Tapi kita sempat main ke Museum Seni Touma, yang aku kirim fotonya ke kamu kemarin.”
“Cantik banget deh, museumnya. Itu di daerah mana?”
“Di atas gunung Kyuya, di Maime. Nggak jauh dari pusat kota, kok. Iya cantik banget. Museumnya letaknya di tepi tarn gitu, er—danau yang airnya dari gletser. Ngga kebayang ternyata secaanntik itu. Museumnya juga kayak cuma rumah kayu gitu, sederhana tapi terawat banget,” cerita Annika dengan mata bersinar.
“Kebayang deh, bagusnya! Ramai, nggak?”
“Um … lumayan ramai, sih. Ya ampun. Aku sempat mau kecebur di danaunya, tau.”
Kedua gadis itu tenggelam dalam pembicaraan di atas kasur Annika. Kiara terbahak mendengar cerita Annika. Wajahnya jadi memerah kalau tertawa. Annika jadi semakin semangat bercerita. Ia juga mendengar kisah Kiara soal peliharaan barunya, seekor kura-kura.
“Tapi aku nggak suka,” kata Kiara. “Ternyata pusing ya, punya binatang peliharaan. Kalau dia sakit sedikit, aku langsung bingung itu kesalahanku apa bukan. Aku engga kuat. Aku kasihin Frida sama Fiona.”
“Hahaha, rupanya gitu, ya? Pantas saja kata mama aku belum boleh punya peliharaan. Berarti ditinggal ya, waktu mereka sekolah?” tanya Annika, mengingat Frida dan Fiona yang juga bersekolah di Aqiela Ru’ya. Saat ini mereka tengah duduk di kelas dua. Sementara itu, peraturan kesekian di Aqiela Ru’ya adalah para murid tidak diperkenankan membawa binatang peliharaan.
“Iya. Nggak tahu, sih. Tapi pasti ada yang urus kalau di rumah. Sama, kok. Bunda juga awalnya engga ngebolehin. Cuma aku … maksa. Dan dengan rendah hati—sekarang aku akuin orang yang bisa rawat hewan bertahun-tahun itu hebat.”
Mereka masih mengobrol saat jam menunjukkan pukul setengah lima. Suasana di luar jendela sudah temaram. Langit membias oranye di kejauhan. Lalu terdengar suara speaker yang dibunyikan, dan suara seseorang terdengar.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bagi anak-anak yang sudah datang silakan untuk merapikan barang bawaan masing-masing, ya. Nanti sudah mulai harus shalat Magrib berjamaah. Kalau ada yang mau keluar sekarang nggak apa-apa. Tapi jam lima tepat semuanya harus sudah ada di dalam asrama. Kalau masih ada yang di luar, nanti harus mengisi laporan di kamar saya. Sekian. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Itu suara Ustazah Medina, seorang gadis berusia 19 tahun yang tahun lalu juga menjadi ustazah asrama Manna.
Annika memutar mata, lalu menceletuk, “Lagi deh, penjara kita sudah dimulai lagi.”
“Humm. Udah sore ternyata. Ya ampun. Aku sampai belum rapiin baju-bajuku. Eh, kamu belum juga, ya?”
“Belumm,” kata Annika. “Tadi aku sampai kayak capek banget, lalu kamu datang. Lihat bedanya ranjangku sama punya Danila.”
Kiara tertawa melihat dua ranjang yang bersisian namun terlihat amat kontras. Kasur milik Annika dilapisi oleh sarung putih dari asrama. Biasanya anak-anak akan melapisinya lagi dengan sprei milik mereka sendiri. Sementara itu, kasur Danila sudah cantik dan rapi. Spreinya berwarna putih dengan motif bunga aster ungu kecil-kecil yang tersebar di atasnya. Kasurnya pun dihiasi dengan hasil-hasil rajutannya. Meskipun sifatnya kalem, rasanya semua orang bisa melihat dari penataannya bahwa ia punya sifat yang menarik di dalam dirinya.
“Ya udah deh, aku balik dulu, ya. Dah, Annie, dah, Danila! Halo Sheila, baru datang, ya? Tumben sekali,” ujar Kiara, yang tiba-tiba menyapa Sheila yang baru saja datang.
“Iya, nih. Tiba-tiba saja umi ingin belanja dulu sebelum sampai di asrama tadi,” kata Sheila dengan wajah pasrah, lalu menaikkan kedua bahu, “Untung saja belum jam lima.”
“Iya belum. Aku juga belum rapiin baju, kok. Ayo ngebut sekarang!” kata Kiara seraya mengepalkan tangan, lalu keluar dari kamar empat.
Annika sebenarnya ingin merapikan barang bawannya malam nanti. Masih ada cukup waktu sebelum jam setengah sembilan malam saat para prefek akan berkeliling dan memeriksa kerapian kamar. Tapi ia mendapatkan sebuah ide. Bermain lagi dengan Kiara dan teman-teman lain di rooftop nanti malam pasti menyenangkan. Siapa tahu Ustazah Medina akan berbaik hati membolehkan mereka memutar film.
Maka, Annika mulai membuka kopernya. Tumpukan baju-baju ini harus segera diungsikan menuju tempat yang aman dari mata para prefek nanti!