Grace menyudahi ceritanya. Seperti biasa dia membacanya dengan sangat baik. Saking baiknya, cerita itu betul-betul terasa hingga ke hati. Namun, sayangnya tidak ada respons apa pun dari kami, sampai saatnya Danu kembali mengambil posisi.
“Makasih banyak buat Grace.”
“Perasaan gue doang atau emang di cerita itu benar-benar ngga ada clue sama sekali?” tanya Eric yang membuat Adis lepas dari bahunya.
“Emang ngga ada. Makanya didiskualifikasi aja. Ngga perlu dibahas lagi,” tegas Sonya dengan wajah ketus.
“Loh, ngga bisa gitu dong,” sanggahku. Jujur saja aku tidak tahu kenapa aku membuka mulut. Oleh karena sudah terlanjur, mau tidak mau harus kulanjutkan. “Maksud gue, dia udah ikut serta, jadi usahanya harus dihargai.”
“Gue setuju sama Ana,” bela Dinda.
Danu memilih untuk berpikir sejenak. Sesekali matanya melirik pada Sonya dimana perempuan itu menanggapi hanya cukup dengan bahu terangkat disertai wajah yang melengos.
“Tapi di sana ngga ada petunjuk yang mengarah ke siapa tokoh ceritanya, Ana. Emangnya lo bisa jawab tanpa clue?” timpal Sonya bernada menjengkelkan.
“Ya, gue emang belum tau siapa penulisnya, tapi di akhir cerita dia bilang kalau ada orang-orang di sini yang udah tau siapa tepatnya,” jawabku seadanya.
“Ayo siapa tuh? Siapa orang yang udah tau padahal sama sekali ngga ada clue?” tanya Dino. Bermaksud menyinggung orang-orang yang disebut dalam cerita. Saat ini bukan lagi kacang yang menjadi santapannya, melainkan berbungkus-bungkus kuaci. Sama seperti yang dimakan Dinda.
Mungkin sudah ada satu menit suasana sekitar mendadak senyap. Hanya dihiasi dengan suara gesekan dedaunan, gemericik aliran sungai di belakang vila, jilatan api unggun, rentetan tawa dari vila sebelah, ataupun yang paling buruk adalah suara dengkuran Zaki. Menjadikannya sebagai sasaran empuk untuk dijaili.
“Okay, fine. Kelamaan kalo ngga dijawab. Kasian orangnya udah nunggu. Iya kan, Wine?” tebak Sonya. “Kenapa lo ngga langsung sebut aja namanya di cerita lo?”
"What?"
"Eh, Wine? Serius?"
"Masa sih?"
Aku tidak melihat bagaimana reaksi dari tiap orang di sini saat mengetahui jika Wine, orang pendiam di kelas kami, bisa bercerita begitu leluasa melalui secarik kertas. Mataku sudah lebih dulu tertuju pada perempuan itu sendiri, yang kini dengan mantap membalas tatapan Sonya. Memang aku tidak ahli dalam hal-hal semacam ini, tapi aku merasa ada perasaan marah yang sangat meluap-luap dari tatapannya.
“Apa tujuan lo sih? Kenapa lo justru tulis cerita itu? Sama sekali ngga kasih petunjuk pula,” sambung Tere. Dia jelas menunjukkan rasa kesal yang sama seperti Sonya. Mungkinkah mereka berdua adalah orang-orang yang dimaksud oleh Wine dalam ceritanya? Kupikir memang benar begitu.
Danu berdeham. Mengusap hidung juga membenarkan posisi kacamata.
“Jadi benar penulisnya itu lo, Win?” tanya Danu mencoba meyakinkan.
Kami menunggu jawabannya. Benar-benar menunggu.
“Iya.”
Pengakuannya yang singkat itu terucap tepat di saat angin berembus dan membuat bulu kuduk serentak berdiri. Aku tidak percaya atas apa yang baru saja aku dengar. Bahkan kupikir sekarang ini aku sedang melamun sehingga memunculkan bayangan-bayangan yang aneh.
Berbagai macam gumaman mulai bermunculan. Terdengar seperti ada seekor lebah yang berputar-putar di dalam rongga telingaku.
“Gue tau kalian ngga percaya. Bahkan sebelumnya ada juga yang anggap gue lemah.” Lirikan matanya pada Eca membuat lelaki itu menunduk. “Tapi cuma ini satu-satunya cara dimana gue bisa buka suara bahwa gue ngga salah. Cara dimana gue bisa ungkapin rasa benci yang selama ini cuma bisa gue pendam. Kalau lo tanya apa tujuan gue, ya itu tujuannya,” jelasnya mengarah pada Tere dengan suara agak bergetar, tapi tetap berusaha terdengar kuat.
Wine benar-benar sudah mengambil penuh perhatian kami. Orang-orang yang biasa menyeletuk, dipaksa untuk diam. Zaki sampai bangun dari tidurnya dan kedua matanya kembali cerah seperti baru saja bangun pagi.
“Meski sekarang gue udah sama orang lain, tapi setiap kali gue lihat wajah kalian bertiga di kelas, rasa muak dan benci gue muncul lagi.”
“Lo berlebihan tau ngga?” Sonya berkomentar.
“Berlebihan?" sahut Wine cepat dengan dibumbui sebuah seringai. "Masih bisa lo bilang kalau gue berlebihan? Kalau lo ada di posisi gue gimana perasaan lo? Tertekan dan terpojok setiap hari. Dipaksa terima itu semua padahal bukan gue yang salah. Gue ngga seburuk yang kalian pikir! Gue ngga pernah mencoba merebut siapa pun! Mungkin lo ngga tau, kalau setiap tindakan, ucapan, yang lo lakuin di belakang gue, hampir buat gue males pergi ke sekolah. Bahkan untuk pergi ke kantin dimana harus lewat kelas kalian pun gue takut. Apalagi setiap kali lewat di depan ruang latihan kalian. Gue serasa masuk ke kandang ular, yang mulutnya berbisa semua.”
Emosi Wine sudah meluap-luap bagaikan air mendidih. Dia seperti bukan seorang Wine yang selama ini aku tahu. Terasa agak menyeramkan, terlebih ini sudah malam hari. Bahkan aku mendengar bisikan-bisikan jika mungkin saja Wine kesurupan.
Tidak sengaja kulihat Randa mengisyaratkan sesuatu pada Danu. Apa itu? Meminta Danu menghentikan Wine? Tapi kupikir memang harus. Sebab jika diteruskan, acara ini akan berakhir canggung. Menjadikan malam perpisahan kelas kami justru diakhiri dengan kemarahan juga kebencian.
Kuamati Danu mulai membuka mulut. “Umm, Wine—”
“Gue minta maaf karena acara ini jadi terhambat karena keegoisan gue,” sergah Wine menyeka air matanya. Menyebabkan Danu mengurungkan niatnya untuk bicara. “Maaf ya, Danu,” lanjutnya dan pergi keluar dari perkumpulan.
“Wine," panggil Danu. “Wine jangan pergi dulu,” panggilnya lagi, tapi Wine tetap mengabaikan panggilannya. Alhasil yang dapat Danu lakukan hanya menghela napas. Tidak bisa lebih dari itu.
Kami pun juga sama. Belum ada yang berani bicara, menanggapi, ataupun berbicara konyol seperti yang terjadi di menit-menit sebelumnya. Ibarat sebuah pertunjukan, Wine sungguh menampilkan aksi yang di luar dugaan di malam perpisahan ini.
“So, apanya yang seru-seruan?” tanya Jonathan pada akhirnya. Merilekskan tubuhnya dengan menyelonjorkan kedua kaki.
“Udahlah selesai di sini aja,” ujar Gerry. Memancing Sonya memelototkan kedua matanya. “Dari awal gue udah ngga setuju sama acara ini. Memang lo mau acara yang beda, Danu, tapi gue pikir bukan ini jawabannya. Karena ngga selamanya cerita jadian, cerita pacaran, cerita cinta—or whatever it is—itu nyenengin. Pasti juga ada sedihnya, keselnya, bahkan dendam.”
Kulihat Sonya menyeringai dan Nina mengangkat tangannya.
“Danu, gue sama Sisi mau ke Wine sebentar ya.”
Danu pun mengangguk. “Tolong bujuk Wine biar ke sini lagi ya, Nin.”
"Gue usahain," jawab Nina.
“Danu, gue cuma ngga mau aja acara ini justru disalahgunain buat ngejatuhin orang," lanjut Gerry mengambil kembali perhatian Danu yang masih mengarah pada Nina. Perempuan baik nan cantik yang sudah lama dikaguminya.
“Gue setuju sama Gerry." Vino angkat bicara. "Dari dua cerita yang udah dibaca, sama sekali ngga ada tuh yang happy ending. Padahal Rangga ataupun Wine sekarang udah punya pacar di kelas lain, kenapa mereka ngga ceritain hubungan yang sekarang aja? Yang happy, yang masih berlangsung. Kenapa mesti ceritain masa lalu yang nyakitin hati? Bener ngga sih? Jadi ya, mereka seakan-akan manfaatin acara ini buat ngebongkar keburukan orang, juga ngejatuhin orang,” jelas Vino begitu masuk di akal. Tampaknya kuku-kukunya sudah habis digigiti dan dia tidak ada pekerjaan lain.
“Tapi gue ngga ngejatuhin Ayunda. Gue malah ngejatuhin diri gue sendiri,” balas Rangga percaya diri.
“Iya dan itu salah satu bentuk dari kebodohan lo," celetuk Bella dan tertawa geli setelahnya. Entah kenapa aku juga ingin ikut tertawa mendengarnya.
“Sorry, tapi gue justru kurang setuju sama Gerry.”
Dan, seseorang yang ditunggu-tunggu akhirnya kembali membuka suara.